Jumat, Oktober 4, 2024

Untuk Hukum yang Berperspektif Gender: 80 Juta Bisa Buat Apa?

Riska Carolina
Riska Carolina
Transnational Law Master, Bekerja untuk 6 organisasi yang berbeda, dengan spesialisasi pada advokasi kebijakan, untuk satu isu, Selangkangan.

Meme dan joke tidak lucu, seperti “80 juta buat apa” bertebaran di sosial media. Komentar-komentar pedas dan kejam yang merendahkan martabat perempuan diikuti gelak tawa tanpa perasaan. Netizen budiman merasa paling suci dan mampu, berpura-pura menjadi polisi moral, mengolok-olok perempuan karena menjadikan tubuhnya komoditi. Padahal tak jarang history browser tercetak jejak hasil unduhan dengan VPN setiap lewat tengah malam.

Penanggapan VA dan SA beserta “klien” mereka di Surabaya, menimbulkan tanda tanya besar. Sebegitu merasa hebatnya netizen maha benar ini. Nama VA dan SA tidak lagi disamarkan karena dianggap oleh media sebagai publik figur. Tidak begitu halnya dengan pengusaha yg menggunakan jasa mereka. Inisialnya pun jarang disebutkan dalam pemberitaan media manapun. Luar biasa.

Media menggiring opini masyarakat, dan sebagai masyarakat yang setia pada negara sudah seharusnya kita lebih kritis melihat fenomena ini.

Masyarakat umum diperbolehkan untuk menegur setiap media jurnalistik berdasarkan Pasal 17 UU Pers, yang menyebutkan peran serta masyarakat untuk memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; serta menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Benar, media tidak bisa langsung disalahkan, akan tetapi terkadang, sensitifitas diperlukan dalam melihat suatu isu. Dalam kasus ini, perempuan menjadi sorotan utama.

Media tidak sepenuhnya disalahkan, Kepolisian Surabaya sebagaimana diberitakan oleh Tribun-Bali pada 5 Januari 2018 lalu, menyebutkan memang benar adanya pernyataan dari Wadir Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP, Arman Asmara.

Maka dari itu, kepolisian sayangnya telah melanggar presumption of innocence dari pihak yang terlibat dalam suatu perkara pidana. Selain itu, rasanya tidak wajar membebankan segala kesalahan pada orang yang dituduhkan sebagai pemberi jasa. Lagi-lagi perempuan dijadikan objek di sini, tidak perspektif gender, atau setidaknya belas kasih yang ditunjukan aparat penegak hukum dalam kasus-kasus kesusilaan.

Padahal dari UU Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan bahwa pelaku dari tindak pidana ini adalah mereka yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Walaupun tentunya, tidak sertamerta tindak perdagangan orang dikatergorikan sebagai prostitusi. Menurut Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa yang dapat dikatergorikan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah forced prostitution (Hukum Online: Awas Salah Memahami Prostitusi Sebagai TPPO, 17/05/2016)

Hal ini yang disebabkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara jasa layanan yang diperjual-belikan secara konsensual dengan perdagangan orang secara paksa yang masuk dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang. Maka dari itu, kepolisian seharusnya menyelidiki organisasi, ataupun orang di balik prostitusi online artis ini, bukan malah menempatkan mereka sebagai pihak yang dipermalukan di mata masyarakat (kindship of shame).

Banyak netizen di kolom-kolom gosip yang dengan yakinnya menyatakan bahwa VA dan SA sudah seharusnya dipidana berdasarkan undang-undang. Pertanyaannya, di Pasal berapa dan bagaimana bunyinya? Dalam KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/muncikari/penyedia Pekerja Seks. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 296 yang menekankan pelaku pasal ini pada orang yang menyediakan tempat lokalisasi penjaja seks, lainnya pada Pasal 506 yakni menjerat mucikari sebagai pelaku tindak pidana prostitusi.

Adapun kemungkinan menggunakan UU ITE sebagai dasar prostitusi online yang tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) yang sekiranya mempidanakan orang yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Dengan kata lain segala hal orang yang dijerat dalam pasal ini adalah orang yang melakukan distribusi, transmisi, maupun membuat konten yang bermuatan susila. Namun saat ini VA dan SA hanyalah saksi dalam kasus prostitusi online ini, karena kedua orang tersebut sampai saat ini tidak memenuhi unsur di dalam pasal tersebut.

Tentu saja kita tidak bisa melepaskan kemungkinan adanya Peraturan Daerah yang tidak sejalan dengan hierarki perundang-undangan diatasnya. Surabaya memiliki Perda No. 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat Untuk Perbuatan Asusila Serta Pemikatan Untuk Melakukan Perbuatan Asusila di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

Dalam ketentuan perda ini, Pasal 4, menyebutkan bahwa Walikota Surabaya atau pejabat, berwenang untuk melakukan pembinaan kepada pekerja seks (dalam pasal disebut wanita tuna susila). Pembinaan yang dimasuk dapat berupa pembinaan mental/rohani/agama; olahraga dan kesehatan; pendidikan, keterampilan, dan wirausaha; sosial dan budaya.

Melihat aturan diatasnya, pada KUHP tidak ada pidana penjara untuk pekerja seks. Jika mengacu pada lex superior derogate legi inferiori maka secara otomatis hukum yang kedudukannya lebih tinggi dapat menghapus hukum yang dibawahnya.

Walaupun tentunya tetap memperhatikan kekhususan daerah yang berpotokan pada lex specialis derogat legi generali. Namun, kekhususan itu haruslah dilihat dalam hukum pidana ada asas legalitas yang disebutkan dalam Pasal 1 KUHP “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. 

Adanya ambiguitas suatu ketentuan perda mengatur terkait pekerja seks walaupun sebenarnya peraturan undang-undang di atasnya tidak pernah menyebutkannya. Maka dari itu, sebagaimana tercantum dalam Perda Surabaya No. 7 Tahun 1999 di atas bukan pidana yang menyasar pekerja seks, namun “pembinaan”, yang pada hakikatnya dapat dikategorikan juga sebagai tindak pidana ringan (tipiring) dalam KUHAP.

Walau begitu, letak pembinaan yang bagaimana bentuknya, jika aparat penegak hukum kita mempermalukan perempuan dan meluaskan stigma dengan mengaburkan praduga tidak bersalah dan juga mengabaikan asas legalitas? Seseorang yang diharapkan menjadi saksi untuk membongkar jaringan prostitusi online artis, dengan menyebarkan nama lengkapnya pada awak media. Benar untuk strategi keadilan ataukah hanya ego kuasa, apapun alasannya “malu” lagi-lagi hanya dibebankan pada perempuan.

Riska Carolina
Riska Carolina
Transnational Law Master, Bekerja untuk 6 organisasi yang berbeda, dengan spesialisasi pada advokasi kebijakan, untuk satu isu, Selangkangan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.