Di Tengah laju digitalisasi yang masif, transaksi jual beli pun mengalami transformasi besar. Cukup dengan memantau layar gawai, kita bisa memesan barang dari rumah, cepat, mudah, dan efesien. Fenomena ini menjadi angin segar bagi masyarakat urban, terutama mereka yang kesulitan mengakses toko fisik. Namun, di balik kemudahan itu, tak jarang konsumen terjebak dalam ekspektasi semu: barang yang datang tidak sesuai dengan apa yang terpampang di etalase digital.
Di sinilah pertanyaan penting mencuat, khususnya bagi umat Islam: Apakah praktik jual beli online sah menurut syariat? Jika iya, bagaimana memastikan transaksinya tidak tergelincir ke dalam wilayah yang dipertanyakan secara fikih?
Fikih dan Digital: Bertemu di Titik Akad
Dalam literatur fikih muamalah, keabsahan jual beli bertumpu pada rukun dan syarat sah akad. Menurut Fathul Qorib, setidaknya ada tiga rukun utama: penjual, pembeli, dan objek barang, serta sighat (akad). Di era digital, akad tak lagi berbentuk lisan, ia hadir melalui klik tombol “beli”, persetujuan via chat, atau konfirmasi digital lainnya. Ini menjadi versi modern dari ijab qabul, yang menandai adanya kesepakatan.
Namun, keabsahan ini tak serta-merta hadir tanpa syarat. Islam mensyaratkan kejelasan, kejujuran, dan keterbukaan informasi dalam setiap transaksi. Barang harus dijelaskan dengan jujur dan tidak fiktif, sebab Rasulullah SAW bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Dua orang yang berjual beli memiliki hak memilih selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan kondisi barang, maka akan diberkahi jual belinya. Namun jika mereka menyembunyikan cacat dan berdusta, maka akan dihapus keberkahannya.” (HR. Bukhari no. 2079; Muslim no. 1532)
Hadis ini memberi peran penting: kejujuran bukan hanya nilai moral, tetapi fondasi keberkahan dalam ekonomi. Dalam konteks digital, hal ini bisa diwujudkan melalui deskripsi produk yang akurat, ulasan konsumen yang transparan, dan kebijakan pengembalian barang yang adil.
Fatwa dan Literasi Digital
Menanggapi dinamika ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa Nomor 146/DSN-MUI/XII/2021 yang menegaskan bahwa jual beli daring diperbolehkan, selama tetap mengacu pada prinsip dan rukun syariah.
Namun fatwa saja tidak cukup. Masyarakat perlu dibekali literasi digital agar tidak mudah terjebak pada janji iklan atau manipulasi visual. Umat Muslim perlu menjadi konsumen cerdas sekaligus pelaku usaha yang amanah. Keberkahan dalam bisnis online tidak cukup hanya dengan platform yang canggih, tapi juga harus diiringi dengan komitmen pada prinsip syariah.
Islam, Digital, dan Masa Depan Perdagangan
Islam tidak anti terhadap modernitas. Justru, ia hadir untuk menuntun umat menjawab tantangan zaman, termasuk dalam urusan ekonomi digital. Jual beli online yang jujur, jelas, dan adil bukan hanya sah secara syariat, tetapi juga menjadi bukti bahwa nilai-nilai Islam mampu hidup dalam konteks yang terus berubah.
Pada akhirnya, praktik ekonomi digital yang berlandaskan nilai syariah tidak hanya menciptakan transaksi yang sah, tetapi juga mendekatkan kita pada visi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.