Masa remaja dianggap sebagai periode kritis dalam memahami hubungan antara depresi dan merokok. Pada masa remaja, terjadi peningkatan risiko terjadinya kedua perilaku tersebut. Gejala depresi cenderung meningkat pada masa remaja awal, dan kecenderungan ini kemudian dapat menjadi stabil atau mengalami penurunan pada masa remaja berikutnya. Hal yang serupa juga terjadi pada kebanyakan individu yang mulai merokok, di mana kebiasaan tersebut sering dimulai sebelum usia 18 tahun.
berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi merokok pada penduduk Indonesia yang berusia 10-18 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,9 % dari tahun 2013. Seiring dengan itu menurut data Riskesdas tahun 2018, prevalensi depresi pada penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 6,1% secara nasional. Provinsi dengan prevalensi depresi tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat.
Penelitian longitudinal yang mengikuti individu dari masa remaja hingga dewasa telah menunjukkan adanya hubungan antara merokok pada usia remaja dengan risiko depresi yang lebih tinggi dikemudian hari. Namun, penting untuk diingat bahwa hubungan ini kompleks dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti faktor genetik, lingkungan, dan faktor psikososial.
Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa depresi dapat menyebabkan seseorang merokok berdasarkan teori Self Medication. Teori ini mengemukakan bahwa individu yang mengalami depresi mungkin menggunakan merokok sebagai cara untuk mengurangi gejala-gejala yang terkait dengan depresi, seperti perasaan tertekan dan kelelahan. Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan neurotransmiter, terutama dopamin, yang dapat meningkatkan suasana hati dan memberikan efek positif sementara.
Selain itu, nikotin juga memiliki sifat antidepresan. Nikotin dapat mempengaruhi neurotransmiter serotonin, yang merupakan target utama bagi banyak antidepresan umum. Dalam beberapa kasus,individu yang mengalami depresi mungkin secara tidak sadar mencari manfaat psikologis dari nikotin sebagai bentuk Self Medication.
Namun, penting untuk dicatat bahwa meskipun nikotin dapat memberikan efek peningkatan suasana hati sementara, manfaat jangka panjangnya terhadap depresi masih menjadi subjek penelitian yang aktif. Penggunaan nikotin sebagai bentuk Self Medication untuk depresi dapat menjadi siklus yang sulit dihentikan dan dapat berkontribusi pada kecanduan nikotin yang lebih dalam.
Terdapat juga pandangan lain yang menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan depresi. Penjelasannya adalah penggunaan nikotin secara berkelanjutan dapat menyebabkan neuroadaptasi atau toleransi terhadap efek nikotin. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi nikotin dalam merangsang pelepasan dopamin, yang pada akhirnya dapat menyebabkan individu jatuh ke dalam keadaan depresi.
Selain itu, rokok juga menghasilkan radikal bebas yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid, oksidasi protein, dan kerusakan jaringan. Peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) seperti aktivitas enzim antioksidan dan peroksidasi lipid ini dikaitkan dengan depresi.
Merokok juga dapat memengaruhi sistem hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan mengganggu respons biologis dan psikologis terhadap stres. Merokok dapat menyebabkan disregulasi HPA, yang melibatkan hipersekresi kortisol, hormon stres utama dalam tubuh.
Ketika seseorang merokok, zat-zat kimia dalam rokok, terutama nikotin, memicu pelepasan kortisol yang berlebihan. Kortisol adalah hormon yang terlibat dalam respons stres dan regulasi suasana hati. Hipersekresi kortisol dapat mengganggu keseimbangan hormonal dan mekanisme koping adaptif alami dalam tubuh.
Disregulasi HPA dan hipersekresi kortisol yang disebabkan oleh merokok dapat berkontribusi pada perkembangan depresi. Kortisol yang berlebihan dapat mempengaruhi neurotransmitter dan sistem saraf pusat yang terkait dengan regulasi suasana hati, termasuk serotonin dan dopamin. Gangguan dalam sistem ini dapat menyebabkan perubahan suasana hati, kecemasan, dan gejala depresi.
Terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa hubungan antara depresi dan merokok bersifat bidireksional. Artinya, ada interaksi timbal balik antara kedua kondisi tersebut.
Dalam konteks ini, beberapa teori dan penelitian mendukung pandangan bahwa depresi dapat menyebabkan seseorang merokok. Depresi dapat berkontribusi pada keinginan individu untuk menggunakan rokok sebagai bentuk Self Medication untuk mengurangi gejala-gejala depresi atau mengatasi stres dan ketidaknyamanan emosional. Jadi, merokok di sini dapat berfungsi sebagai strategi yang tidak sehat untuk mengatasi gejala depresi.