Gagasan, cita, atau ide negara hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno.
Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu ‘rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu: Perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.
Konsep pemisahan kekuasaan menunjukkan suatu prinsip organisasi politik. Konsep ini mendalilkan bahwa ketiga bidang kekuasaan itu dapat ditentukan sebagai fungsi negara yang dikoordinasikan secara berbeda, dan dimungkinkan untuk menentukan batas-batas yang memisahkan masing-masing fungsi ini dari fungsi yang lainnya.
Prinsip kekuasaan yang harus dibatasi muncul seiring gagasan Montesquieu yang menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan secara absolut di satu tangan yang cenderung sewenang-wenang dan menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (misuse power) harus dicegah.
Oleh karenanya, Montesquieu menggagas trias politica dan teori pemisahan kekuasaan untuk mencegah kekuasaan di satu tangan (absolut) atau sekelompok kecil orang (oligarki) yang dapat menyebabkan terkonsentrasinya beberapa cabang kekuasaan menjadi satu. Hal tersebut berisiko melahirkan pemerintahan tirani yang dapat menihilkan hak-hak rakyat.
Miriam Budiharjo menanggapi trias politica sebagai suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan (functions) sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Pemikiran tersebut yang melahirkan munculnya prinsip checks and balances untuk membatasi masing-masing cabang kekuasaan dengan adanya prinsip saling mengawasi sehingga tidak ada lembaga negara yang mempunyai kekuasaan absolut.
Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demokrasi haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan apapun dan dari manapun. Montesquieu menekankan pentingnya kekuasaan yudikatif karena kekuasaan kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Prinsip persamaan di muka hukum merupakan elemen yang penting dalam konsep rule of law.
Mengenai perlunya pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan negara lainnya, Montesquieu mengemukakan : kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan. Jika kekuasaan kehakiman di satukan dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman di satukan dengan kekuasaan eksekutif, hakim bisa jadi penindas.
Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara dalam UUD 1945 pasca amandemen, dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung (peradilan umum, PTUN, peradilan militer, peradilan agama), serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Hal tersebut juga digaris bawahi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yakni :
- Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia.
- Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan umum, peradilan agama, PTUN, peradilan militer, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tertinggi dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Kemandirian kekuasaan kehakiman tidak saja mandiri secara kelembagaan, tetapi juga kemandirian dalam proses peradilan dan kemandirian hakimnya. Kemandirian proses peradilan diindikasikan dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian, hingga pada yang dijatuhkan.
Parameternya mandiri atau tidaknya proses peradilan ditandai oleh ada atau tidaknya intervensi dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi proses, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengalaman pengawasan hakim dalam masa orde lama hanya menjangkau keprofesionalitasan hakim dalam memutus perkara, tidak menyangkut perilaku hakim. Sehingga reformasi membawa kita untuk membentuk lembaga pengawas dalam yaitu Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial yang mendapatkan peran sesuai UUD 1945 beserta perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah : Pertama, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Peran ini dilakukan untuk menghindari kentalnya kepentingan politik eksekutif maupun legislatif dalam rekrutmen hakim. Kedua, peran lain dalam menjaga kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim. Hal ini dilakukan dengan pengawasan eksternal yang sistematis dan intensif oleh lembaga independen terhadap lembaga peradilan dengan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya.
Dilema ketika independensi kekuasaan kehakiman harus dijaga akan tetapi juga dibutuhkan pengawasan agar lembaga peradilan tersebut berjalan sesuai dengan cita-cita reformasi. Untuk melihat dilema tersebut ada baiknya kembali melihat ide demokrasi yang mana pandangan bahwa semua kekuasaan harus kembali dipusatkan kepada rakyat, dan jika tidak mungkin demokrasi langsung melainkan hanya demokrasi tidak langsung, bahwa seluruh kekuasaan harus dijalankan oleh suatu organ kolegial yang para anggotanya dipilih oleh rakyat secara langsung maupun tidak langsung dan secara hukum harus bertanggung jawab kepada rakyat.
Seberapa perlu menjaga independensi kekuasaan kehakiman saat ini yang masih banyak korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam menjalankan cita-cita peradilan yang bersih dan merdeka. Sehingga dilema pengawasan dan independensi kekuasaan kehakiman saat ini dapat sesuai dengan kondisi dan kemauan rakyat saat ini apakah kekuasaan kehakiman masih membutuhkan pengawas eksternal atau tidak.