Sabtu, April 20, 2024

Hormati Jose Mourinho!

Rial Ashari
Rial Ashari
personal blog: medium.com/@rial_ashari

Jose Mourinho keluar dari konferensi pers sambil mengulang-ulang satu kata kepada para jurnalis. “Respect! Respect! Respect, man! Respect!” Sesaat sebelumnya, ketika ditanya tentang hasil pertandingan, Mourinho mengakhiri penjelasannya dengan mengangkat tiga jarinya sambil berkata “Ini berarti tiga-kosong.

Tottenham tiga, Manchester United kosong. Tapi ini juga berarti angka tiga untuk jumlah gelar liga primer yang telah saya raih seorang diri, lebih banyak daripada seluruh manajer liga primer lainnya digabungkan”.

Ketika kalah dari Brighton and Hove Albion di laga kedua liga inggris. Manchester United dan Jose Mourinho terutama, menerima hujan kritik akibat permainan yang ditampilkan setan merah. Permainan MU jauh dari ciri sebuah permainan menyerang yang menghibur. Maka dari itu, tiga angka penuh adalah hal mutlak yang harus diraih ketika MU menjamu klub asal London Tottenham Hotspurs di laga ketiga.

Babak pertama berjalan mulus, sekalipun angka masih imbang tanpa gol, setidaknya MU menampilkan permainan yang cukup agresif dan menghasilkan banyak tendangan ke gawang. Sengatan Spurs muncul di babak kedua, tendangan sudut pertama yang didapatkan Spurs berbuah gol hasil sundulan Harry Kane.

Phil Jones gagal mengantisipasi datangnya bola dan sama sekali tidak sampai menyulitkan Kane dalam duel udara. MU ketinggalan. Atmosfer pertandingan seketika berubah. MU kocar-kacir menghadapi permainan disiplin Spurs, terutama di lini belakang. Mereka tidak terlihat sebagai sebuah tim. Dua gol brilian Lucas Moura semakin membuat malam itu diliputi aura negatif bagi supporter MU.

Apa yang diperlihatkan Jose Mourinho ketika konferensi pers tentu adalah cerminan sebuah rasa frustrasi. Tidak hanya dari kekalahan tersebut, gaya permainan MU di bawah asuhan Mourinho dianggap membosankan, tidak atraktif dan defensif. Respon Mourinho atas kritik terus menerus ini mungkin tepat persisnya apa yang disukai oleh awak media, mengingat hal seperti ini tentu akan menarik perhatian seluruh pecinta sepakbola. Tapi jelas itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi penggemar Manchester United.

Mourinho betul ketika ia menyebutkan jumlah trofi liga primernya lebih banyak dari gabungan trofi seluruh manajer liga inggris saat ini. Mourinho juara tiga kali bersama Chelsea. Sementara itu trofi liga inggris hanya pernah dijuarai oleh Manuel Pellegrini (manajer West Ham saat ini) ketika bersama Manchester City dan Pep Guardiola musim lalu. Tapi tiga kali juara tersebut ia raih ketika menangani Chelsea. Ia sekarang adalah manajer Manchester United, klub paling sukses dalam sejarah sepakbola inggris yang di setiap musimnya menargetkan trofi.

Memang penampilan Manchester United di tiga laga pembukaan liga primer tidak sepenuhnya akibat Jose Mourinho seorang. Ada banyak faktor yang mempengaruhi performa MU. Pertama, ada pihak klub yang berperan dalam merealisasikan kebijakan transfer pemain.

Seperti kita tahu, Mourinho pada akhirnya tidak mendapat tambahan amunisi untuk pemain bek tengah. Toby Alderweireld dan Harry Maguire gagal datang ke Old Trafford. Pihak klub terutama Ed Woodward menganggap nama-nama tersebut terlalu mahal dan MU masih punya bek tengah yang bagus. Kedua, performa individu pemain itu sendiri juga tidak boleh lepas dari kritik.

Paul Pogba, Lindelof atau Lukaku adalah pemain-pemain yang sangat bagus di piala dunia kemarin. Tetapi mereka malah tidak berhasil menunjukkan performa yang sama bersama klub. Para pemain tentu juga berperan dalam hasil minor tersebut. Dalam wawancara usai pertandingan, Mourinho berkata bahwa dari sisi strategi dan taktik, mereka tidak kalah. Hal ini seperti mengatakan bahwa masalah utama bukan bersumber dari pelatih, tetapi persoalan bagaimana pemain mengeksekusi taktik.

Akan tetapi bagaimana pun juga dalam hal ini pelatihlah yang bertanggung jawab. Mourinho memilih skuad pertandingannya sendiri dan melakukan pergantian pemain sendiri. Mourinho dalam pertandingan ketiga ini melakukan rotasi yang tidak meyakinkan, bahkan terkesan aneh. Eric Baily yang dipercaya di dua pertandingan sebelumnya bahkan tidak ada di bangku cadangan.

Juan Mata salah satu pemain paling matang dan berpengalaman, yang juga dipercaya di dua pertandingan pertama, tidak ada bahkan di bangku cadangan. Demikian pun dengan Anthony Martial yang tidak menjadi opsi di laga melawan Spurs. Suka atau tidak, kritik atas hasil ini harus diterima oleh Jose Mourinho.

Tapi dengan sikap yang ditunjukkannya di depan para jurnalis, masalah besar pasti sedang terjadi di Manchester United, dan Mourinho diakui atau tidak, sedang dalam krisis. Apakah itu krisis kepercayaan diri, krisis kepemimpinan, maupun krisis secara taktik-strategi.

Ketika pertama kali datang ke Inggris, dalam konferensi pertamanya ia berkata “I won european cup and I won champions league, please don’t call me arrogant, but I think I am the special one.” Hal inilah yang membuat pers Inggris tempo hari menjulukinya demikian.

Tapi yang ia tunjukkan paska pertandingan melawan spurs adalah sesuatu yang berbeda 180 derajat. Mourinho yang biasanya tenang, kharismatik dan memegang kendali konferensi pers atau wawancara dengan gaya lugas dan sesekali bercanda, menjadi seseorang yang lain.

Mourinho adalah seorang pemenang. Pertandingan-pertandingan besar telah dilalui dan dimenangkannya. Tapi yang satu ini seperti titik terendah dalam karirnya. Ia merasa tidak dihormati pers, tidak dihormati para pandit dan analis pertandingan, dan bahkan mungkin juga tidak dihormati para pemainnya.

Apa yang terjadi dengan seorang Jose Mourinho? Kita tahu ia memang seorang pemenang sejati, dan banyak orang kagum pada pencapaiannya selama karir kepelatihannya. Dua kali juara liga champions eropa, dua kali juara liga eropa, dan menjuarai kompetisi liga di Portugal, Itali, Spanyol dan Inggris.

Kemampuannya meracik strategi tim juga sudah diakui. Suatu ketika Samuel Eto’o, mantan pemain asuhannya, pernah berkata “Bagaimana mungkin anda membandingkan Mourinho dan Guardiola. Satu memenangi liga champions bersama Porto, dan satu tidak mampu memenanginya bersama Bayern Munich.”

Sebuah pemandangan paradoksal terlihat di Old Traford, tepatnya tribun Stretford End sesaat setelah laga melawan Spurs usai. Para pendukung MU bertepuk tangan, dan sebagian menyanyikan namanya.

Mourinho mendekat ke arah penonton, mengambil syal merah dan bertepuk tangan kepada penonton dengan durasi yang cukup lama. Sekilas ini suatu bentuk apresiasi Mourinho ke pendukung setan merah yang masih tinggal di stadion, sementara banyak penonton sudah meninggalkan stadion sebelum laga berakhir. Tapi ini jelas bukan Jose Mourinho. Mourinho adalah seorang pemenang dan selalu tahu mengendalikan situasi. Dan gestur ini seperti penanda bahwa ia telah kalah.

Ia membutuhkan dukungan para fans dari kritik. Ia butuh orang-orang untuk berhenti menyalahkannya. Tapi apapun yang dipikirkan pendukung MU di tribun tersebut, satu hal yang pasti. Mereka tidak sedang bertepuk tangan kepada manajer Manchester United. Melainkan sedang bertepuk tangan pada sebuah ego. Ego yang sangat besar dan saat ini sedang butuh satu hal: rasa hormat.

Rial Ashari
Rial Ashari
personal blog: medium.com/@rial_ashari
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.