Jumat, Maret 29, 2024

Hoax dan Ancaman Disintegrasi

Fanny Syariful alam
Fanny Syariful alam
Koordinator Regional SEKODI-Bandung, Awardee of the Nuffic Neso Netherlands for Citizen Participation and Inclusive Governance 2023, Anggota Multi-Pihak RAD PE Jabar-INFID-Fatayat NU

Oleh Fanny S Alam

 Koordinator Region Bandung Yayasan Bhinneka Nusantara Tidak dapat dihindari lagi betapa masyarakat sekarang melihat publikasi media secara terbuka serta tidak terhitung jumlahnya. Media bekerja dengan kepentingan dan keinginan bervariasi , di saat yang sama mereka juga mengharapkan partisipasi aktif publik dalam menyuarakan kepentingan mereka serta mengkritisi keberadaan publikasi yang beragam. Pada akhirnya, mengutip Walter Dean dan Tom Rosentiel dari American Press Institute, media bertindak sebagai penanggung jawab penyedia basis kehidupan demokrasi masyarakat berdasarkan setiap informasi yang dirilis setiap waktunya. Tentunya, setiap informasi tersebut membawa konsekuensi logis bagi cara berpikir publik, terlihat dari keterlibatannya dalam setiap interaksi terbuka. Untuk itu pula, media, lewat kerja jurnalistiknya, berfungsi pula sebagai penyedia kebenaran sebagai kewajiban prioritas bagi publik. Kemajuan teknologi yang pesat digunakan media sebagai jembatan penyedia informasi dalam waktu singkat dan selalu terbaru dalam setiap publikasinya. Nampaknya, media mengetahui betapa publik menginginkan informasi terbaru untuk kepentingannya sehingga diseminasi informasi dalam hitungan detik untuk informasi yang bahkan saling bertautan bukan hal yang baru lagi. Media dengan aplikasi teknologi terkini memperkenalkan fleksibilitas dalam akses informasi tanpa batas tempat dan waktu. Ragam media tersedia untuk kenyamanan publik untuk mengakses setiap alur informasi, terutama media sosial yang dilengkapi teknologi informasi. Ketidakberbatasan diseminasi informasi menyebabkan bebasnya informasi yang dipublikasikan kepada publik, di saat yang sama mereka kurang mempertimbangkan pemikiran kritis terhadap apa yang mereka baca dan serap dari setiap publikasi di media sosial, terutama yang terkait dengan diseminasi informasi yang ‘nampak benar meyakinkan namun salah dan diyakini benar’ (convincing lies as false truth). Hoax. Istilah ini akhir akhir ini bereskalasi ke permukaan dalam bentuk berita yang tampak meyakinkan dan semakin akrab di telinga publik, terutama yang berkaitan dengan isu politik, sosial, dan keberagamaan. Media, hoax, dan teknologi seakan-akan menjadi segitiga tidak terpisahkan yang saling melengkapi. Diseminasi hoax membutuhkan media sebagai alat untuk publikasi ke publik didukung dengan aplikasi teknologi terkini yang mempercepat penetrasi hoax ke ruang publik. Lisa Clark, praktisi media sosial dari artikelnya Social Media Rumors and Hoaxes menggarisbawahi bahwa hoax muncul seperti surat berantai karena kemunculannya disertai tanda ‘push button ‘ untuk membagi berita atau re-tweet. Hoax dianggap sangat meyakinkan karena kontennya disertai data sehingga pada akhirnya diseminasi hoax dapat diterima publik, memberikan pengaruh signifikan kepada pemikiran publik tanpa berpikir kritis apakah berita tersebut sudah akurat atau bahkan tidak. Segregasi pemikiran publik pun terjadi sehingga perpecahan pun tidak dapat dihindari, terutama yang mengutamakan publikasi kebencian di ruang publik. Isu keberagaman yang terkait dengan isu ras, etnis, dan kepercayaan merupakan isu yang sangat rentan dipenetrasi hoax demi kepentingan politis berbeda. Tanpa melihat unsur kepekaan dan kekritisan publik, hoax ini secara tidak langsung memecah belah publik di ruang diskusi terbuka sehingga yang tertinggal adalah lenyapnya nalar publik dalam menilai berita yang muncul, terutama hoax. Kepentingan elit politik tertentu untuk memenangkan kelompoknya dalam lingkup pemerintahan baik skala kecil maupun luas memanfaatkan diseminasi hoax untuk mendapatkan dukungan publik sekaligus memecah belah persatuan yang sudah dijalin dalam prinsip keberagaman sejak jaman dulu. Tidak dapat dipungkiri segregasi publik terhadap etnis dan kepercayaan yang berbeda sudah terjadi secara masif karena diseminasi hoax yang tidak terawasi, sehingga publik dipenetrasi isu isu yang rentan berisi kebencian terhadap ras, etnis, dan kepercayaan tertentu. Diseminasi hoax sendiri tidak terbantahkan dilakukan oleh media demi keuntungan secara finansial dan menarik perhatian publik karena memanfaatkan ketidaktahuan serta ketidakpedulian publik untuk memeriksa akurasi berita, sehingga kondisi ini secara tidak langsung mengarah kepada disintegrasi yang pada awal tidak disadari namun sejalan dengan waktu, ancaman disintegrasi menjadi terpapar dengan jelas. Indonesia dengan keberagaman ras, etnis, dan kepercayaan menjadi target diseminasi hoax pada penetrasi terhadap publik secara luas dan terbuka. Kepemilikan gawai berteknologi terbaru membuat publik semakin mudah mengakses setiap diseminasi hoax yang ditemukan di setiap akun media sosial. Respon publik memang merupakan media demokrasi yang sebenarnya diharapkan bisa saling mencerdaskan alih-alih terbawa suasana karena hoax yang sangat meyakinkan. Hoax sendiri dapat mengarahkan publik untuk bertindak melawan hukum, seperti yang kita pernah temukan pada kasus-kasus isu keberagaman, seperti Tolikara (2015) serta Tanjung Balai (2016). Melihat rentannya persatuan di Indonesia karena diseminasi hoax yang berkaitan dengan isu Keberagaman, maka diperlukan sinergi kuat antara media, pemerintah, dan publik dalam menyaring diseminasi hoax dalam ruang publik, terutama di media sosial. Pemerintah sekarang sudah memiliki payung UU ITE serta payung hukum pidana mengenai penyebaran informasi yang berhubungan dengan kebencian dan provokasi publik, sementara media sendiri memiliki tanggung jawab untuk mempublikasikan kerja media yang dapat diakurasi kebenarannya melalui investigasi data lebih lanjut, serta menjadi “goal keeper” atau penjaga gawang untuk melakukan verifikasi atas publikasi informasi alih-alih menjadi fasilitator diseminasi hoax, sementara publik memang harus mendalami proses literasi dan edukasi oleh pihak pemerintah dan media sehingga mereka dapat memahami resiko rentannya persatuan dan keberagaman hanya karena diseminasi dan akses terbuka terhadap hoax tanpa berpikir kritis serta cara berpikir ekslusif yang jauh lebih mendukung kelompok ras, etnis, dan kepercayaan tertentu. Inklusivitas cara berpikir harus diperkenalkan kepada publik demi menjaga keberagaman di negara ini secara berkelanjutan sehingga hal ini membantu penyaringan diseminasi hoax yang berkaitan dengan isu keberagaman di ruang publik dan media yang beragam.

Fanny Syariful alam
Fanny Syariful alam
Koordinator Regional SEKODI-Bandung, Awardee of the Nuffic Neso Netherlands for Citizen Participation and Inclusive Governance 2023, Anggota Multi-Pihak RAD PE Jabar-INFID-Fatayat NU
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.