Jumat, April 26, 2024

Hoaks Politik dan Kita yang Cemas Berlebihan

Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis
Belajar psikologi sambil menikmati sepakbola

Bertahun-tahun lalu sebelum teknologi gawai seperti sekarang, Facebook, Twitter, Instagram dan media sosial lainnya membawa kepribadian ke tahapan baru secara massal. Inilah kita, manusia hari ini, bagian dari masyarakat gawai.

Cambridge Analityca, semoga saja kita telah mendengarnya. Bahwa semua data kita tersimpan oleh perusahaan pada satu sisi, dan bahwa hal yang tersimpan dapat saja dibeli, dicuri atau dirampok oleh pihak lain ada pada sisi lain.

Bagaimana informasi hoaks merangsek di depan mata kita?

Bahwa tenaga asing dari negeri China membanjiri Indonesia, hutang negara terus bertambah, harga kebutuhan pokok tidak lagi terjangkau merupakan beberapa topik yang terus berhembus pada satu sisi.

Pada sisi lainnya menyatakan bahwa pemerintah terus bekerja membangun infrastruktur, angka kemiskinan terus menurun, dan perkembangan ekonomi terus membaik. Manakah yang anda percayai? Apakah anda telah memastikan informasi tersebut berdasarkan fakta? Ataukah malahan anda ikut sibuk membantah dan atau menyebarkannya?

Informasi berbau politik merupakan jenis informasi yang cepat berkembang seperti gulma digital. Memang, selain informasi politik, banyak informasi ‘liar’ lainnya yang bertebaran tanpa dasar, seperti informasi kesehatan, agama dan juga kriminalitas. Namun sepertinya informasi politik adalah juaranya.

The New York Times (2017) menulis selama kampanye presiden 2016, Facebook menjual lebih dari 100.000 iklan ke perusahaan yang terkait dengan Kremlin (Rusia), dan Google lebih dari 4.500.

Melalui akun-akun palsu, hal tersebut disinyalir digunakan oleh pihak tertentu untuk mempengaruhi pemilih guna menguntungkan salah satu calon. Hal tersebut membuat Facebook, Google, Twitter dan perusahaan raksasa lainnya terdesak dan mengeluarkan kebijakan baru untuk melawan dan menangkal berita palsu yang difabrikasi atau biasa kita sebut sebagai berita auta, hoaks (hoaxes).

Psikologi menyebut media sosial sebagai tempat berinteraksi antara teknologi dengan bias psikologis manusia yang seringkali bersifat bawah sadar. Kecepatan informasi dalam media sosial membuat kita rentan terhadap kesalahan.

Sebenarnya kita memiliki modal untuk tetap mendapatkan informasi faktual, ia bernama skeptisisme. Mempertanyakan dan menelusuri sumber informasi. Namun, kemasan informasi, tampilan grafis dan meme, duplikasi, viral, algoritma serta lingkungan ‘masyarakat internet’ membuat modal satu-satunya tersebut rentan untuk tidak berfungsi.

Pada saat kita belum sempat mengaktifkan radar skeptis, internet telah membanjiri kita dengan informasi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Brendan Nylan (2018), seorang profesor di Dartmouth College, menyebutnya sebagai bias psikologis.

Keadaan dimana kecepatan teknologi mengalahkan kecepatan pengambilan keputusan manusia. Keadaan dimana kita sebenarnya secara halus diarahkan untuk menikmati hidangan yang belum tentu kita butuhkan.

Collen Seifert, seorang profesor psikologi Universitas Michigan, menyebut hal ini sebagai kecerdasan teknologi melalui algoritmanya untuk memprediksikan minat dan menjaga mata (keinginan) kita untuk tetap terfokus pada layar gawai. Persis seperti anak-anak yang penasaran saat bermain game. Inilah kurasi informasi.

Atensi dan kepompong informasi

Proses beripikir manusia adalah misteri. Jauh sebelum memahami dan mempercayai informasi, manusia terlebih dahulu melakukan seleksi. Proses seleksi inilah dalam psikologi kognitif disebut perhatian/atensi (attention).  Akan menjadi masalah jika kita tidak dapat mengontrol atensi diri kita sendiri.

Inilah kira-kira yang ditemukan oleh Xiaozan Qui dan empat koleganya dalam penelitian yang dipublikasikan Nature Human Behaviour (2017). Bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memproses informasi, sehingga ketika dibanjiri informasi, mereka akan kelebihan beban.

Keterbatasan (waktu) membuat orang akan cenderung bergantung pada mekanisme penanganan yang kurang ideal untuk membedakan yang baik dari yang buruk, dan akhirnya mengistimewakan popularitas, alih-alih kualitas informasi. Ini kombinasi mematikan dari kejenuhan data dan terbatasnya rentang atensi manusia, celah tumbuh suburnya jalur penyebaran hoaks.

Penelitian tersebut memberikan gambaran pada kita bahwa bisa saja mekanisme berpikir kita telah dikontrol sejak awal, dimulai dari penyediaan informasi yang kemudian didorong (data driven) menggunakan algoritma internet.

Media sosial adalah distributor informasi utama yang bisa saja menentukan persepsi masyarakat. Terlebih algoritma media sosial membuat manusia hidup dalam ruang kepompong informasi. Apa yang tersedia di layar sangat bergantung pada apa ‘kata kunci’ terakhir kita klik dan telusuri.

Jangan heran jika layar anda dipenuhi oleh informasi positif tentang pemerintah, karena anda telah mengirimkan sinyal melalui penelusuran sebelumnya, begitu sebaliknya. Kata kunci algoritma media sosial berada pada klik, varian teman, like, penyebaran atau durasi menonton video. Tidak heran kan jika salah satu dari teman atau keluarga kita setiap hari hanya berbicara satu tema saja? Karena mereka lahir dari kepompong media sosial.

Seberapa jauh hoaks mempersuasi perilaku politik masyarakat?

Menjelang pemilihan presiden 2019, sangat wajar jika kekhawatiran meningkat terkait penggunaan media sosial dengan situasi politik nasional. Sayangnya tidak semudah itu sesorang dapat dipengaruhi.

Setidaknya suara tersebut dikemukakan oleh beberapa hasil temuan ilmiah yang menyatakan persuasi politik melalui media sosial memiliki pengaruh yang tidak sekencang riuhnya media sosial. Joshua Kalla dan David E. Broockman (2018) menerbitkan hasil analisisnya terhadap 49 penelitian (meta-analisis) tentang penggunaan media sosial untuk persuasi politik.

Kajian yang diterbitkan jurnal American Political Science Review tersebut menyebut bahwa pengaruh informasi kandidat politik dalam media sosial adalah nol alias tidak ada. Cukup mengagetkan bukan?

Berbagai argumen ilmiah dikemukakan oleh Kalla dan Broockman atas hasil penelitiannya yang tidak sesuai dengan pendapat umum. Pertama-tama adalah pilihan politik adalah sesuatu yang fundamental. Data ilmiah menunjukkan bahwa dasar pilihan politik seseorang dipengaruhi oleh pihak mana yang sebelumnya mereka dukung dan keadaan yang dirasakan langsung seperti keadaan ekonomi, kemudahan pelayanan, infrastruktur dan lainnya.

Argumen selanjutnya adalah seberapa banyak orang membaca isi berita (materi) hoaks sebelum mereka menyukai atau menyebarkannya? Statistik menunjukkan bahwa berita yang menjadi viral belum tentu berita yang dipercayai orang, termasuk oleh mereka yang memberikan respon positif dalam media sosial (menyukai dan menyebarkan).

Yang lebih mencengangkan adalah bahwa pembaca berita hoaks politik merupakan orang-orang yang telah menentukan pilihan. Brendan Nyhan bersama dua koleganya Nyhan mengolah data kunjungan pemilih Trump dalam pemilu 2016 pada situs berita hoaks yang dianggap menguntungkan Trump.

Mereka hanya menemukan 40 persen pendukung Trump yang mengunjungi situs berita yang tidak kredibel selama masa kampanye. Jika ditotal dari keseluruhan konsumen situs palsu, angka tersebut hanyalah 13,1 persen. Sangat sedikit bukan? Dunia memang tidak seriuh media sosial hehe

Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis
Belajar psikologi sambil menikmati sepakbola
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.