2010 lalu, Presiden AS Barack Obama yang diwakilkan oleh Mr. Cameron Hume selaku Duta Besar AS untuk Indonesia pada acara Silaturahim Presiden RI dengan AIPI dan Masyarakat Ilmiah di Kantor Pusat AIPI. Di mana dalam kesempatan tersebut Presiden AS menyampaikan bahwa tantangan global yang terjadi di hadapan kita saat ini, menjadikan sains dan teknologi sangat penting sebagai antitesa atas tantangan-tantangan tersebut. Mulai dari perubahan iklim sampai dengan perlindungan keanekaragaman hayati. Lagi pula, pengetahuan dan inovasi akan merupakan dasar dari kemakmuran ekonomi di abad ke-21.
Sehubungan dengan pidato tersebut kita dapat memaknai bahwasanya manusia telah berada pada sebuah peradaban yang sedikit banyaknya telah mengalami beragam pergeseran dengan apa yang dahulu nenek moyang kita alami. Tantangan global yang kita hadapi datang dengan kesan yang lebih rumit dan pelik, di lingkup ekonomi maupun politik. Belum lagi menyoal persoalan lingkungan hidup yang kita alami saat ini, tentu mencengangkan mengingat kualitas hidup yang kita miliki sangat jauh dari kata ideal. Hal ini dapat kita lihat dengan menurunnya angka harapan hidup di beberapa negara.
Menurut Eurostat, harapan hidup telah meningkat di UE sejak 1960-an, rata-rata, lebih dari dua tahun per dekade. Pada 2020, penurunan terbesar tercatat di Spanyol dengan -1,6 persen setiap tahun, diikuti oleh Bulgaria dengan -1,5 persen, dan Lituania, Polandia, Rumania, masing-masing -1,4 persen. Dalam Uni Eropa tercatat hanya Denmark, Finlandia, dan Norwegia sebagai negara-negara yang datanya menunjukkan tren positif dalam harapan hidup.
Hal tersebut mencengangkan tentunya, terlebih bagi sebuah bangsa yang memimpikan suatu kemajuan di masa-masa yang akan datang. Lantas dari mana upaya perbaikan dan pembaharuan ini bisa dimulai? dan dimana ataupun bagaimana HMI mesti berperan? Sejumput pertanyaan tersebut telah sering mengudara di setiap kepala masing-masing kader HMI dan kerap kali dituangkan pada berbagai perhelatan-perhelatan yang dilakukan.
Mengapa di paragraf sebelumnya menyinggung HMI? sebab jikalau berbicara Indonesia, maka kita tak boleh luput pada HMI- sebuah organisasi kemahasiswaan yang bergerak pada ranah perkaderan dan perjuangan- dimana tindak-tanduk organisasinya sejak 2 tahun setelah kemerdekaan banyak memberikan kontribusi perubahan pada bangsa ini. Patut ditilik tentunya bagaimana HMI mampu berperan di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa ini, demi citanya menjadi sebuah negara emas di tahun 2045.
Dikutip dari Kementerian Kementerian PPN/Bappenas terkait visi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, yang kemudian diejawantahkan oleh Bapak Presiden kita dengan tajuk “Impian Indonesia 2015-2085”. Selanjutnya Bappenas sendiri membagi berbagai pencapaian visi Indonesia tersebut ke dalam 4 pilar pembangunan, yaitu Pembangunan Manusia serta Penguasaaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, Pemerataan Pembangunan, serta Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan. Dimana masing-masing pilar berisi bidang-bidang pembangunan, dari pendidikan hingga politik luar negeri, yang harus dibangun dan dipercepat hingga tahun 2045 untuk mewujudkan Visi Indonesia 2045.
Menanggapi hal tersebut, HMI sejatinya memilki potensi yang sangat besar untuk menjadi lokomotif dalam pembaharuan Indonesia demi merealisasikan citanya. Pada berbagai poin yang telah dipilah, agak muskil pastinya untuk mencoba mencari peran HMI dengan tetap berkontribusi atas cita bangsa ini menjadi salah satu dari kekuatan besar di dunia nantinya. Hemat penulis, HMI mampu memosisikan diri pada poin pertama yang telah digagas, yakni dengan turut berjibaku pada pembangunan Manusia serta Penguasaaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
HMI dengan kumpulan anggotanya yang merupakan mahasiswa tentu akan menjadi pilar di tahun-tahun tersebut, sebab pada masa window of demography, dimana usia jumlah usia produktif (usia 15-64 tahun) lebih besar dibanding jumlah penduduk yang tidak produktif (di bawah 14 tahun atau di atas 65 tahun) tersebut hadir, maka orang-orang tersebut pastinya merupakan sosok yang saat ini menjadi mahasiswa, dan tidak menutup kemungkinan merupakan kader HMI.
2018 lalu, Mckinsey Global Institute menuturkan bahwa bangsa yang ingin meraih kemajuan di tahun-tahun yang akan datang setidaknya perlu untuk memperhatikan beberapa hal, salah satunya ialah: melahirkan generasi muda yang produktif dan guna mencapai bonus demografi yang kompetitif. Tanpa hal tersebut maka tak menutup kemungkinan cita-cita menjadi bangsa yang lebih baik hanya menjadi ilusi.
Belum telat tentunya, untuk Indonesia dan HMI agar mulai mengembangkan Sdm yang unggul dan mumpuni sehingga mampu mencipta atau paling tidak meningkatkan nilai dari suatu produk yang dibutuhkan pasar domestik atau internasional dengan se-efisien mungkin, berkualitas tinggi, dan dengan harga yang bersaing. Selanjutnya tak boleh dilupakan upaya terhadap sumber energi baru dan ikhtiar yang adaptif terhadap perubahan iklim, hingga akhirnya nanti dapat memerangi berbagai penyakit yang lahir disebabkan buruknya kualitas hidup yang dimiliki. Serta terakhir, dapat memperbaiki pendidikan sains dan matematika yang berujung pada lahirnya teknologi terbarukan.
Dalam menyongsong cita Emas 2045 tersebut, kiranya HMI mesti merestorasi fokus organisasinya dengan tetap berfokus kepada pendidikan selaku syarat awal yang harus dipenuhi sembari melakukan upaya-upaya inovatif. Meski begitu, pendidikan tersebut tak bisa menjadi satu-satunya senjata yang kita pergunakan. Kita memerlukan faktor yang lain, yaitu: adanya pelaksanaan serta pengembangan riset dan teknologi yang di lingkup organisasi atau bahkan menjadi salah satu fokus dari pelaksanaan Pendidikan, hingga tercapainya upaya berkesinambungan.
Patut kita pahami, bahwa teknologi adalah rangkuman dari sejumlah disiplin ilmu pengetahuan terapan. Sedangkan ilmu pengetahuan terapan tersebut masih harus dikembangkan dari disiplin ilmu pengetahuan dasar terkait. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan sama sekali kader-kader HMI mampu melahirkan sebuah teknologi yang inovatif, meski kader-kadernya mayoritas dipenuhi oleh sejumlah mahasiswa yang menggeluti disiplin social science.
Terakhir yang tak boleh terlupakan, HMI mesti lebih banyak menaruh perhatian pada ‘grammar-grammar dunia’ diantaranya yang terpenting ialah Environmental Ethic. Sebab sekali lagi, perubahan iklim bukanlah hal fiktif, dan tidak pernah menjadi persoalan yang sederhana. Solusinya bukan hanya tentang membeli bohlam hemat listrik ataupun mobil listrik.
Tapi, persoalannya telah berjalan jauh daripada itu, dan jalan keluarnya bukan lagi pada tataran keputusan-keputusan yang mesti dilakukan oleh individu, melainkan tentang bagaimana peran pemerintah dan sebuah industri yang harus mengambil keputusan segera, dengan skala tindakan yang sangat besar. Kita sebagai organisasi perkaderan juga patut dalam merumuskan kebijakan dan melahirkan formulasi pendidikan guna menunjang environmental sustainability. Hingga pada akhirnya, kita dapat sampai pada suatu visi yang realistis, dan tidak berakhir pada sebuah utopia.