Jumat, September 5, 2025

Hikayat Mulut Pejabat Indonesia

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer, pengajar, dan pembelajar. Aktif menulis dan mengomentari. Saya aktif di Komunitas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung dan Komunitas Narasi Jabar.
- Advertisement -

“Mulutmu, harimaumu,” bukan sekadar peribahasa, tapi ilustrasi nyata tentang karma dari perkataan yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih menjadi pembelajaran, Ahmad Sahroni, politisi dari Partai Nasional Demokrat, yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI, justru mengundang masalah dengan menyebut “orang tolol sedunia” kepada orang yang menyerukan pembubaran parlemen ketika ia sedang kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara pada 22 Agustus 2025 lalu.

Masalahnya, ungkapan tersebut dilontarkan berbarengan dengan seruan pembubaran DPR RI yang bergema di media sosial, terutama X dan Instagram, sebagai akibat dari kemarahan publik terhadap masalah gaji dan tunjangan anggota Dewan yang dinilai fantastis. Bagaimana, mengurai kontroversial “mulut” pejabat Indonesia tersebut?

Arogansi Keakuan Politisi

Dalam sebuah kesempatan, Michael Patrick Lynch dalam bukunya “Know It All Society: Truth and Arrogance in Political Culture” menjelaskan bahwa kesombongan dalam diskursus politik wujud dari sikap moral (keyakinan) bahwa mereka merupakan pihak yang mengerti segalanya dan tidak perlu memperbaiki diri (sudah hebat) dan itu mungkin disebabkan oleh keyakinan ketidakberdosaan pada dia dan kelompoknya, mengabaikan kebenaran, dan menerima kekuasaan sebagai ukuran kesuksesan.

Seolah memperkuat pandangan Lynch, riset Tanesini dalam artikelnya “Intellectual Arrogance: Individual, Group-Based, and Corporate” menyebut bahwa superbia (kesombongan) intelektual, baik kepada individual, kolektif, maupun korporat, dilandasi oleh motif peningkatan diri dan sikap defensif positif terhadap identitas sosial seseorang dalam mempertahankan dominasi sosialnya. Kombinasi keduanya menghasilkan perspektif menarik tentang potensi seorang pemangku jabatan yang intelek, tumbuh lewat residu pencapaian diri dan usaha penting untuk menjadi strata sosial tinggi (pejabat parlemen), serta dorongan mempertahankan dominasinya dalam struktur sosial. Ketika semua diraih, maka potensi seseorang untuk “sombong” menjadi terbuka.

Kesombongan pejabat tinggi ini hanyalah satu hal. Dalam beberapa aspek, kerap ditemukan sikap nirempati, terlepas dipengaruhi kesombongan intelektual-stratifikasi sosial atau memang kemampuan komunikasi yang perlu dibenahi. Misalnya, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025 yang meminta masyarakat untuk membantu negara dalam usaha menyejahterakan guru dan dosen, pernyataan anggota DPR Nafa Urbach yang mengeluh soal kemacetan Bintaro-Senayan, pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyebut kematian balita Raya di Sukabumi bukan karena cacing tapi diduga akibat meningitis tuberkulosis (TBC), dan lainnya.

Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan para pejabat, seharusnya bukan hanya bermakna rasionalitas bertaburan data, namun perlu memerhatikan aspek kepekaan sosial yang tinggi. Namun, akibat kurangnya kontrol dan evaluasi diri, beberapa oknum pejabat publik kerap mengabaikan aspek empati. Tidak jarang, aksi-aksi yang dilakukan justru berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak diperlukan, terlebih interpretasi liar seperti penghinaan hingga ejekan. Misalnya, sikap anggota DPR yang berjoget dan disiarkan oleh TVR Parlemen hingga beberapa di antaranya merespons kritikan publik atas aksi tersebut, misalnya Uya Kuya dengan konten ber-caption “Gaji Rp 3 juta per hari dikira banyak” dan Eko Patrio dengan konten video parodi DJ Sound Horeg.

Video tersebut memang nampak biasa saja. Namun, bagi sebagian masyarakat, hal itu rentan diinterpretasikan sebagai sindiran, nyinyir, bahkan hinaan. Joget-joget DPR sendiri ketika Sidang Tahunan MPR dan sidang bersama DPR dan DPD, bertepatan dengan rencana gaji 100 juta/bulan atau 3 juta/hari, sudah dinggap tidak berempati di tengah kondisi masyarakat yang sulitm mulai dari tekanan pajak, pengangguran, dan rendahnya daya beli. Sayang, alih-alih meminta maaf, justru klarifikasi dipilih sebagai penebusannya.

Penggunaan klarifikasi kerap dimanfaatkan sebagai ajang maaf-maafan formalitas, yang kerap mengabaikan aspek esensial yang mestinya diperhatikan sebelum suatu peristiwa terjadi, yaitu “berpikir sebelum bertindak”. Misalnya, pasca demo besar-besaran di Pati akibat kebijakan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan/Perkotaan (PBB-P2) dan mendapatkan ancaman angket dari DPRD Pati, Bupati Pati, Sadewo, akhirnya meminta maaf karena telah menantang massa untuk berdemo dan mendatangkan 50 ribu massa.

Eksistensi diri yang ditopang intelektualitas, relasi kuasa (politik), dan capaian diri hingga strata sosial, berpotensi melahirkan sikap superbia (sombong), dan hal itu akan mengurangi peran empati di hati pejabat publik. Sehingga, aksi-aksi kontroversial lepas begitu saja tanpa pertimbangan etis dan moral. Wajah politik Indonesia tercemar akibat kultur arogansi ini. Perlu adanya rekulturisasi dan orientasi budaya “malu” dan bertanggung jawab di negara Indonesia.

Siapa yang Mesti Sadar?

Semua! Namun, yang paling berhak adalah pejabat publik. Sebagai pihak yang dimanfatkan kekuasaan untuk mewakili, dianggap sebagai orang terpilih, perwakilan konstituen, “wakil rakyat yang terhormat”, mestinya menjalankan mandat tersebut secara bertanggung jawab. Konsekuensi yang dipikulnya mengandung beban moralitas yang tinggi, yang menandakan penghormatanya bukanlah sekadar pemberian tetapi juga tanggung jawab etis kepada pemilihnya. Maka, wajar bila bila aktor politik harus dipandang “sempurna”, paling tidak minim kesalahan. Wajar, bila seorang politisi harus melewati pengkaderan atau sekolah politik, tidak lain sebagai bekal untuk menjadi pemangku beban kepentingan rakyat.

- Advertisement -

Sebagai konstituen, memang kita turut andil dalam memilih kandidat terbaik untuk mewakili kepentingan masyarakat di parlemen. Kebijaksanaan kita dalam memilih sangatlah penting karena akan ada konsekuensi politik yang menanti bila partisipasi kita tidak digunakan secara bertanggung jawab atau asal-asalan, setidaknya ketika “mencoblos” tokoh politik pilihan kita. Hal itu bisa dihindari dengan terus meningkatkan kemampuan literasi kita. Pada akhirnya, pengendalian dan evaluasi diri, terutama pejabat tinggi, perlu ditegakan.

Kembali kepada persoalan arogansi. Jadi, dimensi yang perlu dihidupkan saat ini adalah literasi politik terhadap seluruh masyarakat, terutama politisi, penegakan dewan etik yang independen non-partai, dan pengkaderan. Satu lagi, ungkapan mengenai “diam itu emas” masih cukup efektif untuk mengendalikan situasi yang berpotensi memburuk dan menciptakan kegaduhan politik yang tidak disukai Presiden Prabowo, terlebih sampai menyakiti hati rakyat. Hal yang perlu dilakukan adalah memproses sejenak dalam pikiran, sebelum bertindak, ketika kamera sedang aktif dan menyiarkannya kepada publik Indonesia yang sedang kesulitan, daripada harus selalu berakhir dengan klarifikasi dan permohonan maaf yang formalitas.

Oleh karena itu, pejabat harus sadar diri, bahwa tindak tanduknya akan senantiasa disorot publik, setidaknya berbicaralah dengan terhormat, sehingga menjadi motor penggerak bagi kepercayaan publik yang selama ini terseok akibat ulah oknum pejabat itu sendiri.

Sidik Permana
Sidik Permana
Saya merupakan seorang freelancer, pengajar, dan pembelajar. Aktif menulis dan mengomentari. Saya aktif di Komunitas Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung dan Komunitas Narasi Jabar.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.