Rabu, April 24, 2024

Hijrah Digital Kala Pandemi Global

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)

Dalam sebulan terakhir ini, ada realitas baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak orang mulai bergerak menggunakan perangkat digital sebagai senjata kebaikan. Mulai dari mengadakan penggalangan dana secara online, hingga mengkampanyekan tagar #Dirumahaja atau #Workfromhome sebagai bentuk perjuangan. Kondisi ini menyusul masih tingginya resiko persebaran Coronavirus Disease (Covid-19) di Indonesia.

Sebagai informasi, berdasarkan data pemerintah yang dimuat pada laman covid19.go.id, per Sabtu sore (18/4), pasien positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai 6.248 orang. Dari jumlah tersebut, 535 di antaranya meninggal dunia dan 631 orang lainnya dinyatakan sembuh. Ironisnya, jumlah tersebut selalu bertambah secara ekponensial dan telah menyebar ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Merespon penyebaran Covid-19 yang semakin meluas, pemerintah menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Sekala Besar (PSBB). Prakteknya, masyarakat dihimbau untuk belajar, beribadah, dan bekerja dari rumah (work from home). Sekolah dan kampus ditutup, agar siswa/mahasiswa bisa belajar di rumah (distance learning). Bahkan, lembaga keagamaan (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menganjurkan ibadah di rumah dan tidak ke masjid sementara waktu.

Realitas Baru

Kebijakan pembatasan sosial (social distancing), nyatanya mendorong hadirnya realitas baru, yaitu hijrah digital. Segala aspek kehidupan seperti politik, bisnis, dan pendidikan yang biasanya dilakukan secara face to face (tatap muka), kini harus dilakukan secara jarak jauh dengan metode online. Akibatnya populasi dunia maya (cyberspace) mengalami peningkatan, sebagai konsekuensi logis dari penggunaan akses internet.

Sebenarnya, apa yang terjadi hari ini telah diprediksi jauh hari oleh Marshall McLuhan dalam bukunya “Understanding Media” (1964). Lewat teori Determinisme Teknologi, McLuhan menjelaskan bagaimana perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi, akan membentuk keberadaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, teknologi mampu merubah cara berpikir dan pola interaksi manusia.

Perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya telah mengubah kebudayaan manusia saat ini. Kita bisa melihat bagaimana saat ini banyak orang membagikan tangkapan layar kegiatan “teleconference” di medsosnya masing-masing. Umumnya, gambar atau video teleconference tersebut menunjukan kegiatan rapat, pengajian, proses pembelajaran, maupun kordinasi dengan teman organisasi. Melalui perangkat digital, kini setiap orang bisa berinteraksi tanpa ada batasan ruang dan waktu.

Untuk menghindari resiko penularan Covid-19, proses pembelajaran dilakukan secara jarak jauh (distance learning) dengan metode daring. Fasilitas pembelajaran jarak jauh seperti Whats App Group (WAG), Google classroom, dan aplikasi pembelajaran lainnya, digunakan sebagai pengganti ruang kelas antara guru dan murid. Hal ini mendorong setiap rumah menjadi “ruang guru” versi baru, lengkap dengan para orang tua yang mendadak menjadi asisten dosen atau asisten guru.

Bersamaan dengan itu, makin luasnya penggunaan internet membuat orang bisa bekerja dari manapun dan kapanpun. Bekerja tidak perlu datang secara fisik ke kantor atau pabrik, melainkan cukup melaksanakan tugas di rumahnya masing-masing (WFH). Hal ini seperti ungkapan Alvin Toffler dalam “The Third Wave” (1980), bahwa perubahan masyarakat post-industrial akan menuju abad informasi dan teknologi, dimana proses pertukaran data informasi menjadi sebuah motif penggerak utama.

Namun demikian, migrasi ke ruang digital bukanlah jalan yang tanpa problem. Kita tidak bisa menutup fakta, bahwa kebijakan WFH belum bisa diterapkan oleh semua kalangan. Selalu ada titik kontras antara kecepatan perubahan digital yang tidak linier, dengan kepentingan kekuasaan yang kerap berstatus quo. Akibatnya, sebagian besar masyarakat masih dirundungi kehawatiran dalam mencari pekerjaan ditengah situasi pandemi.

Di sisi lain, kejahatan digital seperti cybercrime, cyberbullying, cyberhoax, dan cyberporn, masih menjadi persoalan masyarakat digital saat ini. Banyaknya pengguna internet tidak serta merta menjamin “kedewasaan” dalam bermedia sosial. Sebagaimana kajian James Curran et all, dalam “Misunderstanding the Internet” (2012), bahwa tidak ada ruang bebas nilai serta bebas kepentingan, termasuk jagat internet dan digital.

Memaksimalkan Peran Digital

Berkaca dari kondisi tersebut, diperlukan suatu gerakan mengenai pemanfaatan teknologi dan media digital, terutama dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19. Dalam hal ini, ada tiga hal penting yang bisa kita maksimalkan. Pertama, memaksimalkan teknologi digital sebagai sarana edukasi publik.

Kita semua sadar bahwa kehadiran teknologi saat ini, telah menjadi salah satu diantara tiga sumber daya dasar (basic resource) selain potensi material dan energi. Karenanya, teknologi digital harus kita manfaatkan untuk mengedukasi masyarakat dengan konten yang lebih kreatif dan inovatif. Dengan cara ini, diharapkan persoalan besar seperti social punishment (hukuman sosial) dan stigma terhadap korban Covid-19, bisa segera teratasi.

Kedua, menjamin partisipasi publik lewat teknologi digital. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sudah sangat jelas bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Itu artinya, dalam segala aspek pembuatan peraturan maupun kebijakan publik, aspirasi rakyat adalah titik pijak yang paling utama.

Dalam hal ini, kehadiran teknologi harus dimanfaatkan untuk membuat corong aspirasi publik secara luas. Salah satunya dengan membuat aplikasi mobile “sapa warga” khusus penanganan Covid-19. Hal ini penting dilakukan, demi mewujudkan iklim pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan. Sehingga setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam menghadapi Covid-19, benar-benar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan rakyat.

Ketiga, memaksimalkan teknologi telemedicine dalam pelayanan kesehatan. Saat ini, sebagian besar rumah sakit menutup layanan rawat jalan dan pembedahan berencana sebagai upaya menurunkan risiko penularan. Sudah barang tentu hal ini menimbulkan masalah bagi pasien yang membutuhkan konsultasi dengan dokter mengenai penyakitnya. Dengan demikian, telemedecine bisa menjadi solusi dalam meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan secara jarak jauh.

Pada ahirnya, perubahan-perubahan karena pandemi Covid-19 ini sudah ada di depan mata kita. Bila prakondisi ini telah mampu dipersiapkan, maka kita dapat bersiap menyongsong gegap gempita masyarakat digital. Tinggal PR kita adalah mendorong penggunaan teknologi digital ini lebih efektif, efisien, dan transparan.

Dadan Rizwan
Dadan Rizwan
Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Ketua Umum Forum Intlektual Muda Nahdliyin (FIMNA)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.