Hidup dengan HIV di era sekarang seharusnya bukan beban, melainkan tantangan yang bisa ditaklukkan. Namun, satu hal yang masih sulit dilawan bukanlah virusnya, melainkan stigma yang terus melekat di Masyarakat
Human Immunodeficiency Virus (HIV) bukan lagi vonis mati. Dengan pengobatan antiretroviral (ARV) yang tersedia luas dan efektif, orang dengan HIV (ODHIV) dapat menjalani hidup sehat, aktif, dan produktif seperti orang lain. Namun, satu hal yang masih menjadi momok besar bagi ODHIV adalah stigma.
Banyak orang masih menyamakan HIV dengan AIDS, padahal keduanya tidak sama. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, sedangkan AIDS adalah tahap lanjut dari infeksi HIV yang tidak ditangani dengan baik. Jika seseorang rutin mengonsumsi ARV, virus dalam tubuhnya bisa ditekan hingga tidak terdeteksi, sehingga tidak akan berkembang menjadi AIDS dan tidak menularkan virus ke orang lain (Undetectable = Untransmittable).
Menurut UNAIDS (2023), pada tahun 2023 terdapat 39,9 juta orang yang hidup dengan HIV dan sebanyak 30,7 juta ODHIV di dunia telah mengakses terapi ARV. Terapi ini memungkinkan mereka memiliki harapan hidup yang setara dengan individu tanpa HIV.
Perlu diingat, HIV tidak menular lewat pelukan, air liur, atau makan bersama. Kesalahpahaman lain yang juga masih banyak dipercaya adalah bahwa HIV hanya menyerang “kelompok tertentu” atau merupakan akibat dari perilaku menyimpang. Padahal, HIV bisa menular melalui hubungan seksual tanpa kondom, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, transfusi darah yang tidak aman, atau dari ibu ke anak saat persalinan dan menyusui.
Stigma terhadap ODHIV berdampak sangat serius. Banyak orang enggan untuk tes HIV karena takut dikucilkan jika hasilnya positif. Bahkan setelah terdiagnosis, tidak sedikit yang menolak atau berhenti minum obat karena takut statusnya terbongkar. Beberapa ODHIV juga mengalami penolakan di tempat kerja, pelayanan kesehatan, hingga dalam keluarga sendiri.
Melawan Stigma, Menyelamatkan Nyawa
Mengakhiri epidemi HIV tidak cukup hanya dengan pengobatan. Kita juga harus memutus rantai stigma. Edukasi publik, penggunaan bahasa yang ramah, perlindungan hukum bagi ODHIV, dan layanan kesehatan yang inklusif adalah langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung.
Menerima ODHIV sebagai bagian dari masyarakat adalah kunci. Karena pada akhirnya, HIV bukanlah akhir dunia — tetapi stigma bisa menjadi akhir dari harapan.
Referensi:
Centers for Disease Control and Prevention. (2023, November 29). HIV: Causes, how it spreads, and how it is treated. U.S. Department of Health & Human Services. https://www.cdc.gov/hiv/causes/index.html
Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2022. https://www.kemkes.go.id
Riani, R., Rinancy, H., & Hastuty, M. (2025). Socialization of Critical HIV/AIDS Condition Prevention Measures. Journal of Community Service and Empowerment, 1(2), 38-45.
United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). (2023). Global HIV & AIDS statistics fact sheet. https://www.unaids.org/en/resources/fact-sheet
World Health Organization. (2023). HIV/AIDS. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hiv-aids
Wulandari, A., & Mubarokah, K. (2024). Dukungan Sosial dan Stigma HIV/AIDS pada Pekerja: Sebuah Tinjauan Sistematis. Griya Widya: Journal of Sexual and Reproductive Health, 4(1), 1-8.