Jumat, Januari 17, 2025

Henri Cartier-Bresson, Kamera Bukan Sekedar Memotret

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
- Advertisement -

Kiwari kita disuguhi banyak sekali foto yang dapat kita tilik dibantu dengan ketukan jari. Foto memberikan sebuah informasi. Tak hanya itu, foto juga memberikan sebuah pengertian dimana objek yang dipilih memiliki sebuah makna.

Seorang serdadu membiawak sambil merintih menahan sakit. Ia melamun meremas-remas lengannya yang kebas. Keberadaan foto tak bermakna bila objek itu tidak memiliki rasa yang memantik pemotret untuk membunyikan klik pada kamera. Syahdan realitas yang unik mengetuk pemotret untuk menangkap daya pikat sebuah realitas. Seperti serdadu tersebut.

Keberadaan kamera membantu para penilik untuk dapat bertemu dengan masa silam. Kamera yang memiliki fungsi untuk merekam realitas itu, punya pengaruh penting dari setiap prosesnya. Kamera menyuguhkan sebuah interpretasi.

Konon di awal abad ke-20 kamera menjadi saksi geliat manusia yang riuh menyambut perihal bangsa dan ideologi. Bersandar pada ide mengenai bangsa dan ideologi terbesit geliat berupa gerakan, hiruk-pikuk sampai percekcokan yang berujung gesekan.

Kamera muncul merekam situasi. Seniman tangguh menyambutnya dengan gegap-gempita. Pada medio awal sampai pertengahan Indonesia diriuhkan oleh pergolakan ide. Alunan nada pergerakan membumbung ditambah gerombolan masa yang menyeruak untuk benar-benar mempertahankan ideologi yang terbenam dalam diri mereka. Kamera jarang dibahas di sela-sela waktu yang silih berganti.

Seorang kebangsaan Prancis yang dipojokan oleh keluarganya sendiri lantaran memilihi Leica. Adalah Henri Cartier-Bresson. Pria kelahiran prancis ini menemukan sahabat karibnya berupa kamera. Cartier-Bresson yang lahir dari golongan menengah atas, menyisihkan separuh kekayaannya untuk menjepret dunia lebih dekat. Bersama kamera bermerk Leica, Cartier-Bresson membidik Indonesia.

Cartier-Bresson memilih meninggalakan kehidupannya yang borjuis. Ia memilih menjelejah seperti Robinson Crusoe. Menjelajahi seluk-beluk hutan rimba di Pantai Gading sebagai pemburu. Alam tak menghendaki dirinya sebagai seorang pemburu badak atau harimau tutul. Tubuhnya tak sesuai dengan kehidupan rimba kelana. Bedil yang melingkar menemaninya ia jual, kemudian diganti dengan kamera Leica.

Cartier-Bresson seorang pengamat yang jeli. Kepiawaiannya dalam mengamati dibuktikan dari hasil potret yang ia suguhkan. Mafhum, lahir di tengah-tengah kecamuk perang dunia pertama, mengasah batinnya cukup tebal dan berani untuk menghadapi realitas yang memilukan. Puing-puing bangunan yang berserakan, ratapan tangis menggelegar di sela-sela Paris, hingga ketidakpastiaan yang membikin risau siapapun.

Cartier-Bresson tak ingin semuanya lekang ditelan waktu. Ia ingin merekamnya kemudian bernarasi. Disamping kepiawaiannya dalam memotret, Cartier-Bresson juga membikin puisi di bawah foto yang telah ia potret dari penjuru negeri.

Puisi-puisi yang ia buat semakin memberikan kesan hidup setiap foto yang telah ia dapatkan. Pada medio 1930-an adalah waktu yang membikin dirinya cukup tebal dan tabah memilih jalan sebagai pemotret. Pergolakan di Eropa semakin menjadi-jadi. Dengan kamera Leicanya ia menjepret perang saudara di Spanyol, invasi Jerman ke Paris dan mencecap udara Asia kemudian mendamprat pujaan hatinya bernama Ratna di Indonesia.

- Advertisement -

Pada majalah Tempo dalam rubrik Kalam (17/08/1991) menyuguhkan mahakrya Cartier-Bresson. Sebanyak sepuluh foto terpampang di tengah-tengah perbincangan Cartier-Bresson. Foto Soekarno yang berdiri di atas mimbar menyuluh sebuah pesan, lukisan gubernur-gubernur Belanda dicopot dan diangkut keluar istana setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, dan foto kehidupan di Bali yang lekat dengan kesenian. Cartier-Bresson dan kamera Leica-nya menyambung penilik dari masa ke masa. Melalui fotonya kita diajak lebih dekat untuk menafsirkan dan merasakannya.

Kamera mendedah zaman

Susan Sontag cukup gamblang membahas mengenai kamera dan realitas. Buku gubahannya berjudul Merasakan Penderitaan Orang Lain (Basabasi, 2021 mengajak pembaca menilik lebih dalam kamera dan kegunaannya dalam hal politik dan propaganda.

Susan Sontag membahas kamera melalui latar perang. Perang melahirkan kepedihan. Di tengah kepedihan timbul sebuah penafsiran. Kamera menyuguhkannya tampilan sebuah foto agar dapat ditilik dari medio waktu kapanpun.

Mulai dari pertikaian Sebastopol, jepretan ikonik di Vietnam Selatan pada 1971, dan Henry Cartier-Bresson yang menjadi juru potret di semenanjung Asia sampai Indonesia. Juru potret seorang penyuluh. Mereka penyuluh dari jepretan kamera. Klik dalam kamera adalah dunia.

Kamera yang memikat Cartier-Bresson mengetuk pintu hatinya untuk membikin sebuah petuah mengenai foto. Mafhum, foto dari sebuah kamera memantik sebuah penafsiran. Melalui foto itu, kerangka kata muncul untuk mengarahkan penilik dari seluk-beluk foto yang terpampang.

Silang sengkarut dunia terdapat pelbagai makna. Mulai dari penafsiran berupa estetika, seni, hingga gundah gulana, bila jepretan kamera ditilik oleh ribuan mata yang punya persinggungan dengan politik.

Mafhum, keberadaan kamera menyambung rasa siapapun yang ingin menilik dunia. Margareth Thatcher ketika menyuluh untuk aneksasi kekuasaan sampai ke pulau Falkland dekat Argentina pada 1982 awal melibatkan kamera untuk kepentingan politiknya.

Disamping serdadu Inggris yang dikenal cukup kuat itu, para pemotret juga dilibatkan. Thatcher memahami bahwa ada yang perlu diwanti-wanti selain besaran jumlah kotak peluru. Adalah jumlah roll film untuk menangkap obyek di tengah kecamuk perang di kepulauan Falkland yang tak kalah menakutkan dengan belantara Vietnam.

Thatcher melakukan pengontrolan. Tak sembarang pemotret dapat menjepret peristiwa perang di pulau seberang Argentina itu.  Sampai-sampai seorang fotografer perang ternama bernama Don McCullin tak boleh nimbrung merekam peperangan. Usut punya usut, keberadaan Thatcher mengatur hanya mendatangkan dua pemotret. Selebihnya foto yang sudah tersimpan harus melalui penyensoran.

Keberadaan kamera memberi secarik kisah untuk dunia. Pengisahan yang muncul melibatkan pertaruhan sebuah narasi. Satu klik kamera membikin siapapun untuk menelisik dunia. Keberadaan kamera cukup vital di tengah realitas hari ini dimana lensa kamera hampir dimiliki oleh setiap orang di dunia. Sekian.

Ghaniey Arrasyid
Ghaniey Arrasyid
M Ghaniey Al Rasyid | Penulis Lepas dan Pengkliping yang tinggal di Surakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.