Prof. Mitsuo Nakamura seorang antropolog, pengamat luar yang paling serius meneliti pergerakan Muhammadiyah, mengatakan bahwa masalah yang akan dihadapi organisasi Muhammadiyah setelah 100 tahun sangat besar dan mendalam.
Untuk mengatasinya, diperlukan energi dan pemikiran yang mendalam. Nakamura juga berpesan, Muhammadiyah harus punya komitmen mengambil sikap sebagai pencerah terhadap masyarakat dan mempertahankan independensi pemikiran.
Jauh-jauh hari, Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), juga pernah mengatakan, “Sebagai gerakan dengan ciri kesuksesan yang mengesankan, Muhammadiyah dapat terancam menjadi tawanan dari bayangan keberhasilan dirinya pada masa lampau karena rasa puas diri (complacency) yang biasanya menjadi pangkal konservativisme dan kebekuan (jumud)” (Madjid, 1997: 107-108).
Apa yang dikatakan oleh Prof. Nakamura dan Cak Nur, di atas, merupakan peringatan keras dan bukan perkara main-main, yang perlu mendapatkan perhatian dari semua kalangan, khususnya warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi pembaru, di tahun-tahun belakangan justru bermuara pada konservatisme yang dulu sempat ia perangi. “Majelis Tarjih dan Tajdid” yang diharapkan dapat mengawal gerakan keilmuan Muhammadiyah, kurang berfungsi secara maksimal. Dan tampaknya, arah awal ideologisasi Muhammadiyah ke arah anti-progresivisme mulai bersemi melalui Majelis Tarjih ini yang kemudian menjelma menjadi “otoritas keagamaan”.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai catatan kritis untuk mempertajam keinsyafan akan permasalahan: Mengapa usaha modernisasi dan pembaruan yang digagas oleh Muhammadiyah, sebagaimana hal itu sangat tampak diawal-awal berdirinya organisasi ini—dalam perjalanan historisitasnya justru mengalami kemerosotan—jika tidak boleh disebut kemunduran? Mudah-mudahan tulisan ini bisa membantu menjelaskan pertanyaan tersebut.
Mitos ”Kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah”
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sejumlah penelitian yang dilakukan oleh para kader Muhammadiyah menunjukkan bahwa arah gerakan Muhammadiyah masih belum menyentuh persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan yang dihadapi oleh bangsa ini.
Penelitian Pradana Boy, “In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah” yang kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia: “Para Pembela Islam, Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah”, menjelaskan bahwa penolakan ide-ide kemajuan, seperti pluralisme, terjadi hampir di semua kalangan Muhammadiyah. Pluralisme adalah salah satu contoh saja di mana Muhammadiyah menunjukkan resistensinya.
Boy, menunjukkan pesimisme yang kuat bahwa kontestasi pemikiran antara kelompok progresif dan konservatif masih berada dalam tahap dinamika. Ia menilai pertarungan ini sebenarnya sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi hegemoni, tepatnya hegemoni kelompok konservatif Muhammadiyah terhadap keberlangsungan pemikiran Islam progresif di organisasi ini” (Boy, 2009). Fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan Muhammadiyah memahami dan menghargai pluralisme.
Studi ini diperkuat dari hasil penelitian Biyanto, yang menemukan dua varian pemikiran dan sikap Kaum Muda Muhammadiyah terhadap wacana Pluralisme agama. Pertama; kaum muda Muhammadiyah yang menerima (setuju) terhadap Pluralisme agama. Argumentasi yang digunakan adalah dalam memahami pluralisme agama harus dibedakan dengan pluralitas dan diversitas agama, sebab pluralisme keagaamaan lebih sekedar pengakuan secara pasif terhadap keragamaan keyakinan dan agama lain.
Kedua; kaum muda Muhammadiyah yang menolak tegas wacana Pluralisme agama, argumentasi yang digunakan bahwa pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan semua agama benar dan ini bertentang dengan keyakinan bahwa agama yang paling benar di sisi Allah hanyalah Islam bukan yang lain.
Baru-baru ini, Zuly Qodir, melakukan penelitian tentang Sikap Politik Muhammadiyah Era Presiden Jokowi. Penelitian ini menjelaskan bahwa warga Muhammadiyah dari Surakarta, Yogyakarta, Padang dan Bandung, bahkan Jawa Barat dan Jogjakarta termasuk penyumbang terbesar pasukan demo super damai dari Muhammadiyah.
Jumlahnya mencapai puluhan ribu warga Muhammadiyah. Padahal, PP Muhammadiyah telah memberikan edaran bahwa umat Islam, Muhammadiyah khususnya tidak perlu melakukan demo lagi setelah demo 4-11-2016 sebulan sebelumnya karena masih banyak masalah bangsa yang harus diselesaikan. Banyak masalah yang membutuhkan respons segera dan dari Muhammadiyah.
Edaran PP Muhammadiyah memang tidak bisa mengikat warganya agar tidak turut turun jalan aksi demo di Jakarta. Sebagian warga Muhammadiyah memiliki pemahaman lain yang berbeda dengan PP.Muhammadiyah. Di sinilah perlu dikaji lebih lanjut kenapa demikian bisa terjadi bukankah Muhammadiyah adalah organisais modern yang seharusnya taat organisasi? Ada apa dengan warga Muhammadiyah yang memilih tetap turun ke lapangan? Adakah aktor khusus dari lingkungan Muhammadiyah yang menggerakan dan memiliki agenda tersendiri di luar agenda resmi PP Muhammadiyah?
Jargon di Muhammadiyah ‘al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah’ lebih membawa semangat literalis-skripturalis yang dipahami secara verbal dan formal, dan diaktualisasi dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini.
Akibat ortodoksi dalam kultur Muhammadiyah inilah maka intellectual exercise menjadi tertutup.Slogan ”kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” sebagai solusi atas semua persoalan kehidupan seraya mengabaikan pendekatan dari berbagai lintas disiplin ilmu modern yang berkembang merupakan sebuah mitos.
Tafsir Ulang Gagasan “Islam Berkemajuan”
Istilah “kemajuan”, dan “berkemajuan” telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. Model tafsir surah al-Ma’un yang diajarkan KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya bukan sekadar pemahaman kognitif, melainkan bagaimana pemahaman akal rasional itu menjadi perbuatan penuh maslahat sekaligus karya kemanusiaan dan perabadan berkemajuan.
Dalam Muktamar ke-37 tahun 1968 dikupas tentang karakter masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Di antara sembilan ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, salah satu cirinya ialah “Masyarakat berkemajuan”, yang ditandai oleh: “(a) Masyarakat Islam ialah masyarakat yang maju dan dinamis, serta dapat menjadi contoh; (b) Masyarakat Islam membina semua sektor kehidupan secara serempak dan teratur/ terkoordinir; (c) Dalam pelaksanaannya masyarakat itu mengenal pentahapan dan pembagian pekerjaan” (Haedar Nashir, 2010).
Gagasan Islam berkemajuan dapat ditransformasikan dalam proses menuju Indonesia berkemajuan jika didukung gerakan pemikiran dan peradaban (gerakan ide, pengembangan ilmu, pendidikan holisitik-integratif, dan penelitian berkemajuan) dan dipadukan dengan amal nyata melalui pemberdayaan institusi yang efektif dan dinamis. Islam berkemajuan mencerminkan pentingnya transformasi dari pemahaman dogmatis menuju pemahaman kritis-transformatif yang kontekstual.
Muhammadiyah perlu menelaah kembali dan menafsir ulang kajian tentang Islam Berkemajuan, baik secara konseptual, pemahaman dan pandangan para ulama, cendekiawan, para ahli, sesuai dengan tuntutan persoalan-persoalan kontekstual-kontemporer masyarakat Indonesia dewasa ini.
Perhelatan Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu yang mengangkat tema “Beragama yang Mencerahkan”, harus mampu memberikan perspektif baru, menjadikan Islam sebagai agama teladan yang sukses berkontribusi dalam membangun peradaban Indonesia masa depan berkemajuan.
Pemilihan tema tersebut tentu tidak luput dari adanya gejala, bahkan realitas, di mana agama seringkali dijadikan instrumen kekuasaan, alat memecah belah, dan komodifikasi politik. Sebab tak bisa dimungkiri, di tahun politik ini, ternyata ada arus yang ingin menggiring Muhammadiyah secara kelembagaan ke arah calon tertentu.
Sekali lagi, Muhammadiyah harus menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang otentik dan cerdas terkait dengan berbagai persoalan. Antara lain, Muhammadiyah dilihat dari bidang dakwah, pemikiran, kepemimpinan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, filantropisme, isu gender serta keunikan-keunikan kasus yang berkembang di masyarakat.
Juga, secara aktif memecahkan persoalan kontemporer keumatan yang berkaitan dengan isu kepemimpinan politik dalam masyarakat majemuk, hubungan antara mayoritas dan minoritas agama, dan persoalan-persoalan keumatan lainnya yang perlu segera diselesaikan. Agar ummat dapat melihat persoalan dengan jernih dan mampu menjadi bagian dari solusi.
Spirit progresivisme yang ada pada diri Ahmad Dahlan, melalui tafsir al-Ma’un, harus terus dihidupkan sesuai dengan konteks zaman. Dahlan telah membongkar kesadaran umat Islam tentang pentingnya konsistensi pemahaman Islam dengan pengamalan, sekaligus melakukan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tanpa terjebak pada formalisme-konservatisme.
Berbagai pemikirannya tentang tajdid, menjadi bukti kuat bahwa paham Islam yang diajarkan Dahlan, bukan hanya semata pemurnian tetapi juga pembaruan, tidak semata autentik, tapi juga dinamis. Sosok Ahmad Dahlan adalah sosok man of action. Dia made history for his works than his words, tulis Alfian dalam desertasinya (Alfian, 1989).
Kendati dalam hidupnya, Dahlan tidak menghasilkan karya tulis yang lengkap dan sistematik, tetapi pemikiran-pemikiran mendasarnya dan karya yang dihasilkannya yakni Muhammadiyah, menunjukkan tajdid dari seorang Dahlan yang berpikiran cemerlang itu (Nashir, 2010: 296).
Jargon Muhammadiyah “kembali ke Al-Quran dan al-Sunnah” mengandaikan sikap kritis-metodologis-ilmiah dengan harapan mampu menangkap pesan dan menafsir makna zaman. Ajang Tanwir Muhammadiyah yang terasa sangat istimewa, akan kehilangan etos sebagai gerakan pembaru jika tidak mampu menangkap pesan zaman dan merespon persoalan sosial-keumatan.