Sabtu, April 20, 2024

Harmonisasi Agama dan Sains, Pendidikan Islam Menuju Abad 21

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Seorang guru yang merupakan produk lulusan pendidikan Belanda mengajar murid-murid generasi era ’90-an. Murid-murid generasi era ’90-an itu kemudian tumbuh menjadi para guru era kiwari. Guru-guru sekarang yang lulusan tahun 1990-an tersebut lantas mengajari siswa-siswi generasi Z, generasi yang lahir antara tahun 19952014. Generasi Z itu pun kelak bakal mendidik murid-murid generasi berikutnya. Begitu seterusnya.

Fragmen di atas adalah keniscayaan yang kita alami di dunia pendidikan. Secara umum, pasca-kemerdekaan, rantai pendidikan di Indonesia telah sampai tiga generasi. Pertanyaannya, akankah kita menyamaratakan strategi mendidik dari generasi satu ke generasi lainnya? Tentu saja, tidak. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hingga kini telah melahirkan kurang lebih 11 kurikulum merupakan sebuah upaya untuk menyesuaikan pendidikan dari zaman ke zaman.

Namun, pembaruan kurikulum itu harus dibarengi pula dengan peremajaan pola pikir dan etos kerja para pendidik. Sebuah sistem tidak akan berjalan maksimal seandainya penggeraknya kurang mumpuni. Sebagaimana fragmen di atas, guru era pendidikan Belanda tidak bisa mengajar dengan gaya pendidikan yang diperolehnya.

Ia harus berpikir untuk mengajari murid yang hidup di generasi berikutnya, bukan di zamannya. Begitu pun guru generasi ’90-an (milenial/Y), harus mengajari siswa generasi Z yang hidup di era serba-internet. Pola pendidikan tiga generasi itu tentu tidak bisa disepadankan. Perihal ini, khalifah Umar bin Khatab juga pernah berpesan yang artinya kurang lebih sebagai berikut: ”Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, bukan zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.

Kita memasuki transisi dari generasi milenial (generasi Y) ke iGeneration (generasi Z), kemudian sebentar lagi tunas-tunas generasi alfa tumbuh dewasa. Generasi yang mengenal teknologi seperti komputer, video games, dan smartphone segera beralih ke generasi yang kehidupannya banyak bersinggungan dengan dunia maya (disrupsi).

Pendidikan Islam Abad 21

Abad 21 adalah masa yang berlangsung sejak 2001 M hingga 2100 M. Generasi milenial, generasi Z, dan generasi alfa termasuk yang menghiasi abad 21. Bidang pendidikan tak luput menangkap abad mutakhir ini dengan beberapa perubahan. Bukan hanya pendidikan umum, melainkan juga pendidikan Islam. Keberadaan pendidikan Islam diakui dalam sistem pendidikan nasional karena tiga hal.

Pendidikan Islam sebagai lembaga, yakni diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara eksplisit. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran, yakni diakuinya pendidikan agama Islam sebagai salah satu mata pelajaran. Lantas, pendidikan Islam sebagai nilai, yakni ditemukannya nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan.

Menuju abad 21 ini, sudah tidak relevan rasanya mendikotomikan ilmu agama dan pengetahuan. Pendidikan Islam harus semakin diintegrasikan dengan pendidikan umum. Paham yang berusaha mengintegrasikan Islam dengan ilmu pengetahuan itu sering disebut sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan. Ada internalisasi nilai-nilai Islam dalam ilmu-ilmu pengetahuan modern. Beberapa pihak juga menamai pendidikan Islam menuju abad 21 ini sebagai interkoneksitas sistem pendidikan agama dan sains.

Tentu sudah berjibun cendekiawan yang menelurkan model pembelajaran integrasi-interkoneksi agama dan sains. Kalangan muslim tentu familier dengan penulis buku Ayat-Ayat Semesta yang juga pakar sains Alquran, Agus Purwanto. Pria yang karib disapa Gus Pur itu mengejawantahkan hasil pemikirannya dalam wujud Trensains (Pesantren Sains), sebuah pondok pesantren berbasis sains yang berpusat di Sragen, Jawa Tengah. Di tataran yang lebih luas, hasil permenungan terhadap kolaborasi sains dan agama juga diterjemahkan secara apik oleh Agus Mustofa lewat karya-karya tasawuf modern yang tersohor itu.

Di samping itu, ada pemikiran Amin Abdullah berkaitan dengan ilmu agama dan umum yang tertuang dalam buku dua seri berjudul Integrasi dan Interkoneksi Keilmuan, Biografi Intelektual M. Amin Abdullah (1953-…): Person, Knowledge and Institution Jilid I & II. Dikutip dari Islam Berkemajuan, aktivis muda Muhammadiyah Hasnan Bahtiar mengulas bahwa Amin Abdullah mengelaborasi warisan peradaban dunia, yakni religion, philosophy, dan science.

Pengembaraan yang lama membawa Amin Abdullah melahirkan suatu gagasan bernama teori Integrasi-Interkoneksi Sistemik (I-KONS) sebagai ”nama sebuah pengetahuan”. Memahami agama Islam yang luhur, terlebih Islam sebagai ilmu, tidak cukup hanya mengandalkan ilmu-ilmu keislaman dan fikih. Diperlukan pula memanfaatkan ilmu-ilmu seni, sosial, dan humaniora seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, politik, hukum, sejarah, hermeneutika, etika, filsafat, dan sebagainya. Juga ilmu-ilmu alam dan terapan seperti matematika, fisika, astronomi, kimia, biologi, biokimia, dan seterusnya.

Terkait dengan pemikiran guru besar filsafat UIN Sunan Kalijaga tersebut, Hasnan membaca bahwa dengan adanya I-KONS, sesungguhnya pemahaman yang lebih komprehensif terhadap agama Islam dapat diraih. Amin Abdullah telah menggagas ilmu pengetahuan yang sangat menarik, yang mampu menjawab problematika umat manusia di era kekinian, di tengah arus globalisasi, kosmopolitanisme, dan tren kewarganegaraan global (the world citizenship).

Sementara itu, Sutrisno dan Suyatno dalam bukunya, Pendidikan Islam di Era Perbadaban Modern, menyoroti transformasi madrasah atau sekolah berbasis Islam menyongsong pendidikan abad 21. Sedikitnya ada tujuh cara yang bisa dilakukan. Mengusahakan teamwork yang solid antar-pengelola sekolah; membuat perencanaan pemberdayaan secara komprehensif, misalnya dari segi guru; mengembangkan dan melaksanakan kurikulum mutakhir dengan penuh tanggung jawab; pembaruan pengelolaan mata pelajaran; mengidentifikasi kemampuan dan minat siswa; sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan; serta membuka diri dan melakukan kerja sama dengan berbagai pihak.

Menyiapkan Guru Abad 21

Dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2018 lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy menyentil bahwa profesionalisme guru masih menjadi PR bersama. Tahun ini menjadi momentum untuk meningkatkan profesionalisme guru. ”Artinya, guru yang bisa menyiapkan generasi muda yang cocok dengan dunia kerja dan sosial abad 21,” kata Muhadjir sebagaimana dinukil dari Jawa Pos (26/11/2018).

Pengangkatan tema Meningkatkan Profesionalisme Guru Menuju Pendidikan Abad 21 dalam HGN tahun ini bukannya tanpa alasan. Di era ini, guru mesti mereformulasi model pembelajaran tradisional ke multistimulan. Menurut Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, peran guru mesti berubah. Dari yang semula memberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, inspirator, serta pengembang imajinasi dan kreativitas.

Guru juga harus mampu membangun kolaborasi yang apik dengan anak didik. Peran guru, yang juga tak kalah vital, adalah turut memfilter anak dari tsunami internet yang tak terbendung. Sebab, anak didik yang kita ajar adalah generasi Z, sebagian malah sudah generasi alfa. Mereka adalah generasi digital native, yakni generasi yang lahir dan besar di dunia internet.

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.