Kasih sayang ibu sepanjang masa. Itulah ungkapan yang sangat sering kita dengar. Bukan tanpa sebab, karena pada kenyataannya memang Ibu selalu menyayangi kita bahkan sampai akhir hayatnya. Jasanya tidak terbendung dan tidak terhitung banyaknya, sejak kita lahir ke dunia ini dan pertama kali menangis, sang ibulah yang menyambut kita dengan kebahagiaan dan penuh harapan.
Mungkin kita bak permata baginya, disetiap doanya selalu tersebut nama kita walaupun tanpa kita ketahui. Nama yang diberikan kepada kita juga adalah sebuah doa, harapan dari seorang Ibu kepada anaknya, kelak akan sama seperti arti dalam nama tersebut. Ibu, kata yang sarat makna. Ribuan puisi mungkin telah banyak dibuat oleh para penyair.
Tetapi maknanya akan sangat berbeda bagi setiap orang. Ada yang beranggapan bahwa Ibu adalah sang penyelamat, sahabat, orang yang menemani saat sakit, selalu setia mendengarkan anaknya, dan bahkan satu kata Ibu bisa mengandung seribu makna. Karena jasa-jasa itulah, kita layak untuk memberikan penghormatan kepada para Ibu di dunia ini. Maka dibuatlah hari yang disebut hari ibu.
Bisa dibilang Hari Ibu adalah hari yang sangat istimewa, sudah sepatutnya kita sebagai seorang anak memberikan salam dan kabar yang baik kepada beliau. Sejatinya, hari Ibu memang special, namun setiap hari tetaplah hari ibu, karena bakti kita untuk selamanya. Hari Ibu di Indonesia sendiri diperingati setiap tanggal 22 Desember.
Mengapa harus 22 Desember? Mengapa tidak 5 Februari yang merupakan hari lahir Ibu bangsa Fatmawati Soekarno? Atau 21 April yang merupakan hari lahir RA. Kartini sang pejuang emansipasi wanita? Atau hari-hari lain yang identik dengan perempuan-perempuan tangguh Indonesia.
Proses dan tujuan ditetapkannya hari Ibu tak luput dari perjuangan para pejuang perempuan, yang dimana dalam proses penetapannya melewati jalan yang cukup Panjang. Penggodokan isu terkait diskriminasi perempuan terus dibahas dalam organisasi-organisasi perempuan, setiap daerah memiliki kesamaan permasalahan dalam diskriminasi dan ketidak-adilan yang ada bagi kaum perempuan saat itu.
Puncaknya terjadi pada Desember 1928, dengan terinspirasi oleh Sumpah Pemuda dan Kongres Pemuda II saat itu, menjadi titik balik bagi organisasi-organisasi perempuan yang awalnya bergerak secara kedaerahan untuk menyatukan pandangan terkait masalah dan resolusi yang dapat di usahakan bagi kaumnya. Di inisiasi oleh 7 organisasi besar kala itu, yakni Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Putri Indonesia, Aisyiyah, Jong Islaminten Bond bagian wanita, Wanita Katolik, dan Jong Java bagian wanita. Dengan diprakarsai oleh Ny. Sukonto, Ny. Hadjae Dewantara dan Ny. Sujatin, diselenggarakanlah Kongres Perempuan Indonesia (KPI) yang perdana di Dalem Jayadipuran, Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928.
Kemudian pada tahun 1938 diadakan Kongres Perempuan Indonesia yang ketiga di Bandung, salah satu hasil dari kongres tersebut adalah penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu nasional. Selanjutnya dikukuhkan oleh oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden No 316 Tahun 1959 tentang hari-hari nasional yang bukan hari libur.
Hampir seluruh agenda dalam Kongres Perempuan Indonesia membicarakan hak-hak perempuan. Salah satu pembahasan yang cukup penting adalah kesetaraan wanita untuk mengakses Pendidikan dan soal perkawinan anak. Pada zaman dahulu sebelum kemerdekaan, perempuan acap kali dikawinkan walau masih belia. Perwakilan Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya juga menyampaikan tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Kemudian disusul Siti Moendji’ah dengan “Derajat Perempuan” dan Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hadjar Dewantara— yang membicarakan soal adab perempuan.
90 tahun sudah perjalanan perempuan Indonesia jika dihitung berdasarkan KPI pertama. Tentu banyak sekali sumbangsih yang telah diberikan kepada bangsa, Mulai dari lahirnya atlet-atlet professional, bahkan sampai pemimpin tertinggi pemerintahan Indonesia pernah berasal dari kaum perempuan. Tetapi dengan peran vital seperti itu, apakah perempuan Indonesia sudah mendapatkan hak selayaknya manusia lainnya?
Sayangnya belum sepenuhnya iya. Sebutan pada perempuan seperti pilar negara sejak zaman Soekarno tak banyak mengubah kondisi perempuan. Dari dulu sampai sekarang perempuan masih tidak mendapat perlakuan yang selayaknya. Jadi mengapa mengagung-agungkan pilar negara atau ibu bangsa tapi perempuan tetap didiskriminasi, ada pelecehan, TKW yang tidak dilindungi oleh negara.
Jikalau memang perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa, seharusnya pemerintah mampu memberikan dan melindungi hak-hak perempuan selayaknya manusia. Peran masyarakat juga sangat penting dalam membentuk identitas perempuan Indonesia. Yang perlu mendapatkan perlakuan seperti ibu tidak hanya ibu kandung kita sendiri. Tetapi juga perempuan-perempuan Indonesia lainnya. Selamat Hari Ibu
Referensi : Indonesia, K.W. (1978) Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, oleh Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Balai Pustaka