Hari-hari ini, tidak bisa tidak, aku turut geram atas sikap para pejabat di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tampak belum sungguh-sungguh menangani masalah berkait dengan pelecehan seksual di lingkungan sivitas akademikanya.
Tapi bagaimanapun juga, sebelum tersiarnya liputan berjudul Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan (BPPM Balairung, 5 November 2018) diikuti tulisan-tulisan baik dari beberapa media seperti Tirto.id, Vice.com, dan Remotivi.or.id, aku sempat memberi apresiasi tinggi kepada UGM. Apresiasi itu berkenaan penyelenggaraan Sinau Bareng Cak Nun yang diinisiasi kawan-kawan Fisipol dan Fakultas Hukum.
Sinau Bareng Cak Nun itu kiranya tepat disebut sebagai ujud perguruan tinggi dalam mengalami kehidupan guyup bermasyarakat. Kalau mau agak akademis ya itu seirama dengan salah bunyi tridharma perguruan tinggi, pengabdian kepada masyarakat. Sinau Bareng Cak Nun yang pertama (31/10) digagas oleh kawan-kawan Fisipol itu konon merupakan puncak dari acara Artspiration 2018. Mengutip Cak Nun, Artspiration ialah gabungan antara seni atau keindahan dan inspirasi. Keindahan sendiri ialah puncak dari agama.
Sebagai fakultas di mana ilmu-ilmu sosial dan politik dikaji secara mendalam, serta bentuk tanggapan atas kondisi sosial dan politik menjelang tahun 2019, Fisipol memilih tema “Harmonizing the Rythm of Politics”. Tema mesti berbahasa Inggris! Tak peduli yang berduyun-duyun datang mengerti atau tidak. Toh, dugaanku, tema-tema dalam acara Sinau Bareng Cak Nun tak terlalu penting. Nama Cak Nun sudah cukup untuk membuat orang-orang menghadiri acara itu.
Di awal, Cak Nun sudah menggiring kami, bahwa sinau malam itu sebaiknya sedikit saja membahas soal politik praktis atau pemerintahan terkini. Menerima kenyataan bahwasanya kondisi politik kian semrawut dan terjadi saling tuding dengan cara tak ikut memperkeruh keadaan kiranya sangat perlu.
Tidak nyinyir di media sosial misalnya. Ditambah keyakinan bahwasanya suatu saat di masa depan, iklim politik tak sehat seperti yang terjadi saat ini akan tumbang. Harapan itu tampak masuk akal. Kita mendapati forum-forum baik seperti Sinau Bareng Cak Nun dan forum-forum lain yang diberdayakan anak muda dengan visi-misi berwawasan kebangsaan terus bermunculan.
Kerangka diskusi kami malam itu lebih luas berbicara soal negara dan kewarganegaraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) notabennya sangat lekat dengan keberagamaan. Keberagaman itu sejatinya ialah sumber inspirasi. Tugas kita selanjutnya ialah merawat keberagaman itu. Demikian Cak Nun bertutur.
Adalah Hukum
Sebagai negara yang berlandaskan hukum, kita mengetahui banyak sekali pemecahan masalah yang terasa kurang humanis. Bahwa hukum kita tumpul ke atas dan tajam menghujam ke bawah masih terus relevan di kehidupan mutakhir kita. Pencuri-pencuri yang terdesak kebutuhan mudah dibui, sementara para koruptor aman-aman saja atau ada saja kilahnya ketika hendak diproses hukum.
Kita juga mengingat kasus Jonru dan Buni Yani. Keduanya bersalah sebab sembrono menggunakan kemajuan teknologi dan informasi. Jonru menyebarkan ujaran kebencian. Sementara Buni Yani mengedit lalu mengunggah potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang jadi viral itu. Kita boleh membuat dugaan nakal, kiranya keduanya ini punya posisi penting di partai atau pemerintahan tentu ceritanya bisa berbeda. Ini sekadar dugaan ngasal. Tapi mungkin saja keadaan bisa berbalik seandainya keduanya ini benar-benar petinggi partai.
Di media sosial, Jonru memang memiliki jutaan pengikut. Tapi toh pengikut itu tak bisa semata-mata diasumsikan sebagai orang-orang yang dalam kehidupan nyata senantiasa sepakat dengan pendapat Jonru. Jonru barangkali lupa bahwa di masa kini, satu orang di dunia nyata sangat mungkin memiliki lebih dari satu akun di media sosial.
Bahwa orang-orang yang tak sepakat dengan Jonru sangat mungkin juga menjadi pengikutnya demi kepentingan-kepentingan tertentu. Buni Yani barangkali juga lupa, bahwa tindakannya mengedit video pidato Ahok menjadi sarat kepentingan itu bisa berujung bui. Ia waktu itu mungkin kalap, meluap-luap hasratnya untuk “membela islam” atau “menjatuhkan Ahok”.
Begitulah. Hari-hari menjelang tahun politik hukum kita masik sibuk. Kesibukan itu kiranya masih terus lekat dengan putusan-putusan tak humanis. Itu wajar saja. Menyitir Cak Nun, hukum merupakan tingkatan paling rendah. Di atas hukum kita mengenal moral, di atas moral kita mengenal filsafat. Filsafat itulah puncaknya.
Tataran filsafat ialah tataran di mana sudah ada kesiapan dalam diri seseorang untuk bermanfaat. Filsafat sudah tak terjebak pada hal-hal atifisial sejenis jabatan, harta, nama baik, dan hal-hal serupa. Kesiapan untuk bermanfaat itu membawa diri pada kesadaran yang lebih luas. Pada penghargaan tinggi terhadap semua makhluk, termasuk hewan dan tumbuhan. Hal ini juga kerap disampaikan Dr. Fahruddin Faiz saat Ngaji Filsafat di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta. Tsah!