Sabtu, April 20, 2024

Hari Buruh Migran: Menghapus Duka Sang Pahlawan Devisa Negara

Mustika Prabaningrum
Mustika Prabaningrum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Selain menjadi seorang dosen, juga beraktivitas sebagai seorang advokat di bawah naungan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII)

“Pahlawan Devisa Negara”agaknya semakin tidak tepat disematkan bagi para PMI (dahulu TKI) yang bekerja di luar negeri. Bagaimana tidak, sudah dengan berat hati meninggalkan suami atau istri, anak dan keluarga di rumah demi sesuap nasi di negeri orang selama beberapa tahun dan kemudian kembali ke tanah air dengan kondisi badan penuh luka fisik, mental bahkan kembali sudah tak bernyawa. Kenyataan ini menjadi sebuah ironi yang tak dapat dihindari lagi selama beberapa kurun waktu terakhir ini.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin mengakomodir payung hukum dan meminimalisir kejadian semacam ini akan tetapi fakta berbicara lain.

Tidak sedikit PMI kita yang telah memberikan sumbangsih cukup besar terhadap pemasukan  devisa negara justru seolah menjadi “tumbal” pemasukan devisa negara. Istilah “Pahlawan Devisa Negara” seketika berubah menjadi “Korban Devisa Negara”.

Undang-Undang Dasar Negara 1945 dalam Pasal 27 ayat (2) mengisyaratkan adanya hak bagi warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri, ditambah lagi adanya jaminan hak asasi manusia bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi.

Penempatan PMI untuk dapat bekerja di luar negeri merupakan bentuk nyata upaya pemerintah dalam memberikan dan mewujudkan hak serta kesempatan yang sama bagi tenaga kerja tanpa terkecuali untuk mendapatkan pekerjaan.

Adanya kebebasan yang diberikan pemerintah bagi tenaga kerja untuk bekerja baik di dalam maupun di luar negeri ini tidak disia-siakan oleh sebagian besar tenaga kerja kita. Prosentase angka pengangguran yang besar, terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dimana-mana, rendahnya tingkat pendidikan serta sempitnya lapangan pekerjaan yang ada di dalam negeri menjadi beberapa faktor

Sayangnya, kesempatan mendapatkan pekerjaan di luar negeri tersebut berbanding terbalik dengan kondisi riil di lapangan. Bagaimana tidak, kasus-kasus yang menimpa PMI kita di luar negeri semakin hari semakin mencengangkan.

Dimulai dari penyekapan, kekerasan fisik (dalam skala ringan, sedang, berat), kekerasan psikis bahkan yang mengakibatkan kematian. Adapun kasus-kasus yang kemudian hadir secara nyata di media massa diyakini ini hanya sebagian kecil kasus PMI kita yang terekspose oleh media.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa bisa PMI kita sampai disiksa bahkan sampai meregang nyawa di luar negeri pada saat ia berjuang mencari sesuap nasi di negeri orang ? Yang memilukan lagi adalah kejadian seperti ini terjadi berulang-ulang terhadap PMI kita ditengah kondisi upaya pemerintah sedemikian rupa yang diklaim sudah cukup optimal untuk melindungi nasib PMI.

Apakah hanya sebatas perbedaan latar belakang budaya yang menjadi penyebab penyiksaan terhadap PMI kita ataukah “perbekalan” PMI kita yang masih sangat minimal dan jauh dari standar yang ditetapkan di luar negeri atau memang justru kondisi majikan-majikan PMI kita yang sangat tidak manusiawi terhadap PMI kita?

Menjadi PR besar bagi pemerintah untuk melakukan upaya meminimalisir jatuhnya PMI kita yang menjadi korban-korban selanjutnya serta membentuk peraturan yang cukup efektif dalam memberikan perlindungan terhadap PMI kita.

Dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan PMI ini, dibutuhkan adanya sinergisitas dan komunikasi yang baik antar pihak tidak hanya pemerintah saja tetapi juga yang jauh lebih penting adalah dengan melibatkan peran dari si PMI itu sendiri. Tanpa adanya sinergisitas dan komunikasi yang baik antara pemerintah dengan PMI maka sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak akan berjalan maksimal.

Diharapkan dengan adanya payung hukum berupa peraturan perundang-undangan, sinergisitas dan komunikasi antara pemerintah dan PMI setidaknya mampu menekan angka penyiksaan terhadap PMI kita. Marilah di peringatan Hari Buruh Migran ini menjadi momentum bersama kita semua untuk menghapus duka sang pahlawan devisa negara. Selamat Hari Buruh Migran.

Mustika Prabaningrum
Mustika Prabaningrum
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Selain menjadi seorang dosen, juga beraktivitas sebagai seorang advokat di bawah naungan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (LKBH FH UII)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.