Jumat, Oktober 4, 2024

Hari Buruh dan Hardiknas

Misbah Priagung Nursalim
Misbah Priagung Nursalim
Dosen linguistik dan kepala humas Universitas Pamulang

Belum lama ini, Indonesia memperingati hari buruh disusul hari pendidikan nasional. Hari Buruh Internasional diperingati setiap tanggal 1 Mei. Tanggal tersebut ditetapkan merujuk pada peristiwa penting 1 Mei 1886 di Amerika, yaitu kongres perjuangan kelas pekerja yang salah satunya menuntut jam kerja menjadi 8 jam perhari.

Sejak saat itu hampir semua buruh di dunia memperingati peristiwa itu dengan nama May Day. Di Indonesia sendiri, buruh secara resmi setiap 1 Mei 2014 memperingati Hari Buruh Nasional. Meskipun Hari Buruh sudah ada di Indonesia sejak 1920 dan ditiadakan selama era orde baru.

Ada keunikan tersendiri terkait peringatan Hari Buruh di Indonesia. Keunikan tersebut terletak pada berdekatannya Hari Buruh dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari Buruh diperingati setiap 1 Mei.

Selang sehari berikutnya diperingati Hardiknas pada 2 Mei. Bisa jadi ini hanya sebuah kebetulan semata. Karena sejarah kedua hari penting tersebut pun memiliki rentang waktu yang lumayan jauh. Hari Buruh Nasional mulai ditetapkan pada tahun 2013 dengan peringatan pertama 1 Mei 2014. Sedangkan Hardiknas ditetapkan sejak 1959 dan peringatan pertama pada 2 Mei 1960 yang merujuk pada tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara sebagai pelopor pendidikan modern berkarakter di Indonesia.

Meski awalnya hanya kebetulan, namun fakta di lapangan berkata lain. Hari Buruh dan Hardiknas memiliki hubungan yang sangat erat. Pendidikan di Indonesia sangat berorientasi pada sektor dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Itu sebabnya kurikulum di Indonesia selalu mengarah pada kompetensi dan keterampilan peserta didik. Lembaga pendidikan di Indonesia lebih banyak mencetak lulusan yang sesuai dengan selera DUDI. Pengarahan pada DUDI lebih pada selera masyarakat agar lebih mudah dalam mencari pekerjaan. Itu sebabnya sekolah kejuruan lebih banyak diminati daripada sekolah umum.

Lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri berlomba menyesuaikan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan juga mengadakan uji kompetensi lulusan. Setiap lulusan yang lulus uji kompetensi mendapat sertifikat sesuai kompetensinya yang nantinya akan dipakai untuk melamar pekerjaan.

Lulusan yang bersertifikasi profesi akan mempermudah rekruitmen calon karyawan sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat untuk masuk ke lembaga pendidikan tersebut. Fenomena tersebut sudah terlihat sejak lama di sekolah kejuruan dan beberpa perguruan tinggi. Alasannya untuk mengurangi angka pengangguran serta menyiapkan tenaga kerja yang profesional.

Kebijakan pemerintah terhadap DUDI belakangan ini sangat terlihat jelas di dunia pendidikan. Selain kurikulum yang mengarah pada DUDI ada dua hal yang menjadi perhatian utama yakni beasiswa dan biaya riset di perguruan tinggi. Kuota beasiswa untuk bidang ilmu teknologi dan industri dibanding humaniora.

Beasiswa dari pemerintah tersebut hampir merata setiap tahun baik beasiswa studi lanjut dalam negeri maupun beasiswa studi lanjut ke luar negeri. Mahasiswa dan dosen di bidang humaniora harus gigit jari mengharapkan beasiswa dari pemerintah. Kalau hendak melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi mau tidak mau menggunakan biaya pribadi ataupun dana beasiswa dari luar pemerintah. Kalau pun ada, kuotanya pun sangat terbatas.

Selain pada beasiswa, biaya riset untuk rumpun ilmu humaniora juga diperkecil. Para peneliti pada rumpun ilmu humaniora, mereka harus mencari dana tambahan untuk menutupi biaya risetnya karena kecilnya biaya riset bidang humaniora dari pemerintah. Itu pun kalau ada kuota pada rumpun ilmu tersebut.

Minimnya perhatian pemerintah pada rumpun humaniora merupakan hal yang berlawanan dengan program revolusi mental yang digaungkan Presiden RI, Joko Widodo sejak awal menjabat. Pendidikan mental dan karakter hanya bisa dibentuk melalui ilmu humaniora semantara di sisi lain rumpun ilmu humaniora terkesan dianaktirikan. Adalah wajar jika ada pendidikan di Indonesia bisa dikatakan hanya mencetak intelektual tukang daripada mencetak intelek pembaharu.

Banyaknya intelektual tukang yang menduduki sektor industri, bisnis, bahkan pada level pemerintahan membuatnya bekerja berorientasi pada uang yang berujung pada laku korupsi. Tentunya ini harus menjadi perhatian bersama. Di sisi lain mengejar ketertinggalan dengan menambah perhatian pada sektor industri sedang di sisi lain tetap memperhatikan sektor humaniora.

Sebagai langkah ke depan, pemerintah perlu membagi arah pembangunan di bidang pendidikan menjadi dua bagian yakni pembangunan di bidang industri dan pembangunan di bidang humaniora. Keduanya dapat dibangun melalui dunia pendidikan tanpa harus mengurangi porsi salah satu bidang. Dengan demikian, lembaga pendidikan dapat mencetak lulusan yang profesional namun juga memiliki karekter mulia.

Selamat memperingati Hari Buruh Nasional bagi para buruh di Indonesia. Semoga apa yang diperjuangkan dapat dikabulkan. Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional bagi para insan pendidikan di seluruh Indonesia, semoga ke depannya pendidikan di Indonesia mampu mencetak intelektual pembaharu yang mampu membawa Indonesia ke arah yang labih baik.

Misbah Priagung Nursalim
Misbah Priagung Nursalim
Dosen linguistik dan kepala humas Universitas Pamulang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.