Hari ini, 3 Januari 2018, Kementerian Agama memperingati hari lahirnya yang ke-72. Saat itu, pemerintah atas usul Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) membentuk Kementerian Agama dengan H. Mohammad Rasjidi sebagai Menteri Agama yang pertama.
Pembentukan Kementerian Agama adalah momentum bersejarah yang menunjuk NKRI sebagai negara religious yang nasionalis. Kementerian Agama menjadi simbol moderasi dan garda depan penjagaan harmoni antara agama dan negara, antara keislaman dan keindonesiaan.
Pada saat ini, Kementerian Agama menghadapi tantangan dinamika sosial, budaya, dan keagamaan yang tidak ringan. Salah satunya adalah, meminjam istilah Martin van Bruinessen, munculnya conservative turn (tren konservatisme keberagamaan). Martin menyebut Indonesia dalam ancaman fundamentalisme/puritanisme keberagamaan. Kelompok-kelompok Puritan secara sistematis berusaha untuk membenturkan Islam dan keindonesiaan.
Karena itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pernah melansir fenomena turunnya kadar nasionalisme pada sebagian umat Islam (Republika, 19 Juli 2017). Pada Tahun 2017 yang baru berlalu, pemerintah secara tegas membubarkan HTI, pengusung dan “pengasong” ideologi khilafah.
Soft Approach sebagai Follow Up
Pembubaran HTI sebagai organisasi oleh pemerintah adalah langkah awal menjaga nasionalisme dan ideologi bangsa. Artinya, Kementerian Agama sebagai representasi Pemerintah harus melakukan follow up yang berkelanjutan dengan pendekatan persuasif (soft approach) dan dialogis.
Konservatisme dikatakan bukan semata-mata persoalan “perut”, akan tetapi berkaitan dengan isi “kepala”. Kementerian seyogyanya mengambil langkah-langkah edukatif bagaimana secara efektif mengintegrasikan keislaman dan keindonesiaan.
Tidak terintegrasinya keislaman dan keindonesiaan akan berakibat pada split loyalty (loyalitas yang terbelah) yang berakibat pada split personality pada sebagian masyarakat. Kepribadian yang terbelah, menurut penulis, tatkala seseorang dan kelompok tertentu mengufurkan demokrasi keindonesiaan, tetapi pada saat yang sama ia memanfaatkannya untuk tujuan dan ideologi yang terlarang.
Soft edukasi untuk merubah isi “kepala” meniscayakan pendekatan pendidikan dan budaya. Kementerian Agama mempunyai peran strategis karena di antara peran dan fungsinya adalah pendidikan dan bimbingan masyarakat. Kementerian ini mengelola pendidikan keagamaan sejak pendidikan anak usia dini hinggga perguruan tinggi. Kementerian juga hadir di tengah masyarakat lewat penyuluh-penyuluh agama.
Tatkala tren konservatisme masih tinggi, maka peran dan fungsi ini perlu evaluasi dan revitalisasi. Kita merasa perihatin misalnya, pada akhir 2017 yang lalu ditemukan soal ujian semester Madrasah yang terkesan berisi propaganda khilafah. Kementerian menurut penulis, harus menindak tegas ASN yang menyalahgunakan jabatan untuk hal yang bertentangan dengan fungsi kementerian. Ditengarai, tidak sedikit ASN Kementerian Agama yang justru terlibat atau simpatisan organisasi “terlarang” ini.
Tepat sekali tema Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama tahun ini, “Tebarkan Kedamaian”. Kedamaian secara metaforis bisa bermakna mendamaikan spirit keislaman dan keindonesiaan sebagaimana disinggung di atas. Pendidikan keagamaan (formal dan nonformal) yang dikelola oleh Kementerian diharapkan bisa melahirkan kesadaran individu yang otonom, yang bisa mendialogkan dan menerjemahkan normativitas agama dalam realitas empirik.
Dalam konteks demokrasi keindonesiaan misalnya, bagaimana memberikan tafsir kontekstual terhadap konsep kedaulatan (al-hakimiyah), bagaimana membangun kompetibilitas antara pesan normatif tentang keadilan, syura, ukhuwwah, ahl al-hall wa al-‘aqd dengan isu demokrasi keindonesiaan.
Pesan HAB Kementerian ini juga bermakna mengajak penggalangan persatuan dan kesatuan, pada saat yang sama mengakhiri perasaan bermusuhan terhadap “liyan”. Perasaan selalu berkonflik dengan yang lain (lain afiliasi politik/organisasi, mazhab, dan agama) sering kali disemangati oleh pemahaman keagamaan yang normatif-harfiyah. Pemahaman harfiah dan dikotomis dar al-Islam vis a vis dar al-kufr misalnya, memberikan efek psikologis kebencian terhadap wilayah nonmuslim berikut semua produk budayanya secara apriori.
Pemerintah sendiri dinilai sebagai kufur karena tidak ada cantolan harfiyah bagi sistem pemerintahan demokrasi. Lagi-lagi persoalannya pada perspektif yang normatif-harfiah, yakni formalisasi penerapan syariah, bukan subtansi syariah. Subtansi syariah misalnya, sebagaimana dinyatakan Abou El Fadl, negara mana pun yang bisa menjamin keadilan bagi semua warganya adalah dar al-Islam. Maka yang kita tuntut bagi negeri ini adalah keadilan sebagai nilai universal agama, bukan formalisasi negara agama yang mengancam kesatuan.
Pendekatan subtantif terhadap agama adalah bentuk harmonisasi nalar privat dan nalar publik keberagamaan. Identitas mazhab dan agama seharusnya ditampilkan dalam ruang-ruang yang lebih privat (organisasi, jama’ah, sekte, dan lainnya). Sementara ruang publik adalah ruang bersama lintas mazhab dan agama yang menghendaki universalitas nilai.
Dalam konteks ini, Kuntowijoyo menilai penting penerjemahan Islam normatif dalam bentuk yang obyektif. Ia menyebutnya sebagai obyektivikasi Islam (termasuk mazhab). Dengan model ini, ajaran Islam dan pemikiran mazhab dalam format yang obyektif bisa diterima oleh semua, bahkan nonmuslim sekalipun.
Kuntowijoyo memberikan contoh di antaranya “Pancasila”. Pancasila adalah obyektifikasi Islam karena toh perumusannya melibatkan para ulama kita dan tidak ada nilai nilainya yang bertentangan dengan Islam. Ia menjadi payung bersama, atau bahasa Al-Qur’an kalimat al sawa atau titik temu (Ali Imran: 64) yang menyatukan kaum beriman. Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan tidak saja oleh umat Islam, tetapi juga umat lain (Kristen, Hindu dan Budha). Obyektifikasi islam adalah bentuk tafsir inklusif sesuai dengan realitas kemajemukan di Indonesia.
Akhirnya, pada momentum HAB Kementerian Agama yang ke-72 ini, kita berharap Kementerian Agama semakin meneguhkan eksistensinya sebagai perekat keislaman dan keindonesiaan sembari terus melakukan revitalisasi peran dan fungsinya untuk Indonesia yang lebih baik, rumah kita bersama. Semoga!