Jumat, April 25, 2025

Hangatnya Persaudaraan dalam Little Women

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Little Women (1868), sebuah novel klasik yang tak lekang oleh waktu, menyimpan kisah yang menarik, bahkan mungkin tak semenarik kehidupan Louisa May Alcott sendiri. Alcott, yang menghabiskan masa mudanya di Concord, Massachusetts, menuangkan pengalaman pribadinya sebagai putri Bronson Alcott—seorang sahabat karib Emerson, Thoreau, dan Hawthorne—ke dalam novel ini.

Terbit dalam dua bagian, novel ini mengajak kita mengikuti perjalanan hidup empat bersaudari March. Bagian pertama diakhiri dengan pertunangan Meg, sang kakak tertua. Tiga tahun berselang, bagian kedua dibuka dengan pernikahan Meg dan menelusuri bagaimana keempat putri ini menavigasi kehidupan dan cita-cita mereka.

Menariknya, Alcott menulis novel ini atas permintaan penerbit yang memintanya untuk menciptakan sebuah karya yang  menghibur sekaligus mendidik para remaja putri. Kesuksesan langsung menghampiri novel ini, yang memang dirancang untuk menyampaikan pesan moral tentang nilai-nilai dan perilaku yang baik.

Salah satu contohnya terlihat di bab pertama, di mana  para suster March dengan murah hati memberikan sarapan Natal mereka kepada keluarga miskin yang kelaparan. Kebaikan mereka dibalas dengan hadiah istimewa dari tetangga kaya mereka, Tuan Laurence.  Di bagian lain, Amy, si bungsu,  membakar tulisan Jo dalam  kemarahan. Jo yang keras kepala menolak untuk memaafkan Amy, meskipun telah dinasihati oleh ibunya. Penyesalan kemudian menghantam Jo ketika Amy hampir tenggelam saat bermain seluncur es.

Pesan moral yang begitu gamblang mungkin terasa sedikit menggurui bagi pembaca dewasa yang kembali membaca novel ini setelah sekian lama. Namun,  bagi pembaca muda yang terbiasa dengan cerita berbalut pesan moral, gaya penulisan Alcott terasa begitu alami dan mudah dicerna.

Faktanya, banyak  gadis yang menggemari Little Women  lebih menyukai bagian pertama, di mana  keempat  saudari  masih  tinggal  bersama  dalam  kehangatan  rumah, menjalani hari-hari  dengan  kegiatan  sederhana, dan saling berbagi suka duka. Mungkin,  kedekatan dan  kehangatan  persaudaraan  inilah  yang  sesungguhnya  menjadi  daya  tarik  utama Little Women,  melebihi  pesan-pesan  moral  yang  terkandung  di  dalamnya.

Di paruh kedua Little Women, Alcott dengan berani menggali pertanyaan-pertanyaan abadi seputar kehidupan perempuan: Bagaimana seharusnya perempuan diperlakukan? Bagaimana seharusnya cinta dan materi bersatu? Apa tujuan hidup dan cita-cita seorang perempuan?

Jawaban Alcott terasa lebih berani dan lugas dibandingkan dengan penulis sezamannya seperti George Eliot dan Henry James. Ia menyajikan empat anak-anak perempuan dengan empat kepribadian dan keinginan yang berbeda, yang menghasilkan empat jalan hidup yang berbeda pula.

Namun, mereka semua dipersatukan oleh bimbingan sang ibu, Marmee, yang mendambakan agar putri-putrinya “menikah dengan baik dan bijaksana, serta menjalani kehidupan yang berguna dan bahagia, dengan sesedikit mungkin beban dan kesedihan.” Marmee tidak mendorong anak-anaknya untuk mengejar pernikahan dengan status sosial tinggi, melainkan membekali mereka dengan kekuatan mental dan spiritual untuk menghadapi tantangan hidup. Alcott  menampilkan  pandangan  progresif  dengan  tidak membatasi  aktivitas  perempuan.  Jo,  misalnya,  diizinkan  untuk  menghasilkan  uang dengan  menulis  cerita  sensasional  untuk  surat  kabar  (seperti  yang  dilakukan  Alcott sendiri).  Meskipun  keluarganya  memberikan  peringatan,  mereka  tetap  mendukung dan  membiarkan  Jo  menemukan  jati  dirinya  sebagai  penulis atau pengarang.

Dengan  cerdas,  Alcott  menghindari  perangkap  yang  dialami  oleh  George  Eliot  dalam novel  otobiografinya,  The  Mill  on  the  Floss.  Alcott  memberikan  karakter  utama novelnya  dengan  banyak  sifat  dan  dilema  pribadi,  namun  tidak  menghukumnya  atas pilihan-pilihan  hidupnya.

- Advertisement -

Ketika  Amy  menikahi  Laurie,  tetangga  mereka yang kaya    setelah  Laurie  ditolak  oleh Jo,  Alcott  dengan  hati-hati  merangkai  kisah  cinta  mereka  secara  bertahap. Perkembangan  karakter  Amy,  yang  awalnya  terkesan  manja  di  bagian  pertama, menjadi  salah  satu  aspek  yang  paling  memuaskan  di  bagian  kedua.

Jo  akhirnya  menemukan  kesuksesan  dalam  menulis  dan  cinta  sejati  bersama Profesor  Bhaer.  Bhaer,  yang  mungkin  tidak  tampak  seperti  “Pangeran  Tampan”  di mata  pembaca  muda,  justru  memiliki  daya  tarik  tersendiri.  Ia  cerdas,  baik  hati, dewasa,  dan  berpendidikan,  seorang  pasangan  yang  jauh  lebih  cocok  untuk  Jo dibandingkan  Laurie.

Melalui  Little  Women,  Alcott  menyampaikan  pesan  yang  kuat  tentang  kemandirian, kebebasan  memilih,  dan  pentingnya  mengejar  mimpi  bagi  perempuan,  sebuah  pesan yang  masih  relevan  hingga  saat  ini. Little Women,  sebuah  karya  klasik  yang  pernah begitu  digemari,  mungkin  kini  telah  kehilangan  daya  pikatnya  bagi  para  remaja modern.  Jo  dan  saudari-saudarinya,  yang  pada  masanya  menjadi  cerminan  para gadis  muda,  kini  terasa  asing  dan  jauh  dari  realitas  kehidupan  remaja  masa  kini. Kekhawatiran  dan  konflik  yang  mereka  hadapi  tidak  lagi  relevan  dengan permasalahan  yang  dihadapi  oleh  generasi  muda  saat  ini.

Namun,  di  balik  pergeseran  zaman,  Little  Women  tetap  memiliki  tempat  istimewa  di antara  karya-karya  sastra  abad  ke-19  lainnya.  Novel  ini  menawarkan  gambaran yang berharga  tentang  perjuangan  perempuan  dalam  menemukan  jati  diri  dan menggapai mimpi  di  tengah  masyarakat  yang  penuh  dengan  batasan.

Alcott,  dengan  keinginannya  untuk  memberikan  akhir  yang  bahagia  bagi  keempat saudari  March,  tidak  hanya  menunjukkan  apa  yang  harus  dicapai  dalam  hidup, tetapi  juga  bagaimana  mencapainya.  Keinginan  Alcott  untuk  menyisipkan  pesan moral dalam  karyanya  mengharuskannya  untuk  menyampaikan  secara  eksplisit  berbagai permasalahan  yang  dihadapi  oleh  perempuan  pada  masanya.  Permasalahan  yang sama  sebenarnya  juga  diangkat  oleh  penulis-penulis  lain,  namun  seringkali disampaikan  secara  implisit.

Melalui  karakter  Marmee,  Alcott  mengajukan  pertanyaan  tentang  apa  yang sebenarnya  diinginkan  oleh  seorang  ibu  bagi  putrinya.  Kemudian,  ia  dengan sistematis  menunjukkan  berbagai  cara  untuk  mencapai  tujuan  tersebut.  Dengan demikian,  Alcott  mengingatkan  kita  bahwa  semua  novel,  tidak  hanya  novel  remaja, selain  berfungsi  sebagai  hiburan,  juga  merupakan  sebuah  model  atau  contoh.  Novel menunjukkan  bagaimana  sesuatu  dapat  dilakukan,  baik  hal  kecil  seperti  mencuri permata  berharga,  maupun  hal  besar  seperti  mengejar  ikan  paus  putih  atau melarikan  diri  dari  perbudakan.=

Little  Women memberikan  panduan  bagi  para  pembacanya,  terutama  perempuan muda,  tentang  bagaimana  mengarungi  kehidupan,  membuat  pilihan,  dan  menemukan kebahagiaan  sejati.  Meskipun  konteks  zaman  telah  berubah,  pesan-pesan  universal tentang  cinta,  keluarga,  dan  pengejaran  mimpi  dalam  novel  ini  tetap  relevan  dan bermakna  bagi  para  pembaca  dari  generasi  ke  generasi.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.