Little Women (1868), sebuah novel klasik yang tak lekang oleh waktu, menyimpan kisah yang menarik, bahkan mungkin tak semenarik kehidupan Louisa May Alcott sendiri. Alcott, yang menghabiskan masa mudanya di Concord, Massachusetts, menuangkan pengalaman pribadinya sebagai putri Bronson Alcott—seorang sahabat karib Emerson, Thoreau, dan Hawthorne—ke dalam novel ini.
Terbit dalam dua bagian, novel ini mengajak kita mengikuti perjalanan hidup empat bersaudari March. Bagian pertama diakhiri dengan pertunangan Meg, sang kakak tertua. Tiga tahun berselang, bagian kedua dibuka dengan pernikahan Meg dan menelusuri bagaimana keempat putri ini menavigasi kehidupan dan cita-cita mereka.
Menariknya, Alcott menulis novel ini atas permintaan penerbit yang memintanya untuk menciptakan sebuah karya yang menghibur sekaligus mendidik para remaja putri. Kesuksesan langsung menghampiri novel ini, yang memang dirancang untuk menyampaikan pesan moral tentang nilai-nilai dan perilaku yang baik.
Salah satu contohnya terlihat di bab pertama, di mana para suster March dengan murah hati memberikan sarapan Natal mereka kepada keluarga miskin yang kelaparan. Kebaikan mereka dibalas dengan hadiah istimewa dari tetangga kaya mereka, Tuan Laurence. Di bagian lain, Amy, si bungsu, membakar tulisan Jo dalam kemarahan. Jo yang keras kepala menolak untuk memaafkan Amy, meskipun telah dinasihati oleh ibunya. Penyesalan kemudian menghantam Jo ketika Amy hampir tenggelam saat bermain seluncur es.
Pesan moral yang begitu gamblang mungkin terasa sedikit menggurui bagi pembaca dewasa yang kembali membaca novel ini setelah sekian lama. Namun, bagi pembaca muda yang terbiasa dengan cerita berbalut pesan moral, gaya penulisan Alcott terasa begitu alami dan mudah dicerna.
Faktanya, banyak gadis yang menggemari Little Women lebih menyukai bagian pertama, di mana keempat saudari masih tinggal bersama dalam kehangatan rumah, menjalani hari-hari dengan kegiatan sederhana, dan saling berbagi suka duka. Mungkin, kedekatan dan kehangatan persaudaraan inilah yang sesungguhnya menjadi daya tarik utama Little Women, melebihi pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Di paruh kedua Little Women, Alcott dengan berani menggali pertanyaan-pertanyaan abadi seputar kehidupan perempuan: Bagaimana seharusnya perempuan diperlakukan? Bagaimana seharusnya cinta dan materi bersatu? Apa tujuan hidup dan cita-cita seorang perempuan?
Jawaban Alcott terasa lebih berani dan lugas dibandingkan dengan penulis sezamannya seperti George Eliot dan Henry James. Ia menyajikan empat anak-anak perempuan dengan empat kepribadian dan keinginan yang berbeda, yang menghasilkan empat jalan hidup yang berbeda pula.
Namun, mereka semua dipersatukan oleh bimbingan sang ibu, Marmee, yang mendambakan agar putri-putrinya “menikah dengan baik dan bijaksana, serta menjalani kehidupan yang berguna dan bahagia, dengan sesedikit mungkin beban dan kesedihan.” Marmee tidak mendorong anak-anaknya untuk mengejar pernikahan dengan status sosial tinggi, melainkan membekali mereka dengan kekuatan mental dan spiritual untuk menghadapi tantangan hidup. Alcott menampilkan pandangan progresif dengan tidak membatasi aktivitas perempuan. Jo, misalnya, diizinkan untuk menghasilkan uang dengan menulis cerita sensasional untuk surat kabar (seperti yang dilakukan Alcott sendiri). Meskipun keluarganya memberikan peringatan, mereka tetap mendukung dan membiarkan Jo menemukan jati dirinya sebagai penulis atau pengarang.
Dengan cerdas, Alcott menghindari perangkap yang dialami oleh George Eliot dalam novel otobiografinya, The Mill on the Floss. Alcott memberikan karakter utama novelnya dengan banyak sifat dan dilema pribadi, namun tidak menghukumnya atas pilihan-pilihan hidupnya.
Ketika Amy menikahi Laurie, tetangga mereka yang kaya setelah Laurie ditolak oleh Jo, Alcott dengan hati-hati merangkai kisah cinta mereka secara bertahap. Perkembangan karakter Amy, yang awalnya terkesan manja di bagian pertama, menjadi salah satu aspek yang paling memuaskan di bagian kedua.
Jo akhirnya menemukan kesuksesan dalam menulis dan cinta sejati bersama Profesor Bhaer. Bhaer, yang mungkin tidak tampak seperti “Pangeran Tampan” di mata pembaca muda, justru memiliki daya tarik tersendiri. Ia cerdas, baik hati, dewasa, dan berpendidikan, seorang pasangan yang jauh lebih cocok untuk Jo dibandingkan Laurie.
Melalui Little Women, Alcott menyampaikan pesan yang kuat tentang kemandirian, kebebasan memilih, dan pentingnya mengejar mimpi bagi perempuan, sebuah pesan yang masih relevan hingga saat ini. Little Women, sebuah karya klasik yang pernah begitu digemari, mungkin kini telah kehilangan daya pikatnya bagi para remaja modern. Jo dan saudari-saudarinya, yang pada masanya menjadi cerminan para gadis muda, kini terasa asing dan jauh dari realitas kehidupan remaja masa kini. Kekhawatiran dan konflik yang mereka hadapi tidak lagi relevan dengan permasalahan yang dihadapi oleh generasi muda saat ini.
Namun, di balik pergeseran zaman, Little Women tetap memiliki tempat istimewa di antara karya-karya sastra abad ke-19 lainnya. Novel ini menawarkan gambaran yang berharga tentang perjuangan perempuan dalam menemukan jati diri dan menggapai mimpi di tengah masyarakat yang penuh dengan batasan.
Alcott, dengan keinginannya untuk memberikan akhir yang bahagia bagi keempat saudari March, tidak hanya menunjukkan apa yang harus dicapai dalam hidup, tetapi juga bagaimana mencapainya. Keinginan Alcott untuk menyisipkan pesan moral dalam karyanya mengharuskannya untuk menyampaikan secara eksplisit berbagai permasalahan yang dihadapi oleh perempuan pada masanya. Permasalahan yang sama sebenarnya juga diangkat oleh penulis-penulis lain, namun seringkali disampaikan secara implisit.
Melalui karakter Marmee, Alcott mengajukan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya diinginkan oleh seorang ibu bagi putrinya. Kemudian, ia dengan sistematis menunjukkan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, Alcott mengingatkan kita bahwa semua novel, tidak hanya novel remaja, selain berfungsi sebagai hiburan, juga merupakan sebuah model atau contoh. Novel menunjukkan bagaimana sesuatu dapat dilakukan, baik hal kecil seperti mencuri permata berharga, maupun hal besar seperti mengejar ikan paus putih atau melarikan diri dari perbudakan.=
Little Women memberikan panduan bagi para pembacanya, terutama perempuan muda, tentang bagaimana mengarungi kehidupan, membuat pilihan, dan menemukan kebahagiaan sejati. Meskipun konteks zaman telah berubah, pesan-pesan universal tentang cinta, keluarga, dan pengejaran mimpi dalam novel ini tetap relevan dan bermakna bagi para pembaca dari generasi ke generasi.