Jumat, April 19, 2024

HAM untuk Perlindungan ABK

Fauzi Wahyu Zamzami
Fauzi Wahyu Zamzami
Jurnalis Independen dan Alumni Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia. Tertarik untuk meneliti isu-isu diplomasi publik, komunikasi global, dan kebijakan luar negeri Korea Selatan.

Peristiwa atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di di kapal besar penangkap ikan milik China yang diberitakan oleh TV MBC Korea Selatan mendapat penuh perhatian publik.

Peristiwa tersebut mulai viral setelah diberitakan bahwa salah satu pegawai Indonesia meninggal dan jenazahnya dibuang ke laut. Hal yang paling mengerikan adalah durasi pekerjaan mereka selama 30 jam dan diberi waktu istirahat hanya 6 jam termasuk untuk makan.

Para pekerja pun menyatakan bahwa selama 13 bulan mereka hanya mendapatkan gaji Rp. 1,7 juta, yang artinya setiap bulan kurang lebih mereka hanya mendapatkan Rp. 100 ribu.

Selain pelanggaran HAM terhadap ABK, kapal China pun melakukan praktek illegal fishing yang menyebabkan mereka tidak melakukan pendaratan dimanapun.

Saya meyakini bahwa penegakan HAM untuk perlindungan ABK perlu ditingkatkan karena melihat banyak hak-hak ketenagakerjaan yang kurang terlindungi dan juga mudahnya dilakukan pelanggaran HAM.

Hak ketenagakerjaan yang diabaikan

Pada dasarnya, eksploitasi dan pengaturan yang mengikat ABK menyebabkan mereka sulit untuk melakukan hal apapun. Menurut Pusat Hukum Publik, Kim Jeong Cheol, menyatakan bahwa ada kemungkinan besar paspor mereka pun diambil dan diminta untuk menyerahkan uang deposit sehingga kemungkinan mereka kabur akan sangat minim.

Di Indonesia, perjanjian sistem kerja sudah menjadi hal yang sangat klasik dimana akan ada sistem yang berbeda antara pra dan pasca. Sejak tahun 2015, status ABK telah menjadi sorotan karena ketidakjelasan atas aturan-aturan yang tegas untuk ABK. Hal ini menyebabkan status ABK mengambang, maka tidak heran ketika ABK diberlakukan seperti budak.

Meskipun mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, telah menyiapkan peraturan HAM secara serius terkait bisnis perikanan yang didalamnya termasuk perlindungan untuk ABK, namun ketiadaan standar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) masih tetap dipertanyakan.

Maka dari itu, ketika para pekerja memiliki masalah yang cukup darurat mereka sulit untuk melepaskan diri. Dalam kasus ABK di Kapal China terlihat bahwa adanya perjanjian dalam sebuah surat yang berisi tentang dilarangnya melapor kepada pihak kepolisian atau hukum apabila terjadi apapun dan asuransi sebesar Rp. 150 juta apabila meninggal.

Dari suratnya jelas terlihat bahwa ABK ini sangat beresiko tinggi. Bahkan pihak agensi kapal pun tidak memperhatikan standar K3 bagi ABK dalam kapal China tersebut. Hal ini terbukti ketika para ABK kesulitan untuk minum air mineral sehingga mereka hanya bisa minum air laut yang difilterasi.

Dalam kasus ABK ini, saya jelas melihat bahwa terjadinya pengabaian yang dilakukan oleh pihak agensi seakan-akan mereka tidak memantau apa yang terjadi dilapangan. Perlu diketahui bahwa sejauh ini antara indikasi perlindungan ketenagakerjaan dan penegakan HAM dapat dilihat dari sejauh mana operasional perusahaannya menerapkan sistem K3 dengan baik serta sistem perjanjian yang normal sesuai hukum yang berlaku.

Dugaan adanya pelanggaran HAM

Hak untuk hidup adalah basis fundamental yang mutlak dalam kacamata Hak Asasi Manusia. Kematian dan kekurangan perhatian terhadap ABK menyebabkan adanya dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak kapal China dan agensi kapal.

Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menjamin bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Kemudian, Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, dan upah minimum berdasarkan regulasi pemerintah daerah baik provinsi atau kabupaten / kota.

Dari segi pengupahan, hal yang sangat tidak wajar apabila dalam sehari ABK bekerja selama 18 jam dan dalam kurun waktu 13 bulan hanya dibayar 1,7 juta. Hal ini belum termasuk adanya dugaan uang deposit yang harus diberikan kepada pihak kapal supaya para ABK tidak kabur.

Pelanggaran dan pengabaian HAM sangat terlihat dari berbagai sudut, salah satunya sudut pengupahan. Sistem kontrak kerja diawal dan bahkan di beberapa tidak ada sama sekali kontrak kerja menunjukkan bahwa ketidakpedulian perusahaan atau agensi terhadap ABK yang berujung pada sistem pengupahan yang tidak sesuai, pemotongan gaji secara sepihak, dan jaminan sosial yang dipertanyakan.

Selain itu, Pasal 88 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ayat 1 menjelaskan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lalu ayat 2 menjelaskan bahwa untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja / buruh.

Kemudian, ayat 3 mengatur rinci tentang kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, meliputi upah minimum, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, bentuk dan cara pembayaran upah dan denda dan potongan upah.

Dari pasal-pasal diatas, sangat disayangkan bahwa hukum di Indonesia belum sepenuhnya dipatuhi oleh pihak-pihak terkait, termasuk agensi kapal ini.

Hentikan Pelanggaran dan Dorongan untuk PBB

Kasus pelanggaran HAM yang ada dalam kapal asing sudah menjadi isu yang tidak asing dan sudah terjadi selama ratusan tahun.

Melihat kejadian dan kondisi ABK di kapal China saat ini, penanganan atas pengawasan tenaga kerja khususnya ABK perlu ditingkatkan kembali.

Saya mengajak para pembaca dan pemerintah untuk sedikit membentuk pola pikir baru bahwa cara, strategi dan juga regulasi yang dibuat oleh aparatur pemerintah atau perusahaan perlu ditegakkan lebih dari awal dan dipastikan bahwa semua hal tersebut benar-benar tidak melanggar dan mengabaikan HAM dalam segi ketenagarkerjaan.

Aparatur pemerintah harus benar-benar mengawasi bagaimana implementasi di lapangan terhadap hak-hak ketenagakerjaan serta memastikan bahwa perusahaan atau agensi terkait menaati aturan-aturan yang dibuat untuk HAM dan ketenagakerjaan sehingga tidak akan adalagi korban, lemahnya sistem K3, dan juga upah yang tidak sesuai.

Selain dorongan kepada aparatur pemerintah, saya mendorong Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meningkatkan pengawasan terhadap kejahatan transnasional yang terorganisir termasuk Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang didukung oleh pelanggaran HAM, kekerasan fisik, perdagangan manusia, dan perbudakan yang terjadi dalam kapal.

Hal ini sesuai dengan Sidang Umum PBB yang ke-70, Bagian IV dari Resolusi A/RES/ 70/75 Tahun 2015 (para.87) yang menyatakan akan kasus-kasus kejahatan transnasional yang terorganisir tersebut.

Diakhir kata, saya ingin menegaskan bahwa menghentikan pelanggaran merupakan bentuk awal untuk penegakan HAM secara utuh.

Fauzi Wahyu Zamzami
Fauzi Wahyu Zamzami
Jurnalis Independen dan Alumni Hubungan Internasional, Universitas Islam Indonesia. Tertarik untuk meneliti isu-isu diplomasi publik, komunikasi global, dan kebijakan luar negeri Korea Selatan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.