Rabu, Oktober 9, 2024

Hakikat Warga Negara

Damianus Edo
Damianus Edo
Generasi Milenial, aktif menulis literasi media

Beberapa hari lalu, kita mendengar ada orang melemparkan batu ke arah Gereja di Magelang, (27/10). Dan motifnya, karena ia merasa geram terhadap pembakaran bendera HTI oleh Banser, Garut – Jawa Barat. Memang bukan hanya Gereja yang inisial NA lempari, tetapi kantor NU dan kantor PDI Perjuangan Magelang juga menjadi sasaran.

Dan pidato Ketua Umum PSI, Grace Natalie soal perda Syariah. Egi Sudjana pun geram dan melaporkan Grace Natalie ke Kepolisiaan. Masyarakat maya pun riuh, dipantik ucapan Ketum PSI.

Dalam demokrasi, agama mestinya bukan sesuatu yang harus dikontestasikan. Ia sudah selesai. Biarlah itu ada dalam wilayah privat individu, sesuai dengan makna demokrasi itu sendiri. Jadi memang aneh kalau di satu sisi kita menyebut negara demokrasi, tapi di sisi lain urusan toleransi selalu jadi masalah.

Entitas agama mestinya tidak boleh dibawa lagi di ruang “pertengkaran politik”, karena itu ranahnya akal. Berdebat, tentu pakai rasio dengan seluruh argumentasi sebagai senjatanya, bukan agama karena kalau itu yang terjadi, agama tak ubahnya oligarki kebenaran.

Serentak pada saat yang sama, negara gagap menghadapinya, para elit politik yang oligarkis sibuk saling menyandera dengan kepentingan pragmatis elektoral, didukung oleh para konsultannya.

Hanya saja, di Indonesia itu sulit karena ruang publik dan ruang pengetahuan dipenuhi oleh manusia-manusia berwatak teknokrat yang pragmatis, dan juga oleh para agamis menggunakan dalil-dalil teologi (ayat-ayat suci). Bagaimana mungkin kita berdebat kalau berhadapan dengan orang yang memakai ayat suci, sebab dalil-dalil teologi itu sudah bersifat final atau doktriner. Akal tidak laku di hadapan itu, karena iman yang berlaku. Sementara, demokrasi menjadikan akal sebagai jaminannya, dan bukan iman.

Hakikat Warga Negara

Kedaulatan kita haruslah berasaskan kedaulatan rakyat atau kedaulatan warga negara. Konstitusi kita jelas bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan berdasarkan agama atau suku. Mungkin saja lupa bagaimana hidup bernegara, menjadi warga negara, terlebih lagi Indonesia yang masyarakatnya sangat heterogen atau plural dalam banyak hal.

Jika sentimen mendominasi wajah perpolitikan, maka akan menjadi simptom atau gejala yang sangat jelas tentang masalah demokrasi kita yang tidak bisa keluar dari jebakan mayoritarianisme. Siapa yang paling banyak jumlah, entah dari suku, agama, atau komunalitas apapun, merekalah yang berkuasa.

Kita memang butuh orang yang bisa membantu setiap orang untuk menemukan sendiri nilai-nilai atau kebajikan-kebajikan sebagai warga negara yang dibutuhkan compatible untuk kehidupan demokrasi yang sehat.

Dialog antar umat beragama terus disalurkan. Sebab perbedaan itu fakta yang tak terbantahkan. Hanya saja perlu ditetapkan bahwa yang akan didialogkan bukan keyakinan an sich dari pemeluk agama. Tetapi nilai-nilai universal, seperti care, fairness, liberty, royalty, authority and sincity. Sehingga terwujudnya, toleransi antar umat beragama sebagai nilai luhur hakikat warga negara.

Dengan kata lain, membumikan nilai-nilai kebenaran universal, dan persaudaran di atas kegaduhan politik, sehingga terciptanya masyarakat toleran dengan menjunjung tinggi nilai Pancasila. Maka hakikat menjadi warga negara terpenuhi dengan sendirinya.

Tanggung Jawab Kita

Ini adalah masalah kita semua, baik civil society, aktivis, maupun pejabat pemerintah untuk menggaungkan literasi. Literasi dari kaum intelektual menggalakkan dan membiasakan diskusi di kampus atau mimbar masyarakat, sebagai ajang mentransaksikan gagasan secara obyektif, dan mentradisikan ruang dialogis yang inklusif kepada mahasiswa maupun masyarakat umumnya.

Demokrasi hidup dari diskusi, perdebatan, kritisisme. Yang diharapkan di sana adalah to force the better argument. Argumen yang lebih kuat dasarnya, itu yang memenangkan akal sehat dan kebhinnekaan kita, sebagai ruh penggerak menjadi warga negara yang baik.

Peran menjadi fasilitator para intelektual, dan tokoh agama sangatlah dibutuhkan menjawab tantangan menjadi warga negara. Edukasi masyarakat, untuk terbiasa berpikir dan memilih secara kritis, itu juga bagian dari investasi sekaligus pengorbanan untuk membangun demokrasi.

Lambung politik demokrasi harus diisi dengan pikiran-pikiran cerdas, tentang bagaimana menjadi warga negara di tengah kehidupan pluralitas agar gesekan-gesekan yang beresiko kekerasan terhindari. Dan itu, hanya datang dari akal yang terlatih untuk bersikap kritis.

Dan pemerintah harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat di kalangan masyarakat. Bahwasanya, politik primordial itu subur di akar rumput yang jauh dari literasi demokrasi. Ini juga berkelindan dengan mental masyarakat.

Dengan kata lain, baik literasi demokrasi maupun ekonomi harus sejalan. Sambil didorong ekonomi, literasi demokrasi juga demikian. Ekonominya maju karena pemerintahannya demokratis, birokrasinya efektif dan efisien.

Damianus Edo
Damianus Edo
Generasi Milenial, aktif menulis literasi media
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.