Perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap fenomena pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk di perhatikan oleh masyarakat dan khususnya oleh Pemerintah. Pengungsi merupakan salah satu kelompok yang berada dalam situasi yang sangat rentang dan membutuhkan perlindungan dan perhatian dari masyarakat dan pemerintah.
Terdapat beberapa problematika perlindungan hak asasi manusia terhadap pengungsi dan pencari suaka di Indonesia saat ini, antara lain; terbatasnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan dimana pengungsi dan pencari suaka sering mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan dan kesehatan di Indonesia hal ini disebabkan fasilitas dan peraturan yang mengatur terkait hal tersebut.
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Bakamla RI, dari tahun 2020 hingga 2023 terdapat total 1.588 orang pengungsi dan pencari suaka yang terdampar di Indonesia. Data United Nations High Commissioners For Refugees (UNHCR) jumlah pengungsi di Indonesia mencapai 155.400 orang. Belum termasuk pencari suaka yang berjumlah 3.213 orang. Sehingga bisa dikatakan jumlah keseluruhan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia mencapai 13.700 orang.
Adapun kelompok terbesar berasal dari Myanmar yang mayoritas berasal dari etnis Rohingnya yang lainnya berasal dari Afghanistan sebanyak 7600 jiwa selebihnya berasal dari Somalia, Irak, Myanmar, Sudah, Sri Lanka, Yaman, Palestina, Iran, Pakistan, Eritrea dan Ethiopia.
Indonesia sebagai negara transit menghadapi sitauasi pengungsi yang kompleks sehingga menjadi tantangan yang tidak mudah dalam upaya menegakkan kebijakan kemanusiaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Ketiadaan kerangka hukum yang komprehensif menimbulkan kebingunan perihal tanggung jawab siapa yang seharusnya menangani kompleksitas permasalahan dan penanganan pengungsi di Indonesia.
Fenomena
Hingga saat ini penanganan pengungsi belum terimplementasikan dengan baik pada kenyataannya. Rumah Detensi Imigrasi kewalahan dengan datangnya pengungsi dan pencari suaka yang berbondong-bondong datang untuk mendapatkan perlindungan. Mereka membangun tenda di depan Rumah Detensi Imigrasi sehingga membuat tidak nyaman untuk dilihat.
Pada praktiknya di lapangan, pemerintah mengalami resistensi untuk melakukan penanganan. Sesungguhnya Rumah Detensi Imigrasi seharusnya tidak digunakan untuk menampung pencari suaka dan pengungsi. Selain terlalu penuh, Rudenim didirikan tidak untuk tujuan itu.
Selain itu, menahan pencari suaka dan pengungsi juga memberikan reputasi buruk bagi Indonesia dalam hal penanganan pengungsi dari luar negeri. Kemudian, waktu tunggu penetapan status pengungsi di Indonesia sekitar dua tahun lamanya. Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB, sehingga tidak menerima pengungsi untuk menetap atau berintegrasi menjadi penduduk Indonesia. Karena begitu banyaknya permintaan suaka dan keterbatasan tawaran suaka untuk pengungsi di seluruh dunia, tak jarang pengungsi menunggu di Indonesia selama lima tahun atau lebih
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh M. Alvi Syahrin dan Yusan Shabri Utomo Tahun 2019 mewawancarai salah satu pengungsi asal Sudan yang tinggal di Community House di Komplek Ruko Paramount Serpong. Pengungsi bernama Abdulwahid Ali Ahmed Abdulrahman yang berumur 37 tahun.
Pertama kali datang ke Indonesia pada bulan Maret 2015 bersama sang istri untuk mencari suaka karena di negaranya sendiri sedang mengalami konflik berkepanjangan dan berakhir perang sampai dengan sekarang. Menurutnya, UNHCR sangat lamban dalam memproses wawancara dan status pengungsi karena sistemnya mengantri. Pada bulan Desember 2017, ia dan istri beserta anaknya pindah ke Community House di Komplek Ruko Paramount Serpong.
Sebelumnya, pada tahun 2016 dan 2017 mereka mempunyai dua anak yang lahir setiap tahunnya. Selama tinggal di Community House ia mendapatkan uang dari IOM sebesar Rp. 1.250.000,00 per bulannya. Pada akhirnya, pengungsi tersebut berharap kepada UNHCR agar dapat segera dipindahkan ke Negara ketiga karena ia sudah terlalu lama tinggal di Indonesia. Ia ingin kehidupan yang layak untuk masa depan anak-anaknya yang masih kecil. Tetapi ia juga tidak menutup kemungkinan untuk mengikuti program pemulangan secara sukarela (assisted voluntary return) kembali ke negaranya di Sudan jika perang disana sudah berakhir.
Bagi para pengungsi saat ini, tidak ada advokasi dan payung hukum yang kuat sehingga membuat mereka secara efektif berstatus sebagai terdampar atau terkatung-katung di Indonesia. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengakhiri ketidakpastian status mereka. Untuk kembali ke negara asal (repatriasi) adalah tidak mungkin. Untuk mendapatkan pemukiman kembali ke negara ketiga (resettlement) adalah kecil peluangnya. Lalu untuk bertahan hidup selamanya di Indonesia (reintegration) adalah bukan pilihan yang baik juga. Mengingat Indonesia-pun bukan negara maju dan banyak rakyatnya yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Sampai saat ini belum ada regulasi atau perubahan undang-undang yang secara komprehensi mengatur terkait pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Beberapa aturan yang berlaku saat ini terjadi disharmonisasi disebabkan keadaan darurat menyikapi kondisi pengungsi dan pencari suaka yang semakin bertambah tiap tahun.
Seperti Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri memiliki kedudukan yang lebih rendah dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Seharusnya Peraturan Presiden tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Keimigrasian. Sehingga negara hanya seolah-olah memiliki kewajiban dalam penanganan pencari suaka dan pengungsi seperti Negara-negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
Padahal jika melihat peraturan presiden Nomor 125 Tahun 2016 mengakui adanya kebutuhan khusus yang diperlukan oleh kelompok pemngungsi tentang seperti orang sakit, wanita hamil, penyandang disabilitas, anak-anak, dan orang lanjut usia. Maka dari itu untuk menjamin hak-hak mereka diperlukan kebijakan melalui perubahan undang-undang sehingga pengaturannya lebih komprehensif.
Apalagi dimasa yang akan datang dengan posisi strategis Indonesia maka dipastikan akan lebih banyak lagi pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Indonesia baik secara legal maupun ilegal. Dengan fenomena ini sudah saatnya negara pembertimbangkan urgensitas untuk meratifikasi perjanjian konvensi pengungsi 1951 beserta Protokol Pengungsi 196.