Jutaan orang tidak menyadari bahwa masih banyak guru di Indonesia yang belum merdeka dalam mengajar hingga hari ini. Bahkan kata-kata retorik yang tidak ingin disebut retorik dari Menteri Pendidikan kita yang baru pun belum mampu menyadarkan kita semua betapa banyaknya guru di Negeri ini yang masih merasakan tidak merdeka dalam mengajar sehari-sehari.
Meskipun begitu, setiap guru memiliki privilege-nya masing-masing. Beda sekolah, beda kondisi, beda pola kerja, beda tekanan, berbeda pula privilege yang guru rasakan.
Dalam artikel ini saya akan memperkenalkan tiga teman saya dengan profesi yang sama, yakni sebagai guru namun dengan privilege yang berbeda.
Yang pertama, teman saya, Dani seorang guru yang mengajar di pesisir pantai di salah satu wilayah Banten. Kami saling mengenal dari suatu program volunteering sosial pendidikan yang pernah membawa saya bertemu dengannya.
Di sana, belum ada teknologi canggih seperti infokus, laptop, pendingin ruangan di dalam kelas, atau bahkan spidol yang dapat membantunya dalam mengajar. Bahkan banyak hal yang membatasi dirinya untuk merdeka dalam mengajar, seperti sepring kali suara guru dari satu ruang kelas dengan kelas lain saling bersahutan terdengar dikarenakan hanya terpisah oleh papan tipis yang sudah bolong.
Jangankan untuk berinovasi, untuk mengajar secara normal saja sangat sulit dilakukan. Belum lagi soal gaji yang tak seberapa, terkadang membuatnya pusing tiap akhir bulan.
Namun, ada hal yang membuatnya tak merdeka dalam mengajar bukan berarti membuatnya tak bahagia. Ada hal yang dia miliki dan tak dimiliki banyak guru lainnya, yakni motivasi, semangat, dan hormat dari para siswanya.
Mereka tak butuh ruangan yang dingin untuk terjaga dalam fokus belajarnya dan mereka tak butuh infokus untuk memahami materi yang diajarkan dengan baik. Motivasi, semangat belajar, dan hormat mereka sudah sangat cukup menjadi privilege bagi teman saya ini.
Sekarang mari berkenalan degan teman saya yang kedua, Ardi namanya. Saya mengenal dirinya dari semasa kuliah. Seteleha lulus, Ardi tancap gas daftar CPNS dan langsung diterima di salah satu sekolah negeri di Jakarta.
Seperti yang kita ketahui bersama menjadi guru PNS adalah mimpi bagi sebagian sarjana pendidikan di Indonesia. Pasalnya, kita tak perlu pusing memikirkan masa tua. Apalagi segala tunjangan yang di dapat membuat PNS menjadi primadona bagi pencari kerja.
Fasilitas sekolah hampir bisa dibilang lengkap untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di kelas. Namun, hal itu tak serta merta membuatnya mudah berkembang di dalam ruang lingkup sekolah. Banyak hal yang membatasinya untuk dapat berkembang, rutinitas yang sama setiap hari membuatnya sering merasa bosan, terlebih segudang administrasi guru yang harus dilengkapi membuatnya sulit bergerak lebih untuk berinovasi baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
Terakhir, kenalkan teman saya yang ketiga, Danti namanya. Seorang guru di sekolah bertaraf Internasional dengan kurikulum Cambridge. Menjadi guru Internasional, hal yang terlintas pertama kali bagi kita adalah bayaran yang besar dengan benefit yang banyak.
Selain itu fasilitas yang sangat memadai dan siswa dalam satu kelas yang sedikit membuat pembelajaran menjadi efektif. Sangat mudah bagi Danti untuk berinovasi dalam pembelajaran di dalam kelas.
Namun, semua privilege itu tak serta merta membuatnya bahagia. Danti sendiri saat ini harus mengajar lebih dari 1 kurikulum, dikarenakan mau tak mau sebagai sekolah yang berada di Indonesia harus mengikuti Ujian Nasional. Oleh karena itu, Danti harus mengajarkan mata pelajaran tambahan untuk menunjang siswa dalam Ujian Nasional. Alhasil, Danti harus sering pulang telat setiap harinya.
Selain itu, aktifitas yang sangat padat seperti kegiatan luar kelas, membuatnya harus pandai-pandai membagi waktu, tenaga, dan fikiran. Terlebih, interaksi antara siswa dan guru sering kali tak seintim guru-guru di sekolah Dani dan Ardi.
Tak jarang siswa merasa bahwa mereka sudah membayar mahal dan guru sebagai fasilitator di dalam kelas harus memberikan “pelayanan” yang seharusnya. Bahkan, tak sedikit siswa yang tidak memberikan rasa hormat kepada Danti. Salah sedikit saja, maka akan ditinggal atau tak dihiriaukan siswanya. Bahkan tak jarang hal ini membuatnya menjadi insecure.
Saat ini banyak orang masih belum.menyadari bahwa menjadi guru bukanlah profesi yang mudah. Karena untuk menjadi guru yang merdeka saat ini hanya seperti sebatas memilih kemerdekaan mana yang akan guru pilih. Sangat jarang guru yang mendapatkan privilege lengkap dalam pekerjaan atau sekolah yang dipilihnya.
Privileges yang dimiliki Dani, Ardi, dan Danti hanyalah contoh kecil dari jutaan guru di Indonesia dan semua memiliki privileges yang berbeda. Karena mereka memulai dari titik dan tempat yang berbeda dan hal itu membuat mereka memiliki rasa dan sudut pandang yang berbeda.
Privilege anggap saja bonus bagi guru itu masing-masing. Karena yang perlu kita sadari adalah tidak semua guru dapat merasakan privilege yang sama. Apapun itu, guru tetaplah guru. Bekerja di pesisir pantai ataupun di kota, di ruang sederhana atau mewah, di gaji sedikit atau melimpah, guru tetap saja merupakan profesi yang penuh dengan tanggung jawab.