Di bawah sorotan masyarakat dunia, Hagia Sophia menjadi titik sentral yang begitu menawan beberapa pekan ini. Pasca dibukanya kembali Hagia Sophia menjadi masjid dibawah pemerintahan Erdogan dengan proses administrasi yang sah, tentunya hal ini telah menimbulkan pro dan kontra dari seluruh kalangan di dunia karena dianggap politis dan menyakiti hati umat Kristen Ortodok.
Sejarah panjang mengiringi bangunan tua ini, 86 tahun lamanya Haghia Sophia menjadi museum menyimpan sejarah besar dari dua emperium. Bayangkan saja Hagia Sophia telah melewati banyak fasedan menjadi saksi bisu dari deretan sejarah kekaisaran bizantium, khilfah ottoman, sekulirisme at-taturk, hingga sekarang menatap model pemerintahan modern republik Turki.
Begitulah roda sejarah bekerja, silih berganti yang ujung-ujung adalah “pengulangan” kembali. Sebagai manusia yang berpikir, hendaknya bertindak bijak dari setiap kejadian. Terlepas dari pro kontra yang ada, pergantian fungsi Haghia Sophia harusnya kita pandang sebijak mungkin, karena bagaimanapun keputusan ini sah secara hukum bagi Turki sendiri yang merupakan negara berdaulat dengan proses yang sesuai dengan tatanan hukum.
Setidaknya kita memandang proyeksi apa yang akan dibangun oleh Erdogan untuk masa mendatang, karena bagaimanapun dibawah kekuasan Erdogan turki menjelma sebagai negara yang sama sekali baru meninggalkan belenggu ekstrim sekulerisme yang dibangun oleh Kemal at-Taturk.
Bagaimanapun Haghia Sophia mewakili simbol kedigdayaan peradaban yang besar. Jangan sampai kebijkan ini tidak menyisakan apapun kecuali hanya euforia sesaat belaka, terjerembab kepada lubang kejayaan masalalu yang ujung-ujungnya hanyalah menjadi ilusi yang tidak membangun pola pemikiran masyarakat secara mengakar.
Jangan sampai buah perjuangan Al-Fatih hanya dipakai sebagai simbol keperkasaan masalalu saja dan dengan hanya mengubah gereja menjadi masjid tanpa memaknai spirit agung yang terkandung di dalamnya.
Hagia Sophia harus dimaknai dengan pola pikir piyang baru yaitu spirit umat Islam dalam membangun peradaban dunia, ghirah membangun toleransi, simbol keagamaan yang benar-benar menjaga ruh luhur agama yang menjadi garda terdepan perdamaian.
Umat islam sudah kenyang dengan puing-puing sisa kejayaan masa lalu. Dan dengan runtuhnya kekhilafahan usmani semakin mempertegas runtuhnya peradaban islam dari berbagai hal, darikhazanah keislaman dan kemajuan sains dan teknologi.
Kenyataanya memang umat islam semakin terjerembab dalam palung kegelapan dengan semakin hilangnya formula kejayaan yang dirasa makin jauh. Agama hanya dianggap sebagai pola vertikal antara hamba dengan Tuhan, padahal idealnya agama juga mencakup aspek horizontal antar sesama makhluk yang mengatur perkara duniawi, akibatnya semakin dikotominya istillah antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrowi.
Padahal dunia Islam pernah menjadi corong peradaban dibidang sains dan teknologi sampai abad pertengahan, kini memasuki era yang berbeda dunia islam hanya tampil sebagai penonton saja, sembari sibuk dengan masalah-masalah politik dalam negeri yang tidak kunjung usai.
Hegemoni peradaban Islam seakan “dipaksa” berhenti utamnya dibidang sains dan teknologi. Hal ini mencoba ditelaah dan diamati oleh para cendikiawan muslim, untuk dicarikan “obat” karena memang umat Islam sedang berada dalam titik nadir yang paling rindah.
Bayangkan saja 1.8 miliar penduduk memeluk agama Islam, yang membentuk sekitar 24% dari populasi dunia, benar-benar tidak berdaya dengan gempuran perkembangan ilmu pengetahuan dari dunia barat. Lantas dimanakah letak salahnya kita?
Dan salah satu sebab utama yang menjadi kemunduran Islam adalah meninggalkan Al-quran dan hadis. Tentu hal ini terlalu luas untuk dibahas dan dijadikan faktor kemunduran umat islam.
Syakib Arslan salah satu cendekiawan muslim terkemuka yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh dalam kitabnya “Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?” menjelaskan panjang lebar tentang urgensi umat Islam untuk berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah yang menitikberatkan kemapanan berpikir dan kemajuan yang diisyaratkan dalam ayat-ayat Al-quran yang menjadi identitas dan pedoman.
Beliau mencotohkan negara Eropa dan Jepang yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat tanpa harus kehilangan identitasnya, terbukti dengan majunya negara tersebut dalam berbagai bidang. Hal ini menjadi cambuk bagi umat Islam sendiri utamanya dalam kemajuan sains, tentu kita berharap adanya generasi baru Ibnu Sina, Al-Khawrizmi, Al-Kindi dan ulama-ulama yang mapan dalam bidang sains, demi membawa kembali gemerlapnya peradaban Islam.
Setidaknya difungsikannnya kembali Haghia Sophia menjadi masjid dapan menjadi simbol titik balik kembalinya peradaban Islam dari tidur lelapnya yang sudah berabad-abad. Jangan sampai momen ini hanya dimaknai sebatas euforia sementara belaka yang hanya mempertontonkan kedigdayaan masa lalu, tanpa gerakan untuk membangun kembali peradaban dimasa mendatang.