Jumat, Maret 29, 2024

Gus Ipul, Khofifah, dan Kewarganegaraan

Bagus Nuari Harmawan
Bagus Nuari Harmawan
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL Universitas Gadjah Mada.

Hajatan politik terbesar di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2018 akan segera bergulir. Atmosfer kontestasi sudah mulai terasa dengan hadirnya deklarasi maupun dukung-mendukung pasangan yang dilakukan oleh partai politik.

Seperti diketahui bersama terdapat dua pasangan calon yang secara gamblang sudah mendeklarasikan diri ikut dalam Pilkada 2018. PDIP pada bulan Oktober 2017 kemarin secara tegas mendukung Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Azwar Anas untuk maju sebagai Cagub dan Cawagub. Sementara, di kubu yang lain muncul pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak.

Pada fase ini, masing-masing kontestan memang belum mengeluarkan jargon maupun visi misi pencalonan. Para kontestan beserta partai politik masih sibuk untuk berhitung dan mempersiapkan segala instrumen dalam pertarungan pilkada kedepan. Oleh karena itu, sebelum kontestasi politik ini berlangsung rasanya tepat untuk membunyikan lonceng pengingat bahwa pilkada Jawa Timur tidak selesai pada kontestasi politik semata.

Kepala daerah yang terpilih nantinya akan menghadapi banyak sekali masalah-masalah fundamental yang menjangkiti provinsi paling timur pulau Jawa ini. Masalah fundamental yang dimaksud berada dalam ruang lingkup kewarganegaraan seperti  munculnya gerakan politik identitas yang cenderung represif terhadap ideologi maupun keyakinan lain yang berbeda, tergerusnya hak-hak dasar warga negara hingga persoalan terusirnya masyarakat dari kampung mereka.

Permasalahan fundamental

Jika kita menengok kebelakang, berbagai momen konflik religius di Jawa Timur sebenarnya belum sepenuhnya bisa padam secara keseluruhan. Berbagai macam konflik keagamaan yang terjadi masih belum ada penyelesaian persoalan di tingkat akar rumput yang betul-betul terjadi. Persoalan yang belum selesai ini bisa kita lihat konflik keagamaan yang terjadi dalam satu dekade ketika rentetan-rentetan konfliknya belum hilang sepenuhnya.

Pertama, kita bisa melihat pada tahun 2007 dan 2011, pondok pesantren YAPI di Bangil di serang oleh sekelompok ormas intoleran dengan dalih bahwa Syiah “sesat” (Panggabean dan Fauzi, 2014:39). Represi terhadap religiusitas tidak berhenti pada upaya penyerangan. Pada tahun 2016, terdapat aksi demonstrasi penolakan terhadap kegiatan Haul Sayyidah Fatimah yang diselenggarakan LSM bernama Islamic Women Center (IWOC) di Bangil. Massa menuduh bahwa acara haul menjadi sarana bagi kaum Syiah untuk melakukan perkaderan. Demonstrasi penolakan tersebut dipimpin oleh salah satu elite politik yang ada di Kabupaten Pasuruan.

Permasalahan kewarganegaraan yang lebih pelik terjadi ketika melihat kondisi masyarakat syiah Sampang, Madura yang masih  berada di barak pengungsian selama lima tahun. Berbagai macam upaya rekonsiliasi dengan pihak yang menolak adanya mereka di Sampang telah dilakukan. Tindakan hukum juga telah dilaksanakan pihak kepolisian terhadap mereka yang melakukan kekerasan. Akan tetapi, masih belum terlihat dampak positif yang ditimbulkan dan mereka masih harus terusir dari tanah yang sah mereka miliki.

Selain kasus konflik syiah, tingkat toleransi keberagaman di Jawa Timur memang cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2016, terjadi 22 peristiwa terkait dengan pelanggaran kebebasan beragama. Penyebab persoalan intoleransi di Jawa Timur memang cukup kompleks dan melibatkan banyak sekali kelompok-kelompok intoleran yang seolah “ringan tangan” dalam merepresi kelompok lain. Konflik keagamaan yang terjadi pada bulan Januari hingga Desember tahun 2016 terjadi dalam bentuk fatwa sesat terhadap kelompok Gafatar, dakwah dan syiar kebencian, demonstrasi (kominfo.jatimprov.go.id).

Warganegara?

Sistem demokrasi kita sebenarnya memberikan kebebasan bagi setiap warganya dalam beragama dan berkeyakinan. Bahkan kebebasan tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal  28 E  dan UU Nomor 39 Tahunn 1999 tentang HAK dan UU Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenan dan Political Rights.

Meskipun secara gamblang tertera dalam konstitusi negara. Hal tersebut tidak menjamin bahwa seluruh masyarakat baik mayoritas maupun minoritas dapat ternaungi. Jika kita melihat kembali persoalan Kaum Syiah di Jawa Timur, negara tidak bisa hadir untuk memunculkan karakteristiknya sebagai “penjaga malam” dan pemberi masyarakat rasa aman.

Alih-alih mengayomi ditengah konflik yang memanas terkait konflik di Sampang, pemerintah provinsi Jawa Timur justru menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Jatim Nomor 55/2012 Tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat (sindonews.com).

Hadirnya peraturan ini menjadi sarana untuk membangun konstruksi sosial bahwa aliran-aliran minoritas yang dituduh melenceng  dapat segera ditindak tanpa perlu memperhatikan peraturan larangan menghalangi atau mengganggu orang yang beragama. Karakteristik represi ini seringkali juga berlaku bagi agama, aliran, keyakinan lain yang dianggap tidak sama dengan mayoritas.

Mengacu pada konsepsi Agamben citizhensip, kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat justru terus mendaur ulang konsepsi state of exception sebagai sarana pragmatis dalam menjalani sebuah kehidupan umum (Robertus Robet dalam Koran Tempo, 2007).

Tanpa disadari Pergub Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran sesat berfungsi sebagai alat otoritas ketika merepresi hak asasi dan martabat masyarakat sebagai umat beragama. Jika tidak ada evaluatif dari pemerintah secara dan berusaha menyelesaikan persoalan akar rumput, kondisi “panas” dalam beragama akan terus berlangsung.

Saatnya kita melihat bagaimana nantinya Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih ketika bersikap dalam persoalan ini. Menjadi lebih baik jika Kontestan Pilkada 2018 berani berargumen dan berdebat tentang formulasi dalam penyelesaian konflik. Sebenarnya, pemerintah Jawa Timur sejak awal tahun 2017 merumuskan kebijakan tentang toleransi dan keberagaman.

Memang, tahapan perumusan masih tahap awal yaitu pertemuan stakeholder dan pemerintah dalam forum FGD dan penyerapan aspirasi masyarakat  s2politik.fisip.unair.ac.id). Momen ini sebenarnya menjadi kesempatan bagi kepala daerah yang nantinya terpilih untuk bersikap tegas bahwa dengan adanya legitimasi hukum tentang toleransi dan keberagaman maka seluruh warga negara harus mematuhi.

Tinggal kita bersama menunggu bagaimana karakteristik kepemimpinan yang nantinya terpilih. Apakah pemimpin yang bersifat transaksional atau bisa berkarakter transformasional. Tentu yang diharapkan kita bersama adalah hadirnya pemimpin transformasional yang mampu membawa perubahan yang di lebih baik.

Dalam konteks politik, gaya kepemimpinan transformatif diasosiasikan dengan sebuah inovasi, kebaharuan maupun perubahan nilai-nilai yang diciptakan saat dia memimpin (Liddle, 2011:28). Semoga demokrasi prosedural yang teraplikasi dalam Pilkada Jatim dapat memilih pemimpin yang mampu untuk merubah nasib masyarakat yang masih tertindas.

Bagus Nuari Harmawan
Bagus Nuari Harmawan
Mahasiswa Magister Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.