Kamis, April 25, 2024

Gus Dur Menjawab Polemik Zakat

fikrimuz
fikrimuz
Pemerhati dan Pengamat Ide, Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Mambaus Sholihin Gresik

Ketika rakyat Indonesia yang Muslim, khususnya yang berstatus Pegawai Negeri atau Aparatur Sipil Negara perlu ketar-ketir oleh kebijakan pemerintah yang akan menerapkan wajib zakat sebesar 2,5 persen dari gaji pokok mereka, maka membaca tulisan Gus Dur berjudul Dunia Nyata Kiai Zainal yang pernah dimuat Tempo, pada 7 Maret 1981 menurut sumber gusdur.net dan islamindonesia.id menarik digunakan untuk membedahnya.

Rencana pemerintah melalui Kementerian Agama yang akan mengesahkan Peraturan Presiden tentang Kewajiban Zakat bagi ASN disampaikan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin. Perpres yang rencananya diusulkan oleh kementeriannya itu tak urung menimbulkan pro-kontra dari banyak pihak. Penting ngak sih pemerintah mencampuri hak privat seorang muslim? Kata pihak yang kontra. Sebagian lagi berpandangan, demi kemaslahatan bangsa dan negara, kebijakan itu harus didukung.

Lepas dari polemik dukung-mendukung soal Perpres zakat. Sejenak mari menghela nafas dulu. Gus Dur jauh hari pernah menulis tentang hal ini. Diceritakan ada seorang kiai bernama Zainal yang dari tampilan luaran seperti umumnya kiai di zamannya.

Dengan latar pendidikan pesantren salaf dan belajar lama di Mekah, kiai ini menurut dugaan Gus Dur tak ubahnya seperti kiai-kiai pesantren umumnya, yang pandangan fikihnya pasti kaku banget. Singkat cerita, kiai Zainal yang diduga “kolot” itu hadir di forum penataran mubaligh dan khatib. Ketika terjadi diskusi pelik prihal penyelenggaraan zakat apakah perlu dikembangkan lebih maju pada aspek menejerial dan sasarannya, seperti zakat gaji, honorarium dan sebagainya?

Umumnya mazhab fikih yang ada hanya menetapkan sasaran zakat untuk keuntungan berdagang, hasil panenan tanaman utama (padi dan sebagainya), harta benda tetap, dan logam mulia emas perak. Lainnya tidak terkena zakat.

Lalu bagaimana mungkin gaji tetap, honorarium dan upah dikenakan zakat? Belum lagi diskusinya juga meluas ke tata kelola zakat yang harus profesional dan terorganisasi, pembelanjaannya yang tidak melulu konsumtif, tapi bisa dalam ragam bentuk seperti pinjaman, pelatihan, beasiswa dan bentuk lain yan tak lazim dalam fikih. Apakah hal itu tidak menyalahi hukum Islam? Begitu kira-kira narasi kegentingan yang terjadi kala itu.

Namun, kiai Zainal tidak memilih jalur keumuman kiai yang hadir saat itu ketika menyoal inovasi zakat seperti yang terkisah dari tulisan  Gus Dur. Tanggapanya di luar dugaan, kiai ini justeru punya cara pandang sendiri.

Katanya, kalau dulu di zaman rasul orang tak berzakat ada sanksinya, karena yang diterapkan perundang-undangan Islam secara total, sehingga tidak perlu ada pegawai untuk mengurusi zakat atau kelengkapan administratif lain. Kesejateraan setiap rakyat sudah dalam tanggungan negara, jadi tidak perlu upaya mencari dana untuk menggelar pelatihan, pinjaman modal atau subsidi lain.

Lantas, kiai Zainal menegaskan, lain dulu dengan sekarang. Indonesia ini bukan negara Islam. Jadi, misalnya ada sebagian warga yang kesulitan menyalurkan zakatnya, apakah ngak perlu tuh ada tenaga atau panitia zakat yang bisa membantu?

Belum lagi pertimbangan ekonomi umat muslim yang masih lemah seperti sekarang. Haruskah zakat itu hanya dirupakan barang-barang konsumtif yang tak berdampak lama. Bukankah masih banyak bentuk-bentuk yang lebih produktif dari itu. Begitu arah gagasan Gus Dur mendudukkan persoalan fikih dengan gayanya, fikih zakat harus update sesuai konteks zaman dengan menggunakan logika tokoh yang diciptakan, kiai Zainal.

Penulis sebagai pembaca menduga sosok Kiai  Zainal itu imajiner. Apa yang menjadi pokok ide di dalamnya lebih mewakili ijtihad Gus Dur untuk menawarkan cara pandang baru dalam berislam yang memang identik dengan dirinya sebagai tokoh intelektual muda progresif Nahdlatul Ulama (NU) saat itu.

Kalaupun kiai Zainal di tulisan itu nyata, paling tidak sosok yang tidak umum dengan arus ke-kiai-an waktu itu bisa menjadi profil yang tepat di era sekarang, karena kejernihan pikir dan akal sehat memang sedang dibutuhkan untuk menyelesaikan banyak persoalan umat.

Pertalian antara gagasan Gus Dur tadi dan upaya birokratisasi zakat oleh pemerintah era Joko Widodo melalui Kementerian Agama terletak pada pentingnya argumentasi yang memahamkan publik. Niat pemerintah baik ketika terdapat unsur kemaslahatan umum sebagai tujuan kebijakan zakat dimaksud.

Namun, ketika kebijakan ini yang hanya menyasar ASN saja, kesan yang muncul justru pemerintah abai dalam mendudukkan keadilan dan kesejahteraan yang setara bagi kelompok ini di antara umat muslim atau warganegara Indonesia secara umum. Bisa jadi pemaknaanya adalah upaya sepihak yang berkedok agama, atau kebijakan represif ala birokrasi yang hanya menyasar kelas bawah.

Pertimbangan tingkat kesejahteraan ASN juga baik apabila dijadikan pertimbangan kebijakan yang diwacanakan itu. Selama ini negara hanya mampu mendudukkan golongan profesi ini sebagai kelas menengah dengan banyak tuntutan kinerja dan profesionalitas lain. Belum lagi beban-beban potongan biaya lain seperti pajak, asuransi kesehatan, tunjangan purna tugas dan seterusnya yang dibebankan pada gaji bulanan.

Tentu, kebijakan penyamarataan kewajiban zakat malah menambah beban ekonomi bagi ASN golongan bawah. Dengan demikan kewajiban zakat yang diregulasikan hanya akan menjadi alasan untuk “memaksa” orang taat beragama, tapi tidak bisa memberi ruang dialektik yang bisa memupuk semangat sosial beragama bagi pemeluknya.

Apa yang diupayakan pemerintah sekarang untuk mendongkrak pemerataan ekonomi umat melalui dana zakat merupakan ikhtiar yang niscaya. Namun, dalam kondisi rendahnya kepercayaan rakyat terhadap transparansi birokrasi, kebijakan tentang zakat bagi ASN perlu dirumuskan dengan hati-hati.

Badan Zakat Nasional yang diberi amanat mengelola dana yang bersumber dari umat muslim harus mendapat pengawasan yang ketat. Jangan sampai dijumpai prihal yang tak diharapkan di kemudian hari seperti kasus Dana Abadi Umat (DAU) yang jauh dari  transparansi dalam pengelolaan, pelaporan dan pengawasan, sehingga dana zakat yang terkumpul rawan diselewengkan atau salah sasaran. Jangan sampai umat pupus harapan gara-gara itu. []

fikrimuz
fikrimuz
Pemerhati dan Pengamat Ide, Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya dan Alumni Mambaus Sholihin Gresik
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.