Informasi mengejutkan sekaligus membahagiakan guru honorer dan sarjana sebelum bahkan sesudah pemilihan kepada daerah (pikada) ramai diberitakan semua media, cetak maupun online tentang perekrutan calon pegawai negeri silip (CPNS) melalui tes.
Hal ini timbul banyak spekulasi dari berbagai kalangan, salah satunya dari organisasi yang terhimpun di dalamnya ada mahasiswa dan pemuda, mereka menamakan diri Solidaritas Pemuda Nusantara (SPN) di Yogyakata, yang ikut membahasnya, mengingat pemberitan dari Kedaulatan Rakyat (KR) edisi sabtu 28/04/2018 dengan angel “Mendikbud: Butuh Waktu Tujuh Tahun” dalam berita tersebut, Muhadjir Efendi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan tidak ada lagi guru honorer sebab peraturan pemerintah (PP) 48 Tahun 2005 jelas melarang pengangkatan honorer.
Mekanisme perekrutan CPNS yang dituangkan dalam undang-undang harus diakui oleh pemerintah bahwa honorer masih terkesan dilupakan, bagaimana tidak, sejauh ini pembahasan terkait perekrutan tenaga guru honorer menjadi calon pewagai negeri sipil (CPNS) sampai hari ini belum memberikan angin segar, hal ini dibenarkan sejak bulan mei kepada Media Indonesia, kamis, 03/05/2018, “Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) Asman Abnur memastikan tidak ada lagi pengangkatan langsung tenaga honorer di pemerintahan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)”.
Hadirmya regulasi dan mekanisme pengangkatan tenaga honorer tidak indahkan oleh pemerintah, terbukti dengan membengkaknya jumlah nonorer, melalui CNN Indonesia, Jakarta. Senin, 04/06/2018 memberitakan “Muhadjir menyatakan jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Menurut dia, banyaknya jumlah tenaga guru honorer disebabkan oleh kurangnya tenaga pengajar berstatus PNS di Indonesia. Saat ini, Indonesia kekurangan guru berstatus PNS sebanyak 988.133 orang”.
Terlepas dari klasifikasi tentang honorer yang masuk dalam golong kategori satu (K1) dan kategori dua (K2) maupun pegawai kontrak yang dibiaya oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang di atur melalui peraturan menteri (permen), peraturan pemerintah (PP) maupun Undang-Undang (UU) terhitung sejak tanggal ditentukan sampai seterusnya, ada hal penting yang menjadi catatan buat pemerintah yaitu pesan kemanusiaan dengan mempertimbangakan banyak alasan, pertama, meningkatkatnya jumlah penganguran berstatus sarjana.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat sekitar 8,8% dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan datangnya Revolusi Industri 4.0 (Pikiran Rakyat, 26/03/2018).
Kedua, masih di tahun yang sama, tahun 2018 juga menjadi trending topic tentang masuknya tenaga kerja asing (TKA), melihat sisi lain dari TKA ini bukan dari peraturan dan perundang-undang yang telah mengatur mekanisme masuknya TKA ke Indonesia tapi dampaknya kemudian membuat beberapa pihak menghawatir dari hal ini.
Ketiga, persaingan kerja yang semakin tekat, menginat hal ini. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menilai tenaga kerja Indonesia sulit untuk bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kondisi ini karena pendidikan di Indonesia belum relevan dengan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam profesi (Republika.Co.Id, 03/05/ 2016).
Di Indonesia masalah ketenagakerjaan ini sangat kompeks, melihat segelumit masalah yang dihadapi dari internal maupun ekternal, berkaitain dengan kejelasan status sebagai nonorer sampai soal pembiayaan yang menjadi masalah mendasar.
Akhirnya honorer berdinamika dalam ruang demokrasi karena itu honorer membuat organisasi, berhimpun, mendiskusikan kemudian penyelesaian dengan pemerintah sebagai titik simpul yang bisa menjawab setiap persoalan, contohnya dengan memperhatikan Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat (1) huruf a, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh pengahasialan di atas kebutuhan hidup minimum dan kesejateraan sosial” arti redaksi bahasa dalam uu tersebut tidak membatasi mana guru nonorer maupun pegawai negeri sipil (pns).
Artinya dari rangkaian fakta pemberitaan dan pengamatan kita dapat berkesimpulan, bahwa sebagai warga Negara yang patuh dan taat terhadap Negara kita harus menjunjung tinggi regulasi, tetapi pesan moral dan kemanuasian harus menjadi prioritas dalam memberikan sebuah keputusan.
Ada pun pemerintah dalam sudah berkosentrasi tentang tenagakerja di Indonesia khususnya tenaga honorer perlu diapresiasi semua pihak tetapi perlu menjadi catatan jika undang-undang masih tidak berpihak mempertimbangakan pada pesan moral dan kemanusiaan maka undang-undang perlu ditinjau kembali.