Sabtu, April 20, 2024

Gundala dan Aktivisme Sosial

Althien Pesurnay
Althien Pesurnay
Pengarang dan tukang survei buku

Film Gundala telah mencapai satu juta penonton sejak penayangan perdananya tanggal 29 agustus kemarin. Butuh hanya sepekan untuk menembus angka itu. Gundala sebagai film perdana membuka jalan ke “jagat semesta” Bumilangit.

Gundala menjadi pertanda kemunculan kembali para super hero asli nusantara di industri layar lebar. Film ini memberi kesegaran baru penikmat film tanah air yang biasanya gersang karya bagus. Studio bumi-langit menawarkan narasi-narasi dan pahlawan berkekuatan super dengan rasa lokal. Mengikuti jejak Marvel dan DC dengan cerita sukses menarik penonton nasional dan internasional.

Penonton film biasanya datang dengan niatan beragam. Sebagian penonton yang kritis datang tidak hanya bermaksud mengonsumsi film sebagai produk hiburan, tapi mencari pesan.

Film tidak dapat dipandang hanya sebagai objek hiburan semata. Film sebagai sebuah karya seni idealnya membawa sesuatu yang tersirat. Saya pribadi pergi ke bioskop dengan kerinduan akan makna dan arti. Selain itu dorongan lain sebab ada kepercayaan bahwa film yang dibuat sutradara beken sudah tentu bagus. Apalagi film ini disutradarai oleh seorang Joko Anwar.

Saya menonton Gundala dengan keyakinan bahwa sang sutradara menyelipkan sesuatu. Saya pribadi meskipun sering sinis dengan perfilman indonesia, kali ini harus angkat topi dan memberi hormat.

Terlepas dari kekurangan teknis dan efek visual, adalah suatu hal yang wajar membanding-bandingkan kualitas visual film ini dengan seri Avenger. Namun kekurangan itu dibayar lunas dengan percakapan-percakapan menarik, kritis dan “quotable”. Kualitas dialog yang baik yang bisa disejajarkan dengan film Bumi Manusia yang beruntung karena menyerap isi dari karya besar om Pram.

Visualisasi dari aksi dan laga silat hanya bersifat dekoratif. Narasi dan wacana sosial lah yang menjadi kekuatan film ini. Gundala menarasikan pesan-pesan kemanusiaan. Sancaka sebagai tokoh dalam film ini digambarkan sebagai “wong cilik”.

Seorang yatim-piatu, anak dari buruh perusahaan yang suram dan hidup dalam kerasnya hidup. Pengalaman yang tidak dialami penonton yang beruntung lahir dari keluarga borjuis dan kelas tengah.

Sancaka adalah gambaran kehidupan pahit kelas buruh. Masyarakat yang paling tidak dintungkan dalam struktur industrial-kapitalistik. Sancaka terjebak, terpasung dan sulit keluar dari struktur tersebut.

Dia tinggal tetap dalam kelas sosial yang sama dengan orang tuanya. Sancaka hidup dengan kenyataan betapa sulitnya seorang anak dari kelas pekerja untuk menjadi sukses dan kaya raya seperti yang diidamkan banyak orang. Sulit untuk “memanjat” naik ke kelas sosial yang lebih tinggi.

Janji-janji bahwa kerja-keras akan membawa kesejahteraan dan kemakmuran hanyalah isapan jempol, dan muslihat. Gambaran kehidupan sancaka adalah potret realitas sosial. Gambaran masyarakat indonesia yang hidup kondisi stagnasi dan cenderung mundur dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan, kebaikan publik.

Kita hidup dalam struktur sosial eksploitatif yang memaksa kita berkompetisi satu dengan yang lain. Tidak sulit menemukan keadaan ini, perhatikan saja kehidupan di kantor, kampus, pabrik, lingkungan anda berada.

Kompetisi menjadi satu-satunya kosa kata. Akibat dari kondisi dan struktur itulah kebanyakan kita menjadi egoistik, serakah, atau apatis dan suka cari aman. Masyarakat kehilangan solidaritas. Kehidupan secara dominan diisi dengan semangat mengalahkan yang lain. Hidup dengan insting untuk bertahan (survival). Kondisi ini sering mendorong kita pada pilihan “terkam atau diterkam”. Kita cenderung menjadi musuh (serigala) bagi sesama.

Sancaka dalam film Gundala pun bertumbuh melewati fase-fase itu. Sancaka sempat menjadi pribadi yang apatis dan hanya memikirkan keselamatannya sendiri. Sancaka menghindari keterlibatannya dengan kejahatan di sekitarnya. Bahkan saat Sancaka berani menghadapi kelaliman hanyalah karena keterdesakan semata.

Penyebab keterlibatannya membela para “pedagang pasar” bukan merupakan motifnya sendiri. Dia tergerak sebab kejahatan sudah mendekati kehidupan privatnya, di saat tetangganya terancam dipersekusi oleh preman. Kejadian itu lantas mematangkan intensi dan kehendaknya. Sancaka lalu sampai pada kesadaran baru bahwa melawan ketidakadilan adalah tugas dan tanggungjawab dia.

Sancaka menjadi Gundala berarti seorang individu telah menjadi manusia yang berkeutamaan moral. Perubahan paradigmatik berasal dari perasaan dan intuisi yang jernih. Kemurnian suara hati mentranformasi keputusan dan tindakan manusia. Sebagai seorang yang sebelumnya lebih cenderung egoistik dalam arti mencari selamat sendiri, apatis dan menghindari keterlibatannya dengan masalah sosial telah berubah secara total. Sancaka lahir kembali menjadi manusia baru yang sejati, peduli dan berani terlibat berkonfrontasi dengan masalah-masalah sosial.

Film Gundala membawa pesan reflektif tentang kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Sancaka sebagai cerminan individu, warga, rakyat biasa ada dalam status mampu (able and possible) bertransformasi menjadi manusia baru yang peduli dan tegap berani berjuang bagi kebenaran dan keadilan.

Fase sancaka menjadi Gundala adalah gambaran pencapaian tertinggi individu dalam realitas sosialnya. Fase ini penulis sebut sebagai fase aktivisme. Fase dimana individu mau peduli dan aktif memperjuangkan hak-hak dan kebebasan warga negara yang tertindas. Fase dimana tiap individu ikut menyelamatkan sesama manusia yang dilanggar dan dihilangkan hak-hak dasarnya.

Musuh utama masyarakat kita yang sebenarnya adalah keserakahan, monopoli, eksploitasi, represi dan berbagai bentuk penindasan lainnya. Kejahatan extra-ordinary yang selalu dibungkus dengan jargon-jargon manis seperti pembangunan, kemajuan ekonomi, investasi, dsb. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah transaksi gelap kepentingan, perselingkuhan antar elit, rezim penguasa dan korporat. Hukum dibuat mandul bahkan menguntungkan yang kuat.

Perumusan, penerapan kebijakan bias kekuasaan. Keadaan tersebut melahirkan ketidakadilan yang masif dan cilaka bagi masyarakat kecil. Lalu masyarakat dibuat berkonflik secara horizontal. Dampak dari konflik menghilangkan kebebasan minoritas, marjinalisasi kelompok yang tidak disukai atau mereka dianggap pembangkang dan penghalang.

Marjinalisasi manusia dan eksploitasi alam adalah manifestasi tertinggi dari imoralitas dan kejahatan (evil). Pengkor dan jaringan mafia-nya adalah simbolisasi dari kejahatan (evil) itu. Pengkor dan komplotannya mencerminkan perilaku politik para oligark dan elit korporat. Lewat jaringan kuasa dan kapital yang dimiliki.

Pengkor bahkan memanipulasi kesadaran dan kepercayaan publik tentang “serum-amoral”. Pesan utama dari film Gundala bagi bangsa Indonesia di tahun 2019 yang sakit dan penuh gejolak sosial ini adalah membangkitkan kembali semangat aktivisme. Minimal tiap kita harus lebih kritis lagi dalam memahami isu sosial dan lalu menyuarakan kebenaran, keadilan dari telinga ke telinga, dari facebook, instagram, ke twitter dan berbagai platform sosial media lainnya.

Saya menutup dengan mengutip satu pepatah, “No one is free until everyone is free”-unknown. Mari kita suarakan kebebasan setiap kita.

Althien Pesurnay
Althien Pesurnay
Pengarang dan tukang survei buku
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.