Minggu, Agustus 17, 2025

Gong Belajar: Pengembangan Kapasitas Pelajar di Era Digital

Seran Sebho
Seran Sebho
Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Koordinator komunitas diskusi “Astria Initia” yang fokus pada isu sosial dan kebijakan publik.
- Advertisement -

Pendidikan selalu menjadi pilar utama dalam membangun masa depan bangsa. Di tengah beragam tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia, salah satu inisiatif yang menarik perhatian adalah program “Gong Belajar” yang pernah digagas oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Inisiatif ini merepresentasikan sebuah gerakan moral yang bertujuan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya belajar di kalangan pelajar, serta mendorong keterlibatan aktif dari orang tua, pendidik, dan komunitas. Sampai saat ini, meski telah lebih dari satu dekade sejak program ini diperkenalkan, prinsip-prinsip yang dibawanya masih relevan dan memiliki makna yang signifikan.

Namun, zaman telah berubah. Tantangan dan cara belajar pelajar hari ini tidak lagi sama. Maka, muncul pertanyaan: bagaimana kita bisa menghidupkan kembali semangat “Gong Belajar” di era digital?

Mewarisi Semangat, Memperbarui Metode

Secara sederhana, Gong Belajar adalah ajakan terstruktur agar siswa memiliki jam belajar rutin di rumah, yakni pada pukul 17.00–19.00, yang dikawal oleh orang tua dan tokoh masyarakat. Semangat ini lahir dari kepedulian terhadap rendahnya mutu pendidikan di beberapa daerah, khususnya di NTT.

Di masa itu, pemerintah menggulirkan upaya agar anak-anak tetap terlibat dalam proses belajar meski di luar jam sekolah, dengan keyakinan bahwa cara ini dapat mendorong peningkatan prestasi akademik sekaligus menanamkan disiplin dalam kebiasaan belajar mereka. Ide ini menjadi menarik karena melihat pendidikan sebagai tanggung jawab kolektif, bukan semata tugas lembaga sekolah, tetapi juga peran penting dari keluarga dan masyarakat.

Namun, pelaksanaan program ini di berbagai wilayah menghadapi sejumlah tantangan. Tidak semua keluarga memiliki waktu luang, pemahaman pendidikan, maupun lingkungan yang mendukung kegiatan belajar di sore hari. Dalam praktiknya, Gong Belajar kerap hanya menjadi simbol, berupa suara gong atau imbauan semata, tanpa adanya sistem pemantauan yang jelas. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa keberhasilan program ini sangat dipengaruhi oleh keterlibatan masyarakat dan konsistensi peran pendampingan dari sekolah serta aparat desa. Di sinilah pembaruan konsep sangat diperlukan.

Digitalisasi sebagai Solusi dan Kesempatan

Di era digital saat ini, pembelajaran tidak lagi terbatas pada ruang kelas dan jam sekolah. Internet, gawai, dan platform digital telah membuka peluang besar bagi pembelajaran mandiri dan terstruktur di luar sekolah. Digitalisasi bukan sekadar pergantian perangkat, melainkan pergeseran pola pikir.

Jika sebelumnya siswa diharapkan duduk tenang sambil membaca buku di meja belajar di rumah, kini mereka dapat menjelajahi ribuan sumber belajar melalui aplikasi, mengikuti kuis-kuis interaktif, atau berdiskusi bersama rekan secara daring. Dalam konteks ini, Gong Belajar bisa disesuaikan menjadi sebuah sistem belajar digital yang adaptif. Alih-alih membunyikan gong secara fisik, siswa bisa mendapatkan notifikasi otomatis pada pukul 17.00 pengingat belajar dari aplikasi atau sistem terintegrasi sekolah. Waktu belajar kini dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas secara digital, membaca buku elektronik, menyimak video pembelajaran, atau berpartisipasi dalam sesi diskusi daring.

Lebih dari itu, keterlibatan orang tua yang menjadi kunci dalam Gong Belajar konvensional juga bisa diadaptasi secara digital. Kehadiran fitur seperti kontrol orang tua, laporan otomatis, dan platform pemantauan belajar memungkinkan orang tua tetap terlibat aktif meskipun tidak selalu hadir secara fisik. Pihak sekolah pun dapat menyediakan dasbor pembelajaran yang dapat diakses orang tua secara langsung, menampilkan perkembangan, hambatan, serta keberhasilan anak mereka.

Membentuk Ekosistem Belajar yang Kolaboratif

Kunci utama keberhasilan digitalisasi Gong Belajar terletak pada pembentukan ekosistem belajar yang kolaboratif. Sekolah tidak cukup hanya memberikan tugas dan jam belajar. Harus ada sistem dukungan, seperti pelatihan literasi digital bagi guru dan orang tua, konten belajar yang relevan dan menarik, serta penghargaan digital seperti lencana, sertifikat, atau leaderboard yang bisa membangun motivasi intrinsik siswa.

Berbagai aplikasi digital, seperti Google Classroom, Quipper, serta grup diskusi di WhatsApp dan Telegram, bisa dimanfaatkan sebagai sarana penghubung untuk memperlancar komunikasi dan koordinasi antara guru, siswa, dan orang tua. Guru dapat mengatur materi belajar sore, orang tua memantau pelaksanaan, dan siswa melaporkan kegiatan belajarnya. Semua langkah ini bisa dilakukan dengan mudah, sebab pada dasarnya teknologi hadir untuk mempermudah kehidupan, bukan menambah kerumitan.

- Advertisement -

Namun, tentu saja digitalisasi ini harus memperhatikan kesenjangan akses. Tidak semua siswa memiliki perangkat atau jaringan internet stabil. Di sinilah peran pemerintah sangat vital menyediakan dukungan infrastruktur, subsidi kuota, dan pusat-pusat belajar berbasis komunitas dengan akses internet gratis sebagai bagian dari kebijakan pendidikan inklusif.

Mengajak Semua Pihak Bergerak

Gong Belajar versi digital bukan sekadar perubahan alat, melainkan perubahan paradigma. Pernyataan ini merupakan seruan untuk merefleksikan kembali kontribusi setiap elemen dalam mendukung pendidikan anak. Peran dalam dunia pendidikan terbagi secara kolaboratif, guru menjadi pembimbing proses belajar, orang tua mendampingi dari rumah, masyarakat berperan sebagai pengawas lingkungan, sementara pemerintah bertugas memastikan sistem pendidikan berjalan dengan baik dan berkelanjutan.Tidak ada yang ditinggalkan. Semuanya memiliki bagian untuk mendorong anak-anak Indonesia menjadi pembelajar seumur hidup, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan dunia digital.

Penutup

Mewujudkan Gong Belajar digital adalah peluang untuk menyatukan nilai-nilai tradisi dan kemajuan teknologi. Kita tidak perlu meninggalkan semangat gotong royong, kedekatan keluarga, dan kepedulian sosial yang menjadi ciri khas pendidikan Indonesia. Kita hanya perlu membungkusnya ulang dalam bentuk yang lebih sesuai dengan zaman, yaitu efisien, adaptif, dan berbasis teknologi. Sudah waktunya kita “membunyikan gong” itu lagi. Kali ini lewat gawai yang dimiliki siswa sebagai penanda bahwa kegiatan belajar belum usai, dan masa depan tetap bisa diarahkan dan dibentuk bersama.

Seran Sebho
Seran Sebho
Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Koordinator komunitas diskusi “Astria Initia” yang fokus pada isu sosial dan kebijakan publik.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.