Jumat, April 26, 2024

Gombal Ideologi: Coelho, Revolusi, dan Pilkada

Di arena kurusetra politik, panji-panji kemuliaan apa yang menjadi dalil kelayakan seorang individu atau kelompok dalam meraih kekuasaan? Apakah naluri tajam alamiahnya sebagai zoon politicon yang inheren sejak kelahiran atau pandangan ideologis yang sudah ‘menubuh’ dalam keseharian untuk mati-matian diperjuangkan?

Secara mafhum kita amini betapa disparitas ekstrem dan ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi adalah pretext dari sebuah konflik. Peperangan dari yang das sollen dengan das sein. Secara maklum kita juga pahami bahwa manusia butuh sebuah pegangan, cara hidup, bahkan pelepas rasa getir (pain killer) dari pola hubungan tata hidup sosial yang tak mungkin dinafikan dalam realita. Namun kontra narasi yang tebal dengan bumbu kecemasan dan rasa takut berlebihan muncul di sudut yang lain. Peliknya, sebagian besar kita percaya bahwa ‘ideologi’ itu tak pernah mati.

“Shut up. SAVAK is dead, and the Iranian people will rally to support their country if you ever ask for another coup d’etat like the one orchestrated by CIA in 1953.”

Apa yang dicuitkan tanpa basa-basi oleh Paulo Coelho, si The Alchemist, kepada Reza Pahlavi saat riuh protes Iran kemarin adalah diskursus menyejarah yang melekat diantara kedua belah pihak—pro dan kontra pada sistem pemerintahan Iran—dalam klaim retorika politiknya masing-masing. Pewaris tahta rezim Shah Reza yang eksil beserta pendukungnya dianggap belum selesai dengan misi mengembalikan romansa era monarki (piye kabare, iseh penak jamanku to?).

Demonstrasi vandal yang terjadi telah disinyalir oleh Coelho dan para status quo dengan ingatan lama yang masih segar. SAVAK telah mati, tapi catatan keji Sazman-e Ethela’at va Amniyat Keshvar (Organisasi Informasi dan Keamanan Wilayah) yang lahir pada tahun 1957 lewat perbantuan CIA dan Mossad yang menangkap, menyiksa, dan menghabisi lawan politik Shah, baik dalam internal kalangan militer maupun sipil dan komunitas pers, masih membekas dalam sejarah.

Dr. Nasir Tamara, jurnalis kelahiran Telukbetung—satu diantara dua wartawan Asia—pernah berkesempatan meliput perjalanan pulang bersejarah Ayatollah Khomeini dari Paris ke Taheran di Januari 1979 yang kemudian dibukukan dengan tajuk ‘Revolusi Iran’. Di depan mata kepalanya perubahan drastis sedang berlangsung, bahwa monarki yang disokong militer dengan kekuatan terbesar kelima di dunia itu dapat digulingkan oleh rakyat tak bersenjata dibawah figur sentral seorang ulama.

Sebuah revolusi (selubung kontra-revolusi bagi anasir kelompok Marxist, Tudeh) puncak dari situasi perang dingin para intervensionis, Soviet versus Inggris-AS di tanah Persia, atas implikasi perebutan ladang minyak British Petroleum. Perubahan besar yang mengakomodasi aliansi politik lintas faksi dan ideologi. Namun lagi-lagi, sejarah politik seringkali menyisakan cerita murungnya sendiri: perpecahan antar kelompok yang melahirkan despotisme baru.

Sejak Mohammad Mosaddegh dijatuhkan dari kursi Perdana Menteri Iran atas peran Shah karena berani-beraninya menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company pada tahun 1953, aliansi-aliansi politik yang heterogen sudi mengendurkan perbedaan platform dan ideologinya masing-masing untuk menghadapi kekuasaan otoriter Shah sebagai musuh bersama. Prioritas jarak pendek.

Pengaruh revolusioner Soviet dan Liberalisme Barat sejak mula memang telah melahirkan perlawanan kelompok ekstrem kanan dan kiri yang terdiri dari kaum nasionalis (Front Nasional, FMI), ulama konservatif pimpinan Ayatollah Ghassem Kashani, mahasiswa, pedagang, buruh kilang minyak dan kelompok sosialis-komunis (Tudeh).

Semua berubah pasca Revolusi 1979. Golongan kiri dan nasionalis yang terlanjur menyematkan kredensial revolusi pada sosok Khomeini, memperoleh kenyataan bahwa bulan madu politik kaum agamis dan sekuler harus berakhir pada 1981di saat parlemen menyetujui undang-undang Qisas (retribusi). Front Nasional dan pendukungnya (sosialis-komunis dan sebagian FMI) yang berani menentang hukum dianggap telah murtad. Persekusi bereproduksi.

Begitulah adanya politik. Sejarahnya di belahan dunia lain mungkin tak persis sama tapi serupa. Mistifikasi pada klaim ideologi selalu mencitrakan dirinya pada hal-hal yang grande, indah, menggugah, dan agung, tapi seringkali berupa teleologi selubung layaknya manifesto futuris Italia—yang  pada akhirnya, secara sadar atau tidak, telah menyokong motif politik fasis.

‘Isme-isme’ layaknya cagak perbatasan antar negara yang rapuh dan terbuka. Dapat dimasuki oleh siapapun dan unsur apa saja. Sel kapitalis dan sosialis dapat saling bersubstitusi pada prakteknya. Yang progresif bisa konservatif bila sudah berkuasa.

Ramalan utopis kaum Marxist pada sistem negara tanpa kelas akan terjadi setelah secara gradual manusia-manusia tersingkir dari supremasi alat produksi yang dilahirkan sistem kapitalis dan mesin-mesinnya. Tapi Marx lupa, kekuasaan politik, siapapun ia, lumrahnya akan selalu mencari jalan konsolidasi, merawat status quo—dalam  konteks Iran, Shah merekayasa iklim ‘demokrasi’ dengan pembentukan dwi-partai, Mellioun yang pro pemerintah, dan Mardom, oposisi pura-pura.

Consent jadi prioritas, dibandingkan harus selalu bertumpu akhir pada aparatus represif. Ketika kesadaran tak terlibat secara aktif dalam lingkup ideologi, afirmasinya menjadi tak ada sesuatupun yang kemudian berada di luar ideologi. Semua yang dianggap objektif adalah serangkaian konstruksi dari proses subyektivasi dari individu menjadi agen sosial tertentu. Internalisasi diri ini terwujud dari apa yang disebut oleh Althusser dengan ‘interpelasi bahasa dan citra’, yang sangat erat relasinya dengan hegemoni kekuasaan.

Kini Pilkada dan Pemilu sudah di depan mata. Segala polarisasi dan kreatifitas maki-maki yang semakin sesak sejak Pilkada DKI 2012 tak hendak mengisyaratkan jeda sesaat. Isu SARA yang seolah menemukan resep finalnya, seperti kembali ingin dijajakan lagi pada kontestasi elektoral selanjutnya.

Parta-partai bisa berbaju apa saja dengan padanan warna-warni yang mencolok mata. Sebut saja partai nasionalis, partai Islam, partai religius-nasionalis, partai progresif, atau partai nasionalis-religius-Islami-progresif. Ambil semua. Tetapi karena hanya berupa fashion, tidaklah heran jika hari ini telah terjadi koalisi diantara ‘partai pembela penista agama’ dengan ‘partai religius’, ‘partai aseng’ dengan ‘partai anti-asing’ di beberapa daerah dengan bumbu gosip mahar politik. Rona politik aliran berdefinisi politik populis dan pragmatis.

Pandangan narsistik yang takjub pada cermin ideologi (sebagai representasi imajiner), artinya meminta refleksi  kesadaran untuk menelanjangi narasi-narasi besar yang berseliweran di era hiperrealitas modern ini, mengungkap selubung-selubung pengetahuan dan informasi, serta upaya siuman dari penghiburan diri atas nostalgia yang mungkin tak pernah tercapai.

Yang terpenting adalah praksis nyata nan maksimal dalam mewujudkan segala kebaikan bagi publik, tidak hanya berkutat pada baku hantam logika ‘berpikir’ seperti kritik ala seorang filsuf terkenal di televisi. Tanggapi santai saja, anggap ini hanya sekadar kontes selera. Jangan sampai kita yang dibawah ini berkelahi tiada akhir sementara elit politiknya asyik bereuni sambil ngopi-ngopi.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.