Dari hasil hitungan cepat (Quick Count) diketahui pemilih yang tidak memilih calon presiden pada pilpres tahun 2019 ini ada sekitar 20%. Jika dibandingkan dengan hasil pilpres 2014 yang jumlah golput 30%, maka pemilu kali ini bisa disebut “kemenangan atas Golput”.
Golput pilpres 2019 betul-betul disorot kali ini. Persaingan yang ketat antara pendukung masing capres mengakibatkan selisih sedikit suara saja bisa merubah keadaan. Sehingga yang menunjukan gejala golput langsung dikecam.
Kecaman terkeras datang dari pendukung Jokowi. Dan yang dikecam karena golput juga memang lebih banyak dari kubu Jokowi, terutama yang kritis, yang kemaren tahun 2014 mendukung Jokowi tapi sekarang menjadi ragu dan ingin golput.
Sebetulnya golput ada dari dua kubu. Tetapi kubu Prabowo memang lebih militant. Apa pun penyebab mereka ragu, maka dengan membulatkan tekad alasan golput disingkirkan. Pendukung Prabowo menganggap pilpres kali ini seperti masalah hidup mati, pilpres rasa perang.
Jika perang maka alasan apa pun bisa diabaikan. Yang penting tujuan kemenangan tercapai. Sehingga apa pun caranya akan dilakukan, seperti berbohong atau menyebarkan kebencian. Kubu Jokowi difitnah dengan framing sebagai rejim yang memusuhi Islam, sebagai kubu yang mendukung PKI dan turunannya. Jokowi juga dituduh pro asing dan aseng yang kenyataannya semua masih normal.
Sebetulnya sama juga dengan kubu Jokowi. Pilpres kali ini juga dianggap sangat penting. Kubu Prabowo dianggap menunggangi dan ditunggangi kelompok Islam radikal dan pendukung Khilafah yang membenci demokrasi dan Pancasila. Meskipun Prabowo berulang kali membantah soal Khilafah dan dia mengaku sangat Pancasilais, tetap orang tidak percaya. Karena memang pendukung Islam militannya sangat terlihat ketika demo-demo di lapangan.
Hebatnya pendukung Jokowi yang ingin golput, ternyata lebih peduli soal keadilan dan masalah kemanusiaan. Suara golput ini mulai muncul ketika Jokowi memilih Ma’aruf Amin sebagai cawapresnya dibandingkan Mahfud MD mantan ketua MK yang lebih moderat. Ma’aruf Amin (MA) adalah ketua MUI ketika masalah video penghinaan agama Ahok mencuat di masyarakat. Bisa dibilang MA termasuk aktor utama yang menyebabkan Ahok dipenjara.
Masalah kedua adalah masalah Abu Bakar Baasyir yang hendak dibebaskan oleh Jokowi dan kemudian batal. Masalah ketiga adalah masalah pembebasan bersyarat pembunuh wartawan di Bali, ini juga kemudian dibatalkan. Kemudian juga ada masalah ditahannya seorang wanita keturunan karena protes kerasnya suara adzan di Medan. Ditambah keberhasilan kampanye kubu Prabowo yang mendegradasi kesuksesasn kerja Jokowi.
Bagi sebagian golput, perlawanan mereka lebih karena menginginkan sistem perpolitikan di Indonesia berubah. Menjadi golput adalah suatu pernyataan hukuman kepada para politikus Indonesia. Tetapi entah bagaimana itu merupakan hukuman jika yang paling merasakan dampaknya hanya satu kubu, dalam hal ini kubu Jokowi.
Bagi pendukung inti Jokowi, Jokowi seorang sudah cukup untuk merubah Indonesia. Meskipun Jokowi bukan elit partai, dan partai-partai berusaha mengendalikan presiden, tetapi Jokowi selama ini cukup kuat berjalan pada prinsip-prinsip pribadinya yang positif. Hal itu yang membuat pembangunan infrastruktur dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan terus bergerak. Dan pelan-pelan budaya politik Indonesia berubah meskipun tidak dramatis.
Suara golput dari kubu Jokowi di sosial media lebih nyaring daripada golput dari kubu Prabowo. Itu yang menyebabkan penentangan suara golput juga nyaring dari pendukung Jokowi. Romo Franz Magnis Suseno sampai mengecam golput dengan keras melalui tulisannya.
“.. Anda memilih untuk tidak memilih atau golput, maaf, hanya ada tiga kemungkinan: Anda bodoh, ‘just stupid’; atau Anda berwatak benalu, kurang sedap; atau Anda secara mental tidak stabil, Anda seorang ‘psycho-freak’, tulis Romo, Kompas 12 Maret 2019.
Romo menganggap pilpres ini sangat penting, sangat menentukan nasib bangsa dan negara.
“.. hasil pemilu legislatif dan pilpres pada tanggal 17 April nanti akan krusial bagi masa depan bangsa dan negara.
Alasannya tidak dibahas mendalam, bahkan terkesan klise.
“Sekali lagi, kita tak memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang terburuk berkuasa. Dalam suatu demokrasi kita wajib memberikan bagian kita.”, tulis Romo dalam penutupnya.
Meskipun romo kelihatannya berbicara netral dengan menyebut kedua pendukung kubu, kita tahu sebetulnya siapa sasaran dari tulisan itu. Seperti diketahui dari hasil survey, minoritas di Indonesia mendukung Jokowi. Dikuatirkan jika golput terjadi besar-besaran maka dukungan minoritas ini yang akan tergerus banyak karena melihat alasan-alasan terjadinya golput di atas.
Kekuatiran wajah Indonesia menjadi “terlalu” Islam kelihatannya yang menjadi alasan membuat golput pilpres 2019 menjadi lebih sedikit dari yang diperkirakan. Bahkan di Bali suara Jokowi begitu besar meskipun ada ajakan golput berkaitan dengan kasus reklamasi teluk Benoa di Bali.
Jika perbedaan penggunaan identitas agama kedua kubu Jokowi dan Prabowo tidak terlalu terlihat, mungkin Golput juga akan besar seperti tahun 2014.