Jumat, Maret 29, 2024

Golput? Saya Pilih Menormalisasi Individualitas

skrsrwjy
skrsrwjy
suka makan sayur dan buah.

April 2019, tidak sedang baik-baik saja. Seluruh sudut negara ini seakan bertanya, kamu golput kan? Kamu masih berdiri untuk nomor 01 bukan? Hey, aku tahu keluargamu loyalis 02, kamu juga kan? Saya tidak bingung menjawab tapi saya bingung melihat ekspresi mereka sesaat pasca saya menjawab. Seakan saya dianggap gila dan tidak masuk akal. Sebagian besar dari mereka marah. Lalu saya mencoba melempar candaan untuk meredam amarah dan mereka semakin marah.

Sejujurnya, saya tidak pernah diam atau dalam kata lain saya aktif mempersiapkan diri untuk menghadapi kekecewaan dan kekecewaan. Saya merangkai argument, premis demi premis. Ada metode riset ketat yang saya lakukan jauh-jauh hari. Bahkan, saya menyempatkan diri membaca biografi calon presiden.

Totalitas tanpa batas sebab saya benci menyesali keputusan saya. Namun, semua formula rasanya tidak ada yang mampu memuaskan semua orang. Hanya sepuluh persen mungkin yang menghargai pendapat saya, selebihnya melakukan apa yang saya ceritakan di paragraph sebelumnya. Sial betul!

Menjadi Lebih Buruk dari Negara

Dalam titik ini saya sadar betul bahwa fase sebelum 16 Desember 1966 atau lebih tepatnya sebelum disahkannya Kovenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) merupakan fase yang mengerikan. Perang dingin antara kekuatan negara blok Sosialis melawan negara blok Kapitalis pasti lebih menyebalkan daripada fase prapemilu.

ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi Negara-Negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun didalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus.

Sementara ada kelompok hak lain yang masuk dalam jenis jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara.  Salah satu diantaranya hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tilisan).

Namun, apakah kita rela jika hak kita dikurangi oleh negara? Pasti tidak! Lantas mengapa kita begitu memaksakan kehendak kalian, hingga tidak menghargai sikap ekspresi politik orang lain? Bukankah itu berarti kalian sedang menjadi lebih buruh dari negara itu sendiri?

Belajar Menormalisasi Individualitas

Soal menghargai pilihan orang lain, saya akan membawa pemuda berusia 20 tahun untuk menampar kalian. Namanya Gus Dapperton, yang mempopulerkan istilah normalizing individuality atau menormalisasi individualitas. Dia dengan ujurannya yang terkenal, “jadilah dirimu sendiri, baik dalam penyimpangan atau kepatuhan dan bahkan ketika tidak pernah setuju.”

Hal tersebut diungkapkan Dapperton melihat generasi muda begitu pesimis dalam menanggapi hidup, padahal ada banyak hal yang bisa dirayakan dan menjadi optimis. Hal yang paling sederhana adalah individualitas. Tidak harus melulu mengikuti zaman dengan trend pop yang komunal, tetapi menghargai keunikan meski mereka secara performatif mengekspresikan bagian aneh dari kepribadian mereka. Dengan demikian budaya pop sendiri semakin beragam dan kaya.

Menormalisasi individualitas sepertinya penting kembali untuk kita lakukan hari ini dalam momen menjelang pemilu. Ketika semua analisis sedang membagi masyarakat menjadi kelompok dengan format tertentu. Misalnya jika anda golput maka akan dilabeli barisan patah hati dari kelompok 01. Sementara jika anda pendukung 01 maka dilabeli kaum pragmantis liberal. Sementara pendukung 02 dengan label pendukung khilafah atau hal lainnya. Hal tersebut sekedar membuat segregasi sosial semakin menganga. Ruang gesekan semakin memanas dan yang paling jahanam adalah mempersempit ruang berekspresi. Bukan negara yang akan melarang kita berekspresi tapi kita akan saling melarang individu lain untuk mengekspresikan pendapatnya.

Saya berharap kalimat barusan tidak menggunakan kata ganti kita. Sederana saja, saya tidak ingin terlibat dalam gerbong-gerbong yang dilabeli. Lantas, ikut berkelahi dengan amarah yang tidak pernah padam meski disiram dengan ribuan kubik fakta. Mematikan nalar demi menyerang pilihan orang lain dan lupa cara menghargai pilihan politik orang lain.

Akhir dari tulisan ini saya dedikasikan untuk pesan layanan sosial bahwa 17 April 2019 bukan sekedar Pemilihan Presiden. Ada pemilihan legislative, baik untuk DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten jadi jangan semata mengikuti harus. Apapun pilihanmu, kamu harus menjadi dirimu sendiri, dan pastikan kamu tidak akan menyesali pilihanmu karena telat mendapatkan informasi.

Masih ada waktu dan selalu ada waktu untuk menormalisasi individualitasmu!

skrsrwjy
skrsrwjy
suka makan sayur dan buah.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.