Jumat, April 19, 2024

Golput Juga Bagian Demokrasi

Rayhanasyrafi
Rayhanasyrafi
Mahasiswa ilmu komunikasi

Ada dua paslon yang akan meramaikan pesta demokrasi lima tahunan kita sebentar lagi. Namun, jika dilihat lagi tidak hanya ada dua kubu yang vokal dalam menyuarakan pilihan politiknya. Ada tiga kubu yang vokal dalam bersuara. Tidak hanya dari kubu kedua paslon, namun juga mereka dari kubu golput (golongan putih) yang mana memilih untuk tidak memilih dalam pesta demokrasi ini.

Golput sendiri bukan suatu gerakan baru. Pemilu 1971 adalah pemilu pertama pada era orde baru kala gerakan ini muncul. Gerakan ini juga dikenal sebagai lawan dari golongan karya yang sangat dominan pada era orde baru.

Gejalanya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Mulai dari kasus Brexit, kemenangan Trump dan pemilu di Brazil. Semuanya dianggap sebagai sumbangsih dari gerakan golput yang meluweskan pergerakan sayap kanan. Alasannya pun beragam. Mulai dari rasa tidak puas dari opsi pilihan yang ada hingga prefrensi pribadi pemilih.

Di Indonesia, tahun ini gerakan ini makin meluas dan terorganisir. Di twitter muncul account @sayagolput2019 sebagai sebuah tanda bahwa gerakan ini tidak hanya menjadi gerakan yang hanya menjadi omongan belaka. Namun diorganisir dan dijalankan sebagai sebab dari kondisi politik Indonesia saat ini.

Di tengah meluasnya gerakan ini, para elit politik dan orang – orang terkemuka lainnya (biasanya secara langsung maupun tidak terafiliasi dengan pihak – pihak politik) menyuarakan suaranya terhadap golput. Dengan berbagai alasan, mereka menyuarakan sikap kontra mereka terhadap golput ini.

Terakhir, yang menarik perhatian masyarakat luas adalah pendapat rohaniawan katolik dan budayawan, Franz Magnis Suseno. Salah satu opininya mengenai golput di harian kompas menarik perhatian karena apa yang disampaikan oleh Franz sangat vokal dan vulgar. Hal ini tidak seperti kebiasaan dari Romo Magniz. Pro kontra pun bermunculan di masyarakat.

Yang paling menjadi pembicaraan adalah ketika Romo Magniz mengatakan bahwa orang yang golput adalah orang memiliki mental yang tidak stabil atau secara jelas Romo menyebut mereka sebagai psycho-freak. Hal ini jelas bukan hal yang wajar ketika seorang rohaniawan dengan latar belakang intelektual mengecap suatu golongan sebagai orang psycho-freak atau gila.

Padahal sebelumnya, romo Magniz lebih dikenal dengan pendapatnya terhadap golput, “pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang buruk berkuasa”. Menurut saya hal itu lebih sopan dan menarik untuk ditelaah sebagai bahan opini terhadap golput dibanding harus mengecap golongan lain sebagai orang gila.

Karena, sewajarnya suasana yang memanas ketika mendekati pemilu ini janganlah semakin diperpanas dengan pendapat macam ini. Ditambah, orang yang menyampaikannya adalah seorang rohaniawan. Jika memang harus berpendapat untuk mempengaruhi pilihan seseorang, lakukanlah secara bijak sesuai kapasitasnya sebagai rohaniawan.

Memang, pada opini tersebut beliau sudah menjelaskan di awal bahwa ia ingin menyampaikan pendapatnya secara jelas, tidak dengan santun, adem – ayem, ataupun baik – baik. Tapi mencap orang bodoh, berwatak benalu, ataupun gila tetap bukan pilihan yang bijak dari seorang rohaniawan.

Lagipula, golput sendiri bukanlah suatu hasil dari sikap benalu seperti yang Romo maksud. Romo menganggap bahwa golput hidup atas usaha Bersama masyarakat, tetapi tak mau menyumbang sesuatu. Ia berkata “Kita dengan susah payah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia, tetapi Anda “tak peduli politik”. Betul – betul tak sedap!”.

Saya orang yang sepenuhnya tidak setuju terhadap pendapat Romo tersebut. Justru golput yang muncul pada pemilu ini bukanlah hasil ketidakpedulian politik. Mereka adalah orang yang sadar terhadap politik dan tau bagaimana kebobrokan kondisi politik kita saat ini. Bentuk perlawanan sebagai golput terhadap keadaan saat ini adalah bentuk kebebasan berpendapat yang sepenuhnya diamini oleh demokrasi.

Golput bukanlah tidak peduli. Justru golput adalah sikap kepedulian dengan perwujudan sikap berusaha melawan keadaan yang ada. Golput tidak mencederai demokrasi. Golput masuk pada kebebasan berpendapat yang dilindungi demokrasi itu sendiri.

Lagipula, gerakan golput bukanlah gerakan untuk tidak benar – benar memilih. Gerakan ini sekarang bersuara untuk tetap pergi ke TPS dan merusak surat suaranya agar kertas mereka tidak disalahgunakan. Hal – hal semacam ini tentu bisa dimasukkan sebagai bentuk kepedulian mereka dan perlawanan mereka dalam gerakan golput itu sendiri.

Sebagai seorang orang dengan latar belakang intelektual, Romo menyampaikan opininya cenderung secara emosi. Pendapatnya dilandasi dasar – dasar yang tidak menggugah. Menyajikan data secara lebih banyak dan dibarengi alasan yang lebih logis serta santun rasanya akan lebih bijak bagi Romo.

Dan juga, Romo mengatakan bahwa golput adalah hasil yang dipengaruhi rasa kecewa. Dan pilihan itu bukanlah pilihan yang baik. Namun, jika dipikir kembali opini Romo pun muncul karena kekecewaan beliau terhadap golput juga kan? Apa bedanya kekecewaan golput dan romo?

Tapi rasanya buah kekecewaan golput terhadap kondisi politik saat ini lebih baik. Mereka memilih kebebasan mereka untuk melawan dan menghukum para elit politik secara moral, dibanding harus menyuarakan pendapat pribadi secara tidak santun dan emosional. (rna)

Rayhanasyrafi
Rayhanasyrafi
Mahasiswa ilmu komunikasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.