Jumat, April 26, 2024

Golan dan Babak Baru Ketegangan Timur Tengah

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Redaktur sastraarab.com

Lagi-lagi Donald Trump datang membawa “kejutan” baru bagi masyarakat internasional, terlebih bagi peta politik Timur Tengah terkait dengan pengakuan resminya terhadap Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah kedaulatan Israel pada Senin (25/3) kemarin. Kejutan ini jelas menuai banyak kecaman dari berbagai negara, termasuk juga Indonesia. Langkah yang diambil Trump sudah menciderai hukum internasional sebagaimana telah ditetapkan dalam resolusi Dewan Keamanan PBB.

Kendali Israel atas Dataran Tinggi Golan bermula dari Perang Emam Hari 1967 yang dilancarkan koalisi Arab untuk menumpas negara Yahudi tersebut dan menciptakan perdamaian bagi negara-negara Arab. Tapi yang terjadi sebaliknya, koalisi Arab yang dipimpin oleh Mesir dengan pemimpin besarnya, Gamal Abdel Nasser justru harus menderita kekalahan yang sangat memalukan.

Kerugian besar dialami oleh pasukan koalisi hingga batas-batas teritorial mereka berhasil dicaplok oleh Israel, salah satunya adalah Dataran Tinggi Golan yang merupakan wilayah kedaulatan Suriah.

Pada tahun 1973, koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah kembali menyerang Israel. Perang ini dikenal dengan Yom Kippur, karena dilakukan secara mendadak tepat pada saat perayaan hari raya paling agung umat Yahudi. Akhir perang ini mengantarkan keberhasilan Mesir merebut kembali Semenanjung Sinai meskipun harus dibayar dengan kerugian besar sementara Suriah gagal total merebut kembali Dataran Tinggi Golan dari cengkraman Israel.

Pada tahun 1981, Israel meresmikan tata kelola hukum yang diberlakukan di Dataran Tinggi Golan untuk menegaskan secara yuridis bahwa kawasan dengan 34 permukiman yang dihuni puluhan ribu warga Yahudi tersebut benar-benar berada dalam pangkuan kedaulatannya.

Israel sama sekali bergeming meskipun keputusan itu tidak mendapatkan pengakuan dunia karena jelas-jelas melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan penarikan pasukan bersenjata Israel dari wilayah konflik di beberapa perbatasan dengan mengupayakan penyelesaian melalui jalur diplomasi.

Beberapa kali upaya pemulihan Dataran Tinggi Golan dilakukan melalui negosiasi kedua negara, tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil. Dan semenjak Suriah menghadapi gejolak perang saudara pada tahun 2011 untuk menumbangkan presiden Bashar Al-Assad, upaya-upaya pemulihan kembali Dataran Tinggi Golan menjadi terhambat.

Babak Baru Ketegangan(?)

Dataran Tinggi Golan memang sangat strategis, baik secara geografis maupun politis. Karena dari ketinggian kawasan itu Israel bisa menjangkau pergerakan Damaskus melalui pengamatan militer. Sehingga Israel bisa terus mengikuti perkembangan situasi yang sedang terjadi di negara tetangganya tanpa perlu menerobos batas-batas kedaulatan lebih jauh. Alasan ini sudah cukup membuat Israel tetap bersikukuh untuk menguasai wilayah ini sebagai dalih menjaga stabilitas kepentingan regionalnya.

Sementara itu sebagaimana dilansir melalui salah satu surat kabar di Damaskus, Al-Watan, puluhan ribu warga Suriah melakukan aksi massa di berbagai kota dan provinsi mengutuk klaim presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mengakui wilayah sengketa tanah Golan sebagai bagian dari otoritas Israel. Mereka menuntut Israel untuk mengembalikan tanah tersebut atau harus direbut kembali dengan cara militer. Bagi Suriah, arti perdamaian adalah Israel harus menyerahkan kembali Dataran Tinggi Golan. Jika tidak, jelas perdamaian tidak akan bisa diwujudkan.

Menarik apa yang dikemukakan oleh Khalil Jahshan, dari Arab Center Washington DC yang menuturkan kepada Middle East Eye saat ditanya perihal situasi yang tengah bergejolak ini “The message to people out there, in the region particularly, and worldwide: If you have military power, and you have US support, go ahead and occupy other people’s land by force”.

Kekecewaan ini memang cukup beralasan mengingat dampak yang akan ditimbulkan dari gejolak ini tentu akan sangat signifikan. Dan publik bisa menilai bahwa Amerika Serikat tengah menyiapkan episode baru ketegangan di Timur Tengah dengan eskalasi yang lebih tinggi karena akan turut menyeret Rusia dan Iran ke dalam pusara ini.

Kalau dilihat lagi ke belakang, sebenarnya pengakuan Trump perihal tanah Golan bukan hal yang amat mengejutkan. Mengingat jauh sebelumnya, relokasi Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerussalem bisa dibilang sebagai kunci awal mula permainan penting yang tengah dipersiapkan Trump dan para sekutunya untuk mengubah peta politik Timur Tengah.

Terlebih, saat ini merupakan masa-masa sulit bagi Trump karena sedang menghadapi persoalan hukum yang terus didengungkan oleh Partai Demokrat terkait dugaan kolusi dengan Rusia pada pemilu 2016 lalu. Kuat dugaan bahwa salah satu motif di balik pengakuan Trump perihal Golan untuk mengalihkan perhatian dunia sekaligus sebagai kado “pertemanan” untuk Benjamin Netanyahu yang akan mengikuti perhelatan pemilu pada 9 April mendatang.

Di balik itu semua, nasib Tepi Barat dan Jalur Gaza sejatinya sedang dipertaruhkan. Bisa jadi kedua kawasan sengketa itu sedang dalam “proses” menuju episode dramatik selanjutnya. Mari kita tunggu bersama. Wallahua’lam.

Musyfiqur Rahman
Musyfiqur Rahman
Mahasiswa Pascasarjana Kosentrasi Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan alumnus Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Redaktur sastraarab.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.