Jumat, April 26, 2024

Gibran, Dinasti Politik, dan Kaderisasi Parpol

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Akhir-akhir ini media sosial kita seperti twitter, instagram, facebook dan whatsApp ramai memperbincangkan topik Gibran dalam dekapan dinasti politik. Seolah perbincangan Gibran ini mengalahkan perhatian kita semua terhadap pandemi covid-19 dan kasus seputar Djoko Cjandra yang juga santer dibicarakan.

Gibran akhir-akhir ini menjadi buah bibir di hampir semua lapisan masyarakat karena keinginannya untuk maju sebagai calon dan yang juga telah direkomendasikan oleh partai PDI-P pada Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo.  Sebagian pihak menilai Gibran terlalu ngotot untuk maju sebagai calon karena ada semacam logika aji mumpung yang hendak dimanfaatkan.

Namun terlepas dari analisis yang berseliweran di ruang publik dan media sosial itu, sebetulnya bagi saya ada beberapa poin yang menarik untuk dibahas. Pertama, apakah pencalonan Gibran merupakan bagian dari dinasti politik? Kedua, apakah kaderisasi partai sejauh ini masih relevan dengan konsep dasar yang diusung partai yakni mendorong kaderisasi yang berwatak pada pijakan loyalitas kader, atau malah menyeret kader pada bentuk lain dari politik yakni pragmatisme?

Alih-alih, kader malah didepak keluar dari gelanggang karena kehadiran figur tertentu yang dalam banyak bentuk dibentengi oleh figur lain. Ketiga, bagaimana sebetulnya ruang demokrasi berhadap-hadapan dengan watak politik semacam ini? Jangan-jangan demokrasi kita (Indonesia) justru bergerak liar tanpa kendali dan justru demokrasi mengalami apa yang oleh (Slater; 2004) katakan sebagai demokrasi Indonesia menderita apa yang disebut dengan jebakan pertanggung jawaban.

Di sinilah saya kira diskusi kita akan lebih menarik untuk diperdebatkan bukan hanya sebatas dinasti politik, namun bergeser lebih subtansial lagi yakni kaderisasi dalam internal partai dan watak demokrasi dimasa depan.

Dinasti Politik

Keputusan Gibran untuk maju dalam Pilkada Solo tidak terlepas dari pro dan kontra yang menyelimutinya. Kehadiran Gibran dalam pentas politik lokal (Solo) pada prinsipnya harus dilihat, ditelaah dan dikritisi dari beragam aspek. Pertama, menurut saya pencalonan Gibran akan memberikan warna baru bagi pentas politik lokal dimana kehadiran Gibran merepresentasikan figur milenial yang menurut saya beberapa pilkada dan pemilu belakangan kehadiran milenial di panggung politik nasional dan lokal masih kurang.

Kedua, sementara pada sisi yang lain pencalonan Gibran semakin memperlihatkan adanya watak dinasti politik yang sebenarnya sedang dibangun. Dalam konteks ini, dinasti politik itu akan memunculkan karakter yang semakin arogan, dimana secara tidak langsung ada peminggiran terhadap hak politik kader partai yang mesti didorong oleh partai. Tetapi justru partai terpikat pada pilihan diluar dari kader partai yang juga punya hak politik yang sama. Dalam kaitanya dengan itu, meminjam ungkapan Marx, ketika ada dua hak, maka kekuatanlah yang menjadi penentunya.

Sampai disini saya sepakat dengan Marx, bahwa memang betul kader partai dalam hal ini Achmad Purnomo dan Gibran memiliki hak politik yang kuat untuk maju dalam Pilkada Solo. Namun apa daya kekuatanlah yang menopang Gibran untuk maju sedangkan Purnomo secara tidak langsung didepak keluar dari gelanggang akibat dari lemahnya kekuatan yang dibangun menuju pada pencalonan wali kota Solo.

Pada kasus Gibran peminggiran kader partai menemukan watak arogansinya. Kehadiran dan rekomendasi partai PDI-P pada Gibran, menurut saya dengan sendirinya telah semakin memperlihatkan watak lain dari implikasi dinasti politik yang hari-hari ini sedang dibangun oleh Gibran. Pada titik ini sebetulnya, dinasti politik secara tidak langsung telah mengetengahkan suatu cara berpolitik yang tidak sehat yang berdampak buruk pada demokrasi.

Bahkan demokrasi yang seharusnya menghadirkan alternatif bagi rakyat dalam Pilkada justru dilemahkan dihadapan dinasti politik. Hal ini semakin menunjukan betapa demokrasi kita telah terkontaminasi dalam ikatan kepentingan kelompok tertentu yang kita sebut dengan oligark. Saya menduga bahwa dalam pencalonan Gibran sebenarnya kekuatan oligarki akan semakin mengukuhkan dirinya lewat pencalonan tunggal dan pada sisi lain memberedel kekuatan masyarakat sipil (civil society) untuk berkiprah dalam panggung politik.

Lebih jauh justru implikasi dari dinasti politik yang ditampilkan melalui Gibran hari ini semakin menguatkan ungkapan James. C. Scott (1993), ada pihak yang menang dan pihak yang dikalahkan. Persis disinilah sebetulnya kita memandang lebih jauh  siapa yang menjadi pemenang dan dikalahkan itu. Bahkan dari sini sebenarnya semakin memperlihatkan partai politik menunjukan sikap pragmatis yang justru semakin melemahkan ikatan kader pada partai.

Kaderisasi Untuk Apa?

Di sisi yang lain, partai politik gagal menempatkan kaderisasi partai sebagai suatu yang amat penting dan subtansial dalam politik. Malah partai makin menunjukan sikap partai yang pragmatis dan berorientasi pada kepentingan partai. Hal ini tidak saja membuat partai semakin terdegradasi, tetapi menimbulkan ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap kaderisasi partai.

Dalam kondisi demikian hampir pasti partai telah merenggut kepercayaan publik atasnya serta menguatkan ikatan masyarakat sipil dalam memandang partai hanya sebatas kendaraan politik. Justru disinilah partai telah menjauh dari amanat reformasi yang salah satu poinnya yakni mendorong keterlibatan partai untuk memperjuangkan nasib rakyat dan membangun tatanan politik yang sehat dan beradab.

Pada bagian lain dari pencalonan Gibran, sebenarnya yang paling mendasar yakni mempertanyakan sejauh mana kaderisasi partai selama ini dibentuk dan dibangun dalam internal partai. Bahkan tidak hanya itu, pada pencalonan Gibran kita melihat dukungan partai hampir semuanya (kecuali PKS) telah membentuk apa yang disebut sebagai koalisi turah, dimana koalisi semacam ini cenderung untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.(Ambardi: 2009)

Pada akhirnya, yang dibutuhkan hari ini yakni penguatan masyarakat sipil dengan mendorong partisipasi dan keterlibatan mereka dalam ruang politik. Selama masyarakat sipil terpinggirkan dari arena politik, selama itu pula sebetulnya politik hanya dihuni oleh kelompok yang memburu rente demi kepentingan diri mereka sendiri.

Pada bagian ini, yang diharapkan tidak hanya kekuatan masyarakat sipil, namun reformasi partai politik sangat diperlukan. Reformasi partai mesti harus didorong, sehingga partai tidak terjebak pada sikap yang pragmatis, cenderung menjadi satu ikatan kelompok. Namun, mendorong partai lebih inklusif agar partai semakin memproposalkan agenda kepentingan rakyat atau konstituen.

Bukan malah mengukuhkan agenda kepentingan para oligark yang jelas-jelas akan membuat demokrasi dikuasai dan dikebiri demi kepentingan mereka. Sampai disini, sebetulnya baik dinasti politik dan kaderisasi parpol harus kita kritisi agar kedepan ruang politik tidak melahirkan ketimpangan yang semakin parah yang terselubung dalam tubuh demokrasi.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.