Rabu, Oktober 16, 2024

Gibran Kena Bully, Gibran Menjadi

Yesaya Sihombing
Yesaya Sihombing
Esais, Pemerhati masalah sosial budaya keagamaan

Masalah perundungan (bullying) masih terjadi di mana-mana, di berbagai bidang. Perundungan dapat menimpa siapa saja. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa, bahkan juga lansia. Ada yang dibully karena fisiknya, ada pula karena masalah garis keturunannya, ada juga karena masalah keyakinannya. Masih banyak juga sih hal-hal lain yang membuat seseorang dibully.

Salah satu contoh figur yang lumayan sering kena bully adalah Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Joko Widodo. Ia adalah calon walikota Solo, yang diusung PDI Perjuangan. Berani-beraninya orang membully seorang anak presiden. Eh.

Bagi pembaca budiman sekalian, izinkan saya mengingatkan bahwa Mas Gibran pernah menjadi korban verbal bullying menjelang Pilpres 2014 yang lalu. Saat mendampingi ayahnya yang akan dilantik sebagai Presiden RI di gedung MPR/DPR RI, 20 Oktober 2014, Gibran memberi pernyataan di hadapan para wartawan,

“Saya bukan pengangguran. Saya punya kerjaan. Kalau saya ikut Bapak terus, berarti saya pengangguran. Saya kan kerja, saya sempat dikatain anak haram karena tak pernah ikut kampanye. Kalian (wartawan) lihat aktivitas saya sendiri, kalau saya sibuk karena kerjaan. Ini biar jelas, wong saya punya pekerjaan. Kemarin ada media tak jelas nyebut saya anak haram. Saya kerja dari pagi sampai pagi lagi, jadi tak ada waktu buat ikut bapak saya terus.”

“Anak haram” disebut sebanyak dua kali. Itu menandakan penekanan khusus pada kata-kata tersebut. Situasi menjadi agak tegang waktu itu. Untunglah situasi dapat dicairkan oleh Pak Jokowi dengan tawa khasnya yang berat dan agak dipaksakan.

Siapa sih yang mau dikatain sebagai anak haram? Tentu tidak ada. Jadi, tentu saja kita dapat memaklumi sikap songong Gibran waktu itu. Tak heran, di kesempatan-kesempatan selanjutnya Gibran dikenal sebagai sosok yang dingin, bicara seadanya, pelit senyum, dann apolitis.

Ya, selepas kejadian itu, anak muda ini tidak tertarik pada politik sama sekali. Tahun 2015, selepas menikah dengan Selvi Ananda, ia tetap keukeuh menolak segala hal yang berbau politik. Tahun 2016, dalam wawancara dengan Najwa Shihab, Gibran masih memiliki sikap yang sama. Pun demikian setelah ia memiliki seorang putra, Jan Ethes, ia tak berubah.

Tahun 2017, ia menegaskan, “saya jualan martabak saja..”. Ya, tak cuma martabak, ia juga merintis usaha kuliner lain. Sebut saja jasa one-stop wedding Chili Pari, Pasta Buntel, Goola, Mangkok Ku, Kemripik, Ngedrink, dan Madhang Indonesia. Di luar itu, Gibran turut serta dalam pengembangan game buatan anak bangsa.

Berlanjut di tahun 2018, saat wartawan menanyakan kemungkinan Gibran terjun di dunia politik, ayah dari Jan Ethes ini menyampaikan bahwa ia ingin fokus di dunia bisnis saja, terinspirasi dari sang ayah.

Walau demikian, di tahun 2019, publik dikejutkan oleh perubahan sikap dari mas Gibran. Berbekal hasil survey yang menunjukkan popularitasnya yang tinggi di Solo, kakak Kaesang Pangarep ini memutuskan untuk berkontestasi dalam pemilihan walikota Solo. Bukan hanya publik yang terkejut. Internal PDI-P cabang Solo pun terkejut, karena mereka sudah kebacut memilih pasangan lain untuk pilwalkot tersebut.

Singkat cerita, 17 Juli 2020 lalu, DPP PDI-P akhirnya memutuskan untuk memilih Gibran dan Teguh Prakosa sebagai calon walikota dan wakil walikota Solo. Bahkan, bila tak ada aral melintang pasangan ini dapat menjadi calon tunggal dalam kontestasi pemilihan walikota Solo. Luar biasa, bukan?

Setelah memilih jalur politik dan ditetapkan menjadi cawalkot Solo, verbal bullying terhadap anak muda ini ternyata semakin masif. Utamanya dari mereka yang masih mengingat kata-kata Gibran tentang “tidak akan terjun ke dunia politik”.

Biasanya, korban bullying akan menghadapi beragam dampak serius akibat perundungan yang dialami. Contohnya, para korban akan mendapat masalah psikologis yang membuat mereka depresi dan mengalami gangguan kecemasan. Para korban menjadi asosial, susah bergaul dengan sesamanya, dingin, bersikap defensif. Ya, mirip-miriplah dengan sosok mas Gibran saat meladeni para wartawan di tahun 2014.

Namun beragam perundungan itu tenyata tak menyurutkan optimisme anak muda ini. Bahkan ia semakin termotivasi untuk sukses. Keberhasilan-keberhasilan Gibran mengembangkan sayap di dunia bisnis membuktikan mental tangguh seorang anak muda, walau hampir tiap hari ia menerima sindiran dan cemoohan di medsos. Ia tak bergeming, terus melesat. Bahkan ia juga memutuskan terjun ke dunia politik yang kalkulasinya tak sepasti hitungan untung rugi matematika bisnis.

Saya yakin, Jokowi sendiri tak menyangka bahwa putra

sulungnya akan meneruskan jejaknya. Bukan hanya jejak bisnis, tapi juga jejak di dunia politik. Bila Jokowi menjadi walikota Solo di umur 44 tahun, maka jika nantinya terpilih, Gibran akan menjadi walikota di umur 33 tahun! Satu lagi, Gibran mewarisi mental sang ayah, semakin dibully, semakin menjadi.

Membully Gibran sama saja dengan memberi bahan bakar untuk anak muda ini semakin memijar dan menyala.

Ah, semoga saja nantinya kalau sudah berkuasa Gibran tak gantian ‘membully’ masyarakat, dengan kebijakan-kebijakannya. Wong kekuasaan itu bisa mengubah siapa saja, bahkan seorang Presiden, yang dulu sangat menentang politik dinasti.

Yesaya Sihombing
Yesaya Sihombing
Esais, Pemerhati masalah sosial budaya keagamaan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.