Cerita tentang sebuah lembaga pendidikan sekolah dasar di tempat terpencil yang sangat minim tenaga pendidiknya, jumlah pendidik dalam satu sekolah dasar bisa dihitung dengan jari satu tangan saja.
Di sekolah dasar itu yang dari hari ke hari ada di sekolah hanya dua orang tenaga pendidik. Tiga tenaga pendidik yang lain berstatus sebagai ASN yang tinggal jauh di kota, hingga mereka bertiga datang hanya kisaran satu bulan sekali.
Ketika datang entah memberi pengajaran yang maksimal atau hanya sekedar hadir untuk formalitas saja juga tak tahu. Hingga berdampak kepada pengajaran yang boro-boro maksimal, anak didik bertatap muka saja dengan tenaga pendidik sudah disyukuri.
Tak bisa berharap banyak, apalagi mau berbusa-busa dengan memaksakan sederet teori yang sudah dilahap sekian tahun di bangku kuliah.
Cerita getir realitas pendidikan seperti tadi biasanya kita dengar dari orang tua atau bahkan mbah-mbah kita. Kalau tidak, cerita seperti tadi kita dengar di panggung-panggung teater jalanan, juga lingkaran-lingkaran para aktivis kampus yang sedang cari-cari alasan untuk melatih mental bicara lantang di jalan raya. Oiya, satu lagi mugkin, bisa kita lihat dari Film Laskar Pelangi yang diangkat dari novelis muda Andrea Hirata.
Saya sendiri adalah orang yang lahir dan besar di kota yang sampai sekarang masih disebut-sebut sebagai kota pelajar. Dimana pendidikan lumayan merata sampai desa-desa. Dan kalau ngomong soal perguruan tinggi tinggal pilih, ada ratusan perguruan tinggi yang nongkrong di kota ini. Ya, tepat sekali Yogyakarta. Artinya saya sendiri tentu lebih banyak mendengar, daripada mengalami atau melihat cerita getir pendidikan seperti di atas tadi dari kota pelajar ini.
Namun satu ketika saya harus misuh, bukan karena jengkel dengan biaya kampus di Jogja makin mahal. Namun karena ada teman yang sedang menjalani program bina kawasan mengajar ke pelosok Sulawesi, tepatnya di toli-toli yang di prakarsai oleh Kemenag pusat, dan ia bercerita kalau ternyata di tempat ia mengajar, masih ada getir realitas pendidikan yang biasanya hanya saya dengar dari teater-teater jalanan yang bagi saya apakah ada benar atau tidak masih bertanya-tanya.
Tentu misuh saya sangat bisa dipertanggungjawabkan. Kenapa?, karena hari ini orang di kota-kota sudah bicara soal jaringan 5G yang sebentar lagi akan bisa di akses, soal bagaimana merintis startup yang bisa bersaing di luasnya pasar online, soal jasa apa yang belum di tawarkan oleh GoJek, walaupun sepertinya hampir semua produk jasa sudah di borong GoJek, dan pembicaraan lain seputar produk yang dihasilkan oleh dunia baru, yang dimana empunya adalah mbah google.
Bagaimana nggak misuh kalau dikota sudah bicara ngalor-ngidul seperti itu, lha ini kok masih ada anak bangsa yang merasakan kegetiran karena ketiadaannya kebutuhan dasar dari pendidikan. Kalau boleh agak kasar, saya katakan bahkan itu sangat ngenes.
Tapi apa daya saya ini, sebagai mahasiswa yang belum kelar tak banyak yang bisa saya lakukan. Ya itu tadi, yang paling pertama ya misuh. Lalu kalau kebetulan pas lagi dalam kondisi mod yang bagus, ya jadilah curhatan dalam bentuk tulisan yang sangat terbatas seperti ini.
Teriring doa semoga tulisan singkat ini dibaca oleh para kontestan perang hastag yang sekarang sedang ramai menghiasi setiap hari di lini masa media sosial dan juga tranding topik twitter agar bisa mendapat perhatian massa dan bisa menang pertarungan 2019.
Kalau di pikir agak dalam, khususnya dalam konteks pendidikan seharusnya persoalan seperti ini sudah tak ada lagi di atas bumi Indonesia. Karena hal yang getir tadi adalah persoalan kebutuhan dasar pendidikan. Apalagi kasus tadi adalah di sekolah dasar yang seharusnya kebutuhan dasarnya sudah dipenuhi oleh pihak terkait, dalam hal ini Pemerintah.
Kalau mau lebih mendasar lagi, dalam amanat sila kelima Pancasila mengamanatkan untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adil dalam hal ini bisa diartikan merata minimal kebutuhan dasar pendidikannya sampai ke pelosok Indonesia.
Dan kenapa ada kata minimal kebutuhan dasar, karena dengan segala kekurangan yang ada dalam sistem pembiayaan pendidikan, membawa saya untuk setuju dengan salah satu konsep keadilan sosial “negara memfasilitasi startnya, namun finish ditentukan oleh masing-masing individu atau kelompok”.
Di mana negara memberi hal yang bersifat kebutuhan dasar agar semua warga negara start di garis start yang sama. Tapi soal finish itu tergantung dari seberapa kuat komitmen, kesungguhan, dan takdir masing-masing individu atau kelompok. Bagi saya seperti itu fair lah dengan kurang lebihnya kondisi Indonesia saat ini.