Minggu, Oktober 6, 2024

Gerakan Sosial Baru Era Digital

Hendra Fokker
Hendra Fokker
Pegiat sosial yang suka jalan-jalan untuk berbagi dongeng kepada anak-anak dimana saja

Masalah sosial sejatinya berangkat dari berbagai faktor ketimpangan dalam wacana kesejahteraan antar manusia. Sebuah realitas yang berkembang pasca meletusnya Revolusi Industri di Eropa. Antara “si kaya” dengan “si miskin”, antara “si tuan” dengan “si hamba”, atau sekat-sekat sosial lainnya.

Era Marxis yang berpandangan bahwa bentuk kesenjangan kelas berasal dari faktor ekonomi, tentu tidak dapat dipungkiri wujudnya hingga kini. Semua aspek dinilai melalui mekanisme pasar. Dalam konteks ini masalah kesenjangan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik sosial di masyarakat.

Dapatlah kita lihat dengan kasus kelangkaan sembako yang kerap kali terjadi. Status sosial seringkali dijadikan “senjata” dalam mempengaruhi keinginan pasar. Tentu kalangan marginal tidak akan dengan mudah mendapatkan sembako yang dapat dikatakan “subsidi” atau murah.

Fenomena lainnya biasa terjadi pada lingkungan kesehatan. Keberpihakan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi berbagai macam tingkat “faskes” sesuai dengan status sosialnya. Jaminan atas kesehatan masyarakat adalah tanggungjawab pemerintah, walau nyatanya keberpihakan menjadi hal yang langka.

Semua proses menjadi rumit ketika antar individu dihadapkan dengan realitas pasar dalam locus status sosial. Konflik antar kelas atau status sosial pada era keterbukaan kerap dijadikan alasan untuk membuka celah konflik. Baik dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, ataupun kesehatan.

Saat ini, hal itu dapat dikatakan sebagai konflik kuno, yang berdasar atas orientasi keberpihakan semu kepada kelompok marginal. Ego keberpihakan kepada penguasa modal atau kelas sosial atas bukan hal tabu yang dapat selalu ditutup-tutupi. Dimana kelompok marginal selalu dirugikan dalam hal ini.

Seiring berkembangnya teknologi digital dan informas media massa yang semakin masif, tentu konflik antar kelas dapat dikatakan semakin terbuka. Tentunya dalam hal ini, peranan pemerintah sebagai penentu kebijakan publik dan media massa dapat dianalisis sebagai area private yang tidak dapat digugat.

Contohnya seperti kebijakan dalam sektor ekonomi, kebijakan yang pro masyarakat elite, mapan atau marginal dalam area sosial, atau kebijakan-kebijakan lainnya. Secara tidak sadar, dalam era digital, telah membawa kita untuk meng”amini” segala bentuk kebijakan, tanpa mampu memprotesnya.

Sekiranya ada enam aspek identifikasi yang dikemukakan oleh Rajni Kothari dalam jurnal “The Yawning Vacuum: A World Without Alternative”, yang paling utama adalah faktor pengikisan yang dilakukan oleh negara terhadap tatanan, keseimbangan, kesejahteraan dan keadilan dalam suatu civil society.

Pada realitas sosial, hal ini yang ditengarai sebagai latar belakang terjadinya konflik horizontal. Antara masyarakat sipil dengan petugas dalam penerapan sebuah kebijakan yang tidak populer. Atau dalam keputusan sepihak oknum-oknum pelaku kepentingan yang memanfaatkan situasi non kondusif.

Alhasil, konflik sosial berbasis teknologi semakin berkembang dan tidak terkendali. Dapat dikemukakan sebagai digital conflict era yang berangkat dari beragam bentuk konflik sosial. Para pelaku kepentingan selalu melihat celah yang memungkinkannya dapat bergerak untuk mempengaruhi wacana publik.

Biasanya, hal ini tidak hanya melibatkan seorang individu semata sebagai salah seorang pelaku, melainkan hingga kepada kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Kelompok yang dominan dan konsisten dalam menjaga wacana pada akhirnya dapat dikatakan sebagai pemenangnya.

Selanjutnya, pendekatan yang dikemukanan oleh Kothari adalah upaya gerakan alternatif yang dapat dipergunakan sebagai jalan tengah dalam mengurai konflik yang terjadi. Semisal melalui sikap-sikap netral yang lebih mengedepankan penyelesaian masalah daripada memperbesarnya.

Satu hal penting yang patut disadari dalam aspek budaya masyarakat Indonesia adalah adanya semangat berjuang, semangat pantang menyerah, dan tidak mau kalah. Sejak masa kolonial, semangat meraih kemerdekaan adalah bukti, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pejuang, demi masa depan yang lebih baik.

Apabila hendak melakukan suatu perubahan pada masyarakat, upaya pendekatan budaya adalah metode yang paling tepat untuk mendapatkan simpati. Sebelum mengarah pada uraian masalah dan upaya solutifnya. Komunikasi positif menjadi hal penting, untuk menjalin hubungan antar personal ataupun komunal.

Gerakan sosial baru di era digital ini tentu dapat menjadi alternatif gerakan sosial kekinian. Dalam wujud berbagai tindakan sosial positif, yang mampu mengurai konflik berlatar kesenjangan sosial. Walau semua mempunyai cost besar dan melibatkan peran media-media digital sebagai gerakannya.

Benturan antara yang pro dan kontra sudah semakin mempertebal jarak dalam setiap gerak sosial masyarakat. Terlebih ketika ada upaya pengkoordinasian gerakan non apresiatif dengan berbagai aksi protes-protes yang terjadi. Hal ini tentu saja kontraproduktif dan harus disikapi melalui berbagai analisa.

Semisal, memuncaknya konflik mengenai tanah dan lingkungan hidup, yang tengah marak saat ini. Dalam kasus ini, membangun kesadaran kolektif terhadap masyarakat dengan metode penyuluhan, mediasi, atau dialog, tentu tidak lagi dapat dipertahankan.

Membangun kesadaran melalui penyelesaian dan pendampingan masalah hingga ke skala mikro, selayaknya menjadi fokus utama untuk menyelesaikan suatu kasus. Tidak sekedar dijadikan objek penelitian, tanpa mampu menyelesaikan persoalan.

Tentu akan lebih humanis dan realistis apabila upaya transformasi itu dapat dipadukan dengan aksi yang dapat disebarluaskan melalui media digital. Maka, kesadaran kolektif yang terbangun dari rasa empati akan terbangun dalam skala makro di masyarakat.

Eksistensi media juga harus dijadikan upaya penyampaian yang lebih terbuka. Berangkat dari realitas, dan bermuara pada perubahan yang nyata. Gerakan kolektif tentu saja sangat penting untuk ketercapaian tujuan, seperti yang dikemukakan oleh Oman Sukmana dalam “Konsep dan Teori Gerakan Sosial”.

Skema gerakan sosial berbasis media bukan saja akan melahirkan kekuatan baru dalam transformasi informasi dan komunikasi yang masif antar kelompok sosial. Tetapi membangun rasa solidaritas yang kuat hingga mampu menjalin ikatan-ikatan persaudaran untuk sebuah perubahan.

Tidak sekedar dalam lingkup media digital, aktivitas sosialisasi bertajuk perubahan tentu bisa dieksplorasi melalui berbagai macam program berbasis digital. Dengan pendekatan humanis dan realistis serta emansipatoris bagi semua kalangan.

Khususnya untuk para pegiat sosial, aktivis, ataupun lembaga swadaya masyarakat lainnya. Era digital harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk tujuan gerakan sosial yang positif. Mengedepankan tujuan perubahan yang berkeadilan bagi masyarakat marginal.

Dalam pendekatan lain, public figure yang memiliki orientasi sama untuk perubahan sosial positif, sudah sepatutnya dapat dijadikan partner dalam bergerak. Hal ini, tentu saja secara tidak langsung akan dapat dengan mudah diterima masyarakat.

Setidaknya, keyakinan pada suatu tujuan perubahan menuju ke arah yang lebih baik untuk masyarakat marginal adalah sebuah keharusan dan menjadi tanggung jawab bersama.

Hendra Fokker
Hendra Fokker
Pegiat sosial yang suka jalan-jalan untuk berbagi dongeng kepada anak-anak dimana saja
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.