Jumat, April 26, 2024

Gerakan Sastra dan Lahirnya Lacikata

Mega Ayu Lestari
Mega Ayu Lestari
A passionate amateur naturalist who has a big crush in social, art, and environmental issues.

Dewasa ini, anggapan bahwa karya sastra hanyalah hasil khayalan pengarang semata perlu ditolak karena pada kenyataannya tidak sesederhana itu. Begitu pun anggapan bahwa karya sastra hanyalah tiruan dari kenyataan (Plato, Aristoteles), atau karya fiksi yang bergerak dalam sebuah dunia imajinatif (Wellek dan Warren, 1971).[1]

Dalam dua dekade terakhir abad ke-20, muncul paradigma baru pendekatan historisisme baru (new historicism) yang dipelopori oleh Stephen Greenblatt. Ia mendobrak kecenderungan kajian tekstual yang menurutnya bersifat ahistoris, dimana sastra dilihat sebagai wilayah estetis yang otonom; dipisahkan dari aspek-aspek diluar karya tersebut. Greenblatt menegaskan bahwa sastra adalah sebuah cara mengintensifkan dunia tunggal yang kita huni.[2]

Bagi saya, sastra merupakan suatu kenisbian dimana tersedia segala ruang estetis, romantis, populis, realis, maupun ismeisme lain di dalamnya. Sastra mengalir bebas, sampai ruh-nya berhasil menerabas bentang-pikir sang pencipta, termasuk penikmat sastra itu sendiri. Dengan medium kata; seperti yang ditulis oleh Subcomandante Marcos pada 12 Oktober 1965, kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri.

Demikian halnya sastra, ia berkembang sebagai sarana pengejawantahan manusia; termasuk pencarian hakikat hidupnya. Dapat diamati dalam novel Y. B. Mangunwijaya yang berjudul Burung-burung Manyar, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, dan Trilogi Roro Mendut, bahwa realitas berupa peristiwa sejarah digambarkan melalui karya tersebut. Realitas itu dapat berwujud realitas sosial masa kini ataupun peristiwa sejarah.[3]

Hal ini pun mendorong saya untuk mengingat kembali pernyataan Amartya Sen dalam bukunya; “Kekerasan dan Identitas”, dimana harapan utama bagi terwujudnya harmoni dunia terletak pada keberagaman, kemajemukan identitas kita. Nilai kemanusiaan menjadi ikut dipertanyakan dalam proses penciptaan, maupun hasil karya sastra karena sastra; bagaimanapun bentuk dan konteks yang melatarbelakanginya, mendapatkan posisinya ketika ia diletakkan dalam tatanan sosial.

Beberapa pengamat sastra mencatat bahwa di akhir dekade 1920-an, terjadi suatu arus pengaruh yang sangat kuat dari Barat; salah satunya adalah kelompok sastrawan dan intelektual muda usia yang “tergabung” dalam majalah Pujangga Baru. Majalah itu menawarkan berbagai konsep Barat untuk membongkar pemikiran bangsa kita yang dianggap sudah mulai mengalami kemacetan pada masa itu. Namun karena kuatnya tradisi lisan, bentuk seperti pantun dan syair masih menjadi pilihan penting.[4]

Tradisi lisan; dimana pun, adalah asal-muasal puisi modern. Bahkan dapat dikatakan, pada dasarnya puisi modern yang ditulis berdasarkan prinsip aksara, memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan prinsip lisan. Piranti puisi seperti rima, irama, pengulangan, aliterasi, asonansi, dan kesejajaran membuktikan bahwa puisi tulis dan cetak memang harus dilisankan untuk mendapatkan keindahan dan maknanya, meskipun kadang-kadang kita tidak perlu melisankannya secara keras; tetapi cukup dalam pikiran kita.[5]

Kebangkitan sastra; terutama puisi, ketika itu didukung oleh tumbuhnya penerbitan, salah satunya Balai Pustaka. Sempat diadakan pula “Perlumbaan Mengarang” yang diumumkan dalam Pedoman Pembaca di tahun 1937. Salah satu syarat terpenting bagi Balai Pustaka adalah yang pertama, yakni mengajar dengan cara yang menarik hati; …hanya apabila kesusahan-kesusahan yang dialamnya kita ketahui, maka isi buku itu baru mungkin meresap ke dalam sanubari kita, dan baru ada pengajaran yang dapat kita pungut daripadanya.[6]

Syarat “pengajaran” cukup menggugah nalar saya sebagai pribadi, dimana tak jarang saya temui, penulis-penulis Amerika Latin, Eropa, Asia; termasuk Indonesia, telah merasakan sendiri pengalaman intelektual dan emosional yang mampu membidani lahirnya setiap karya mereka, baik sebelum atau pasca-kemerdekaan; revolusi. Contohnya, Jose Rizal yang dikenang sebagai “bumiputera” tersohor dan kontroversial di negaranya; Filipina, lalu Fyodor Dostoyevsky, Luis Sepulveda, Maya Angelou, Gabriel Garcia Marquez, Ernest Douwes Dekker, Pramoedya Ananta Toer, dan lain-lain. Membaktikan diri pada sastra pun menjadi pilihan ketika banyak suara-suara, mosi tidak percaya, sekalipun aspirasi moral masyarakat ikut dibungkam.

Hysteria turut mengawali jejaknya sebagai komunitas sastra akar-rumput di Kota Semarang. Secara kolektif, ia telah memproduksi puluhan zine yang diberi nama Propaganda Hysteria, maka tak heran jika program yang disusun Hysteria kerap berdampingan dengan kampanye melek literasi. Karena ia hendak memfokuskan diri pada isu komunitas, nama-nama penyair yang pernah terlibat pun dihubungi dan dikumpulkan untuk membahas kelanjutan program sastra tersebut. Oleh karena itu, terbentuklah Lacikata yang secara resmi dibentuk pada tanggal 30 April 2011, setelah sebelumnya dipantik melalui program “Petik Puitika” pada 23 Januari 2011.

Lacikata pun akhirnya mendapat limpahan program, jejaring pegiat, maupun penikmat sastra yang telah dirintis selama bertahun-tahun oleh Hysteria. Disini pula kita akan menjumpai pengalaman hermeneutik; sebuah upaya untuk memahami pengalaman secara konkret dan historis, dalam arti menangkap makna atas teks dan konteks kehidupan penulisnya.[7]

Arief Fitra Kurniawan selaku Ketua Lacikata, mengatakan bahwa di dalam komunitas ini teman-teman saling mempengaruhi, baik dari segi minat, keterampilan, pengalaman tiap pribadi, maupun karakter dalam karya yang dihasilkan; terutama puisi dan esai. Sedangkan untuk tokoh; role model, yang biasa dijadikan inspirasi di Lacikata tidak melulu penyair ataupun novelis ternama.

“Tiap orang di Lacikata itu adalah tokoh-tokoh itu sendiri.” tutur Arief. Ia juga mengakui bahwa teman-teman merasa jenuh ketika acara sastra hanya diisi oleh selebrasi-selebrasi tanpa ada input pengetahuan dari para pesertanya. Hal demikian yang selanjutnya coba ditajamkan di Lacikata. Termasuk gagasan untuk membuat Temu Sastra Tiga Tahunan atau Triennale Sastra yang baru terwujud kedua kalinya pada akhir tahun 2011, dengan judul “Semarang Temu Penyair Muda” sebagai kelanjutan “Sastra Balik Desa”.

Kini, Lacikata memiliki program tersendiri dan mampu berjalan secara mandiri. Selanjutnya, Lacikata diharapkan mampu melibatkan entitas-sosial termasuk jejaring penulis untuk merawat tradisi keberagaman, baik dalam ranah pemikiran, dialektika, ataupun konteks karya yang diusungnya.

Ekosistem kebudayaan pun nantinya akan mencapai titik inklinasi seperti menggapai kebebasan. Sekalipun kebebasan adalah perihal yang intim bagi tiap pribadi, namun dengan menyadari keterbatasan manusia dalam menakar realitas, ekosistem inilah yang berperan sebagai kehendak bebas untuk berkarya; mengutarakan pandangan dan sikap terkait dunia yang penuh imajinasi, keterombang-ambingan, dan utopia.

Daftar Pustaka

[1] Rahmanto, B. (2015), “Humanisme Y. B. Mangunwijaya”, Kompas, hlm. 62.

[2] Ibid. hlm. 62-63.

[3] Ibid. hlm. 64-65.

[4] Damono, Sapardi D. (2013), “Kesusastraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan”, Salihara: Kalam Vol. 25, hlm. 3-5.

[5] Ibid. hlm. 6-7.

[6] Ibid. hlm. 33.

[7] Hardiman, F. Budi. (2015), “Seni Memahami”, Kanisius, hlm. 70-71.

Mega Ayu Lestari
Mega Ayu Lestari
A passionate amateur naturalist who has a big crush in social, art, and environmental issues.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.