Menjelang pemilihan umum 2024, gerakan 4 (empat) jari ramai mewarnai konstelasi politik tahun 2024. Tentunya, gerakan ini hadir sebagai sebuah ekspresi untuk memilih pasangan selain calon nomor urut 2 (dua) Prabowo-Gibran.
Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia, John Muhammad sebagai inisiator. Mengungkapkan bahwa hadirnya gerakan 4 jari ini merupakan ajakan bagi seluruh masyarakat agar memilih antara paslon nomor urut 1 atau paslon nomor urut 3, dengan mengesampingkan pilihan politik paslon nomor urut 2.
Tulisan ini coba mengurai ekspresi politik yang belakangan ini terjadi dengan melihat bingkai gerakan 4 jari sebagai upaya untuk tidak memenangkan paslon nomor urut 2 sebagai pemenang pilpres 2024.
Pada ujungnya tulisan ini juga akan bermuara pada pertimbangan partai pengusung dibelakang paslon nomor urut 1 dan 3 agar memikirkan kembali kesempatan untuk berkoalisi untuk mengajak masyarakat tidak memilih nomor 2.
Gerakan 4 Jari, Sebuah Gerakan Sosial Baru?
Kita tidak pernah lupa akan hadirnya gerakan #2019GantiPresiden yang dihadirkan oleh inisiator politik kala itu Mardani Ali Serra, dengan segala kontroversinya gerakan tersebut termobilisasi secara masif untuk mengharamkan pilihan politik jatuh pada lawan politik Prabowo saat itu yakni Jokowi.
Secara terang-terangan, gerakan tersebut memengaruhi pilihan politik dan akhirnya mencipta polarisasi yang cukup signifikan hingga menimbulkan aksi masa dan gerakan yang tidak serta merta bisa dianggap sebagai sebuah gerakan yang sepele.Dalam kajian sosial, gerakan tersebut merupakan gerakan sosial yang terbangun atas dasar kesamaan kolektif hingga terwujudnya sebuah gerakan.
Tak jauh beda, dengan gerakan tersebut. Gerakan 4 Jari hadir sebagai sebuah kesadaran kolektif rakyat atas beragam isu politik yang hadir di permukaan dan mencuat hingga menjadi sebuah pemikiran dan tertuang menjadi gerakan 4 jari.
Kebaruan gerakan ini, dilihat dari segi munculnya fenomena kemarahan masyarakat karena hadirnya kekuasaan yang terlalu ikut campur dalam konstelasi politik tahun 2024. Puncak kemuakan terjadi ketika putusan MK memberikan jalan yang mulus untuk wakil presiden nomor urut 2 melenggang dalam kontestasi politik 2024.
Kemuakan ini menjadi sebuah jalan baru bagi sebagian masyarakat yang tidak menghendaki kemanangan bagi paslon nomor urut 2. Menariknya adalah gerakan 4 jari ini, pusaran dan luapan amarahnya sangat terasa di media sosial.
Transformasi gerakan sosial dari ruang publik terbuka menjadi ruang digital terbuka sangat terasa adanya dalam gerakan 4 jari ini.
Gerakan yang biasanya hadir dilapangan terbuka, dengan amukan dan demo masa yang hadir tidak terlalu nampak dalam gerakan 4 jari ini. Sebaliknya dalam ruang digital, sangat terasa gerakan 4 jari ini hadir kepermukaan.
Sepatutnya, gerakan ini akhirnya menjadi sebuah wacana tersendiri dan direspon secara serius oleh seluruh paslon dan para partai pengusungnya. Walaupun, dalam rekaman jejak digital, paslon nomor urut 2, tidak terlalu ambil pusing dalam wacana ini.
PDIP, haruskah bersama dengan PKS?
Berhitung peluang dalam konstelasi politik 2024, apalagi jika terjadi dua putaran itu sangat wajar dan tentunya masing-masing memiliki justifikasi subyektif tersendiri untuk menakar peluang tersebut.
Menariknya, takaran peluang tersebut kita akan melihat dari pasangan dua calon presiden yang hari ini cukup tertinggal jauh secara elektabilitas survey dari paslon lainnya.
Anies-Ganjar, apakah memungkinkan dua capres ini Bersatu di Putaran Kedua?
Tentunya, isu ini menjadi sangat menarik dibahas melihat dari skema politik yang hari ini hadir. Dimana dua-duanya adalah paslon yang sangat jauh tertinggal secara elektabilitas dari Prabowo-Gibran.
Menariknya, adalah nilai historis partai pengusung keduanya yang banyak masyarakat nilai akan sangat sulit untuk keduanya bersatu, akan sangat sulit keduanya dapat berjalan menjadi partai koalisi.
Terlihat dimana jalan politik selama tahun 2014 saat PDIP memenangkan kontestasi pemilu, partai PKS yang notabene-nya mengusung Anies, konsisten untuk menjadi oposisi dalam takaran politik nasional.
Namun, melihat catatan historis keduanya dalam konstelasi politik praktis terutama pilkada tahun 2020, ternyata kedua partai ini tidak sama sekali bersebrangan dan tidak sama sekali berlainan.
Terbukti kedua partai ini bisa bersatu di 13 Pilkada pada saat itu. Melihat hal tersebut, bukan tidak mungkin dalam konstelasi politik nasional akan terjadi hal serupa, karena pada prinsipnya kondisi pilpres 2024 mengharuskan kedua partai ini lebih cair dan dinamis karena adanya kesamaan efek politik yang diakibatkan paslon nomor urut 2.
Sikap parpol dalam sejarah kontelasi politik di daerah tidak selalu beririsan dengan ideologi. Karena, pertimbangan pragmatis lebih diutamakan ketimbang pertimbangan ideologis.
Melihat konteks politik hari ini, rasa-rasanya pertimbangan pragmatis juga akan menjadi salah satu indikator untuk merangkai skema politik diputaran kedua nantinya.
Dengan hadirnya gerakan politik 4 (empat) jari dan pertimbangan politik senasib serta hadirnya komunikasi politik yang cair dan dinamis antara Ganjar dan Anies, bukan tidak mungkin dalam putaran kedua nantinya, kedua paslon ini akan menghadirkan strategi politik baru untuk sebisa mungkin paslon nomor urut 2 kalah dalam putaran kedua?