Timur Tengah yang panas semakin bergelora. Perang saudara yang terjadi di beberapa negara masih belum nampak akan berakhir dalam waktu yang dekat. Hal ini diperparah dengan pembunuhan Jendral Qasem Soleimani oleh Amerika Serikat. Iran berjanji akan membalas meski para analis masih meraba-raba, pembalasan seperti apa yang akan mereka lakukan. Banyak yang menganggap bahwa ini akan memicu Perang Dunia III. Para analis menyangkalnya, meski begitu, mereka belumlah bersepakat mengenai apa yang akan terjadi di Timur Tengah selanjutnya.
Indonesia juga tengah memanas akhir-akhir ini. Klaim sepihak Cina atas kawasan yang dianggap sebagai kawasan ZEE Indonesia membuat banyak masyarakat Indonesia berang. Beberapa media melaporkan aktivitas militer TNI di Natuna sedang meningkat. Semoga saja malapetaka perang antara Indonesia dan Cina tidak terjadi, dan dua negara ini mau berunding untuk mencapai kesepakatan tanpa memilih jalan perang.
Dalam minggu ini, tagar WWIII (Perang Dunia 3) menjadi ramai. Beberapa kalangan tampak bersemangat untuk menanti meletusnya perang –meskipun semoga hanya untuk guyonan saja. Seakan-akan perang adalah sebuah terminologi “main-main” yang bisa diceletukan begitu saja.
Mungkin banyak diantara kita hanya menyaksikan tentang kepahlawanan sebuah perang dan para pahlawannya. Tentara yang menghabisi pasukan musuh, secara heroik merebut ibukota musuh, memenangkan perang, dielu-elukan dalam kegagahan sebagai pahlawan dan mendapatkan kemasyuran sebagai pemenang perang. Apakah peperangan hanya bercerita tentang hal-hal demikian?
Sebuah mini series buatan Jerman tahun 2013 berjudul Generation of War bisa jadi sebuah produk budaya pop yang bagus untuk dijadikan sebuah referensi mengenai hal ini. Diceritakanlah pada awal 1940an, lima orang anak muda Jerman begitu antusias menyambut perang.
Namun, tampaknya mereka tidak menyadari bahwa setelah bertahun-tahun menjalani peperangan, harapan yang bisa mereka doakan hanyalah perdamaian dan menikmati tahun baru bersama keluarga dan orang-orang yang dicintai. Ketika perang berakhir, mereka sadar tentang kejamnya peperangan dan dengan tatapan kosong membayangkan hari-hari sulit yang akan dihadapi.
Contoh lainnya bisa dilihat dalam novel klasik Margaret Mitchell tahun 1936, Gone With the Wind. Kesejahteraan yang dimiliki oleh orang-orang Amerika Serikat bagian Selatan berakhir untuk selamanya semenjak berakhirnya Perang Saudara Amerika (1861-1865). Orang-orang Selaran begitu antusias ketika perang dimaklumkan oleh pihak konfederasi melawan para Yankee.
Namun, ketika mereka kalah, kehidupan berubah untuk selamanya dan masa-masa sulit telah dimulai. Wilayah Selatan tidak pernah sesejahtera lagi seperti apa yang mereka nikmati sebelum meletusnya perang. Pada tahap ini, banyak dari mereka yang mendukung perang akhirnya menyesalinya. Berharap bahwa perang tidak pernah terjadi dan akhirnya memahami betapa pentingnya perdamaian.
Akhir-akhir ini, banyak generasi muda tampaknya begitu bersemangat, mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa ada sisi lain mengenai perang. Kesedihan, penderitaan hingga kematian adalah hal-hal yang selalu megikuti setiap peperangan selain kejayaan dan kegagahan yang biasa kita lihat dalam film-film perang.
Ingat, kebanyakan film perang yang kita saksikan menceritakan mengenai pahlawan dan kemenangan. Padahal selalu ada pihak yang kalah –atau paling tidak pihak yang mengalami kerugian yang lebih besar.
Pada masa damai anak memakamkan orang tua, pada masa perang orang tua memakamkan anak-anaknya. Perang membuat anak kehilangan orang tua, orang tua kehilangan anak, seorang anak kehilangan saudara, pria dan wanita kehilangan kekasih dan teman-temannya. Apakah masih ada kemasyuran dari kota yang hancur, hidup yang sulit, kelaparan, penderitaan yang berlarut-larut, keluarga terpisah akibat peperangan?
Ketika Perang Dunia berakhir, negara-negara dunia melihat bahwa perang hanya membawa kerusakan –baik di pihak yang menang maupun kalah. Jutaan nyawa telah melayang, tak terhitung kerugian materil akibat perang yang berlangsung selama kurang lebih enam tahun itu. Butuh puluhan tahun untuk membangun apa yang telah hancur.
Negara dunia memutuskan untuk menghidari perang. PBB kemudian dibentuk di mana salah satu tugasnya adalah untuk menjaga keaman dan ketertiban dunia. Perang Dunia II adalah mimpi buruk yang dialami umat manusia dan mereka sepakat hal itu boleh terjadi lagi di masa depan.
Namun, bukan berarti peperangan hilang di dunia ini. Korea dan Vietnam menjadi panggung phoney war sebagai bagian dari Perang Dingin yang disutradarai antara dua negara adidaya (AS dan Uni Soviet) pada waktu itu. Ancaman perang nuklir menghantui dunia. Timur Tengah menjadi pentas konflik yang masih tak berkesudahan sampai hari ini. Satu perang meletus lalu disambut perang lain.
Konflik Israel dan Palestina belumlah akan berakhir, Irak-Iran terlibat perang yang melelahkan (1980-1988), lalu disambut dengan Perang Teluk (1991). Paska 9/11, Afganistan dan Irak diinvasi Amerika dan Sekutunya sebagai rangkaian perang global melawan terorisme. Dekade 2010-an, ISIS muncul dan mengejutkan dunia. Suriah dan Yaman diguncang perang saudara panjang setelah Arab Spring pecah.
Mengenai apa yang terjadi di kawasan itu, kita disuguhi mengenai penderitaan yang dialami masyarakat di wilayah peperangan. Tangisan orang tua melihat tubuh kaku anaknya, bocah-bocah menangis bermadikan darah dan segala macam kengerian perang lainnya terhampar di berbagai halaman berita.
Berdalih bahwa peperangan dilakukan oleh pihak militer tak lantas membuat masyarakat sipil menjadi aman. Meskipun sudah ada hukum yang diakui (Konvensi Jenewa) yang melarang untuk menyerang masyarakat sipil, namun mereka tetap dibom dan ditembaki. Malahan kebanyakan peperangan menghasilkan lebih banyak korban sipil dibandingkan militer.
Hari ini, reruntuhan di Ayn Tarma dan Homs (Suriah) harusnya menjadi pembelajaran bagi kita bahwa peperangan bukanlah seperti permainan video game, di mana kita tidak akan bisa hidup kembali setelah KIA (Killed in Action). Tidak akan ada kesempatan kedua apabila proyektil 7,92 mm bersarang di tubuh.
Kematian atau cacat adalah pilihan datang secara acak bagi mereka yang berlaga dalam medan tempur. Medan tempur juga bukan panggung kegagahan. Bagi para serdadu, itu adalah lapangan kematian tempat mayat bergelimpangan hingga membusuk. Tempat darah membanjiri tanah dari tubuh-tubuh diterjang peluru. Pekikan menyedihkan tentara terluka berharap malaikat maut segera datang akibat penderitaan tak terperikan.
Only the dead have seen the end of the war.