Di Bikini Bottom pada serial SpongeBob SquarePants, penduduknya rela melakukan apa saja demi sepotong Krabby Patty. Apakah ini hanya sekadar fantasi animasi? Tidak, ini adalah realitas yang ramai dibicarakan di berbagai platform digital belakangan ini. Menurut survei Jakpat bertajuk Understanding Gen Z: Preference in the Workplace, Generasi Z di Indonesia menghabiskan 75% gaji mereka untuk makanan. Jika ini adalah perlombaan konsumsi, Krabby Patty pasti sudah memenangkan medali emas.
Makanan yang digilai Gen Z bukan hanya soal rasa. Fenomena ini adalah perpaduan kompleks antara kebutuhan, gaya hidup, dan ilusi kebahagiaan yang diciptakan oleh budaya populer. Sama seperti Krabby Patty yang menghipnotis warga Bikini Bottom, burger hype dan kopi susu estetik menjadi pusat gravitasi keuangan Gen Z. Di dunia SpongeBob, Krabby Patty bukan hanya makanan, melainkan simbol kebahagiaan dan status. Demikian pula, bagi Gen Z, makanan viral adalah tiket untuk merasa relevan di dunia media sosial.
Menurut artikel di tvonenews.com, sebuah survei menemukan bahwa 75% penghasilan Gen Z dihabiskan untuk membeli makanan, sementara sisanya digunakan untuk menabung. Jika SpongeBob dan Patrick hidup di Indonesia, mereka mungkin akan menjadi pelanggan setia restoran Instagrammable, memesan hidangan cantik yang wajib diabadikan sebelum dimakan. Toh, seperti kata Tiara (24) dalam wawancaranya di Kumparan, “Rasanya nggak lengkap kalau makan di tempat estetik tapi nggak diabadikan.”
Seperti halnya warga Bikini Bottom yang memuja Krabby Patty, Gen Z di Indonesia memuja makanan yang terlihat bagus di foto. Bagi mereka, makanan adalah investasi sosial, bukan sekadar kebutuhan biologis. Restoran yang cantik, menu yang unik, dan suasana yang mendukung feed media sosial adalah alasan utama mengapa mereka rela merogoh kocek lebih dalam. Budaya ‘Instagrammable’ ini telah mengubah meja makan menjadi panggung konten, di mana setiap gigitan adalah pernyataan gaya hidup.
Namun, di balik kesenangan ini, ada ironi yang menyengat. Dalam satu artikel di Kumparan yang ditulis oleh Meysza Nur Inayah, disebutkan bahwa gaya hidup praktis dan serba cepat juga mendorong Gen Z untuk lebih sering makan di luar atau memesan makanan online. Mereka memilih kenyamanan, tetapi sering kali dengan mengorbankan keuangan jangka panjang. Layanan pesan-antar mungkin menghemat waktu, tetapi juga menguras kantong. Berdasarkan survei kecil, 40% Gen Z mengaku menghabiskan 30-50% dari penghasilan mereka hanya untuk makanan.
Di Krusty Krab, Mr. Krabs dengan bijak memanfaatkan obsesi pelanggannya. Ia bahkan pernah menciptakan kelangkaan palsu untuk meningkatkan daya tarik Krabby Patty. Apakah ini terdengar familiar? Dalam dunia nyata, strategi ini disebut fear of missing out (FOMO), di mana makanan hype dibuat seolah-olah langka, memaksa konsumen untuk segera membelinya. Gen Z, yang tumbuh besar dengan teknologi dan media sosial, adalah korban sempurna dari taktik ini.
Tentu saja, ada sisi lain dari cerita ini. Sebagaimana disebutkan dalam laporan JPMorgan Chase & Co., 61% Gen Z mulai memperhatikan pengelolaan keuangan setelah memasuki dunia kerja. Mereka sadar bahwa pengeluaran berlebihan untuk makanan bisa menjadi bumerang di masa depan. Namun, kesadaran ini sering kali datang terlambat, setelah saldo rekening sudah mendekati nol atau aplikasi dompet digital mulai menawarkan “pinjaman darurat.”
Ironi ini semakin dalam ketika kita menyadari bahwa Gen Z lebih menghargai pengalaman daripada akumulasi materi. Dalam hal ini, mereka sangat mirip dengan SpongeBob, yang memandang pekerjaannya di Krusty Krab sebagai pengalaman hidup yang tak ternilai. Sayangnya, pengalaman yang dihargai Gen Z sering kali datang dengan tagihan yang menguras dompet.
Jika Mr. Krabs membaca laporan Jakpat ini, dia pasti akan tertawa terbahak sambil menghitung uangnya. Baginya, pelanggan yang rela menghabiskan 75% penghasilan untuk makanan adalah definisi dari mimpi kapitalis yang menjadi kenyataan. Tapi bagi kita yang menonton dari luar, ini adalah lelucon pahit yang menggambarkan bagaimana konsumsi bisa menjadi jebakan ekonomi.
Jadi, apakah Gen Z benar-benar salah? Tidak sepenuhnya. Mereka hanya menjadi bagian dari sistem yang mendorong mereka untuk membelanjakan uang demi validasi sosial dan kebahagiaan sementara. Sama seperti warga Bikini Bottom dalam dunia SpongeBob yang jadi penggila Krabby Patty, Gen Z tampak menikmati pilihan mereka, dengan atau tanpa kesadaran.
Barangkali, pertanyaan penting yang harus kita ajukan adalah ini: apakah kita benar-benar membutuhkan semua makanan itu, atau apakah kita hanya terperangkap dalam permainan kapitalisme modern? Mungkin jawabannya ada di tengah-tengah. Sama seperti Krabby Patty yang membuat warga Bikini Bottom bahagia, makanan hype bisa memberikan kebahagiaan sesaat dan palsu. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Squidward, kebahagiaan yang bergantung pada konsumsi sering kali berakhir dengan kekosongan dan ingin kembali mengisi kekosongan itu dengan mengkonsumsinya lagi, dan lagi, dan lagi.
Gen Z, seperti kita semua, memiliki pilihan. Mereka bisa terus mengejar kebahagiaan instan melalui konsumsi, atau mulai mempertimbangkan keseimbangan antara gaya hidup dan stabilitas finansial. Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya tentang makan enak, tetapi juga tentang memastikan bahwa kita masih bisa makan esok hari.
Selebihnya, apakah memang hanya Gen Z yang menjadi korban dalam pola konsumsi yang dirancang ekonomi kapitalis melalui produk budaya pop? Mungkin tidak. Semoga ada survei lain yang lebih menyeluruh agar kondisi seperti ini tidak hanya memojokkan Gen Z.