2024 akan menjadi ajang balap politik. Bergerak menuju konsolidasi, para elit partai menggeber-geberkan mesin mereka di sirkuit bangsa.
Partai-partai melaju kencang untuk mengamankan konsolidasi mereka, dan berita hari ini terus memacu keluar tentang hasil-hasil mereka. Manuver ini bertujuan untuk menguatkan pendirian dan dukungan mereka pada saat pemilihan.
Media selalu menjadi salah satu pijakan untuk menyebarkan pesan-pesan politik semenjak tempo dulu. Bagi pemimpin-pemimpin cerdik, siapa yang menguasai media akan menguasai hati dan pikiran rakyat. Dan Indonesia di anugerahi dengan pikiran cerdik. Politik menguasai media dan begitu pula media sosial. Media sosial memberikan massa ruang untuk menuai isi pikiran dan hati. Media sosial tidak mendiskriminasi, artinya media sosial bersifat inklusif. Dengan kondisi sedemikian rupa, terbentuk nya komunitas maya yang beragam pendapat. Pancasila memang mengajarkan bahwa perbedaan adalah indah, tetapi perbedaan menimbulkan pro dan kontra dalam media sosial. Terutama di tahun politik dimana masyarakat berdogmatis.
Pendapat politik adalah salah satu topik sensitif dalam suatu pembicaraan. Untuk beberapa orang, pendapat adalah suatu dogma, bukan sesuatu yang dipertanyakan namun sesuatu yang diamalkan. Membawa pendapat kepada ruang maya akan bertemu dengan pendapat lain. Jadi, wajar saja bahwa akhir nya media sosial menjadi arena tempur bagi pendukung-pendukung.
Seperti kita lihat pada tahun 2014 dan 2019, perbedaan pendapat ini menimbulkan suatu perpecahan yang bersifat abstrak pada masyarakat. Masyarakat pecah bukan karena perbedaan fisik yang nyata atau perbedaan posisi tetapi perbedaan pendapat. Yang seharusnya pendapat bisa dikesampingkan malah menjadi bahan untuk memecahkan persatuan. Membiarkan perpecahan ini terus membelah rakyat akan membawa konsekuensi berat dalam kelangsungan bangsa.
Indonesia harus mengambil practical wisdom dari pemilihan dalam negara dan luar negara. 2014 dan 2019 harus menjadi pelajaran cukup bagi Indonesia untuk mengerti kapan berpendapat dan kapan berkompromi. Menerawang halaman belakang Amerika Serikat, kondisi rumah tangga nya masih belum pulih dari luka tahun 2016. Tahun tersebut memecah belah Amerika Serikat secara politik sehingga ada dua belah pemikiran ekstrim yang terus meresahkan iklim politik Amerika Serikat.
Rakyat harus teguh dalam menyikapi pengalaman tahun-tahun lalu. Mengambil sikap terbuka dalam berpendapat, mendengar dan berbicara, dan menolak ide-ide yang mendorong kita jauh dari persatuan dan persaudaraan. Berbeda beda namun tetap satu. Budaya mendengarkan kelak akan membawa Indonesia kepada masa depan harmonis dan damai.