Kamis, April 25, 2024

Gawai dan Pemilu Serentak

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)

Tahun 2019 adalah pesta demokrasi serentak pertama bagi Indonesia, Setelah Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan bahwa Pemilihan Umum di Indonesia harus dilaksanakan secara serentak guna memilih anggota legislatif: DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Sejatinya, Pemilihan Umum adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Oleh karena itu euforia dan semangat dalam menyambut pesta demokrasi 5 tahunan menjadi ajang yang penting dan momentum dalam perbaikan proses berdemokrasi di Indonesia baik demokrasi dari tata cara pelaksanaan pemilu (demokrasi prosedural) maupun dari segi hakiki yang ingin dicapai melalui kanal pengelolaan pemerintahan berdasarkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ini (demokrasi substantif).

Dari tahun ke tahun pelaksanaan pemilu sejak tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014 tren pelaksanaan kampanye pemilihan umum terus mengalami perubahan dan kemajuan. Tanpa disadari kampanye dengan menggunakan teknologi menjadi salah satu terobosan terbaru sebagai media untuk memperkenalkan visi dan misi kandidat calon yang akan mengisi jabatan di kekuasaan legislatif dan eksekutif.

Apalagi di Era Pasca Kebenaran (Post Truth)  vis a vis Jaman Revolusi 2.0 penggunaan teknologi sebagai flatform semakin masif dan tidak dapat dibendung lagi.  Berita dan informasi menyebar secara distrutif tanpa ada filterisasi sehingga kerapkali membuat pembaca menjadi bingung tentang kebenaran suatu bacaan atau jamak kita kenal dengan istilah berita bohong (hoax).

Meskipun telah ada gagasan dan himbauan kepada pembaca untuk menjadi pembaca yang bijak dan cerdas dalam menggunakan teknologi agar tidak mudah terprovokasi suatu isu atau pemberitaan.

Dan telah diterapkan ajakan untuk senantiasa berpikir kritis dan skeptis sehingga mampu memverifikasi kebenaran dibalik suatu pemberitaan tetapi faktanya, kecerdasan digital literasi bangsa ini belum cukup mumpuni.

Dapat dilihat dari masih banyak masyarakat khususnya yang memiliki keterbatasan pendidikan dan berasal dari kalangan ekonomi lemah  yang rentan terpengaruhi dengan berita hoax atau tidak benar dan tidak tepat.

Ironisnya lagi tidak hanya rentan untuk termakan berita hoax namun kadangkala mereka ikut menyebarkan berita hoax tersebut hingga menjadi viral. Kemudian kesimpang siuran kebenaran tersebut berujung kepada kegaduhan publik yang tercipta dan berakhir kepada konflik baik antar pendukung maupun antar pendukung dan lawan politik.

Jika dibiarkan demikian maka demokrasi Indonesia akan keluar dari titah dan rel untuk menjadi flatform yang mensejahteraankan publik. Alih-alih berharap adanya perdebatan ideologi, visi dan misi, program kerja dari masing-masing calon yang diusung oleh masing-masing parpol justru malah mengarah kepada memanipulasi kebenaran dan menjatuhkan rival politik dengan segala cara. Jika hal demikian terus dibiarkan ibarat bom waktu maka demokrasi dengan minus kecerdasan digital literasi ini akan menciptakan mobokrasi atau demokrasi yang chaos.

Sebagai contoh bagaimana banyaknya berita yang tidak terverifikasi atau dibelokan sehingga menimbulkan multitafsir di kalangan khalayak masyarakat Indonesia seperti: berita divestasi saham freeport, Utang Indonesia yang membengkak, Indonesia akan bubar, pemberitaan yang tidak benar tentang tokoh atau figur politik tertentu dan lain-lain

Meski pemberitaan hoax di Indonesia belum memakan korban jiwa alias masih pada tahap perdebatan argumen namun  ternyata sudah terdapat contoh bagaimana gawai dan kemasifan penyebaran berita bohong yang memicu kekerasan yang berakhir tragis.

Contoh teranyar adalah Peristiwa pembunuhan oleh massa yang terjadi di India, kronologis kejadian bagaimana penggunaan teknologi whatsApp memakan korban sebanyak kurang lebih 21 orang meninggal dikarenakan adanya penyebaran informasi bohong yang menunduh sekelompok orang telah melakukan penculikan anak sehingga menimbulkan kemarahan massa padahal kebenaran berita tersebut tidak terbukti.

Hal demikian disebabkan kekejaman jari-jari manusia yang dengan gampang membagikan secara masal (forward)  tentang berita bohong tanpa melakukan proses validasinya. Akibat dari kejadian tersebut perusahaan WhatsApp India akan menghilangkan fungsi tombol forward  sebagai langkah preventif pencegahan hal serupa terjadi.

Demi kemashalatan bersama mungkin pemerintah perlu duduk bersama dengan pemilik teknologi dan membicarakan dan mendiskusikan ide pembatasan konten “forward” (meneluruskan pesan secara mudah) secara masif ini dengan pengambil kebijakan pengelola aplikasi serupa baik WhatsApps, Line, BBM.

Artinya dalam satu hari mungkin kita dibatasi hanya boleh meneruskan pesan sebanyak 5 x kepada kontak di gawai kita. Setidaknya ini dapat dilakukan sementara waktu menjelang Pemilu serentah 2019 selesai sehingga dapat mengurangi penyebaran berita hoax yang tidak berfaedah.

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.