Sabtu, April 20, 2024

“Garuda Shield” Upaya AS Halau Tiongkok di Indo-Pasifik?

Alfitra Akbar
Alfitra Akbar
Researcher at Center for Indonesia-China Studies (CICS)

Sebanyak 4.000 prajurit militer gabungan dari Indonesia dan Amerika Serikat (AS) ambil bagian dalam latihan gabungan militer terbesar sepanjang sejarah kedua negara yang diberi nama Garuda Shield.

Program latihan bersama militer ini sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kedua negara. Tahun lalu, kedua negara yang nampak tengah mesra dalam hal relasi militer ini juga telah melaksanakan pelatihan serupa.

Namun, berbeda dengan penyelenggaraan latihan serupa tahun sebelumnya, ada beberapa hal yang menjadi pembeda dalam pelaksanaan Garuda Shield tahun ini.

Pertama, Garuda Shield tahun ini tercatat merupakan latihan militer gabungan terbesar dalam sejarah kedua negara baik dari segi prajurit, cakupan dan skalanya.

Kedua, latihan gabungan militer ini berlangsung di tengah-tengah ketegangan antara AS dan Tiongkok – sehubungan dengan kondisi di Indo Pasifik khususnya di Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Terkait poin kedua ini, dalam salah satu laporannya media asal Jepang Nikkei Asia menyebut latihan gabungan ini merupakan bagian dari usaha Washington untuk membangun front dengan Jakarta guna menghalau pengaruh Beijing di Indonesia khususnya dalam konteks konflik di Indo-Pasifik.

Seperti yang diketahui, dalam beberapa waktu terakhir konflik yang terjadi di LTS kembali memanas setelah Amerika Serikat mengerahkan kapal perang dan kapal induk memasuki perairan dekat Taiwan.

Puncaknya, kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan semakin memperkeruh potensi konflik yang terjadi di kawasan Indo-Pasifik, khususnya bagi Tiongkok.

Peristiwa terakhir cukup membuat Tiongkok marah, menanggapi kunjungan tersebut Beijing mengumumkan akan melakukan latihan militer menggelar latihan militer di sekitar pulau itu yang meningkatkan kekhawatiran akan konflik.

Lantas, dengan semakin memanasnya potensi konflik yang terjadi di kawasan Indo-Pasifik, bagaimana dampak latihan militer Garuda Shield ini terhadap posisi dan peran Indonesia dalam situasi ini?

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak di jantung Samudra Hindia dan Pasifik tampaknya telah ditakdirkan untuk menjadi titik tumpu strategis di era persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Dalam kasus ini, Indonesia memang bukan merupakan bagian dari negara claimants atas Laut Tiongkok Selatan. Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah sebagian wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Kepulauan Natuna masuk dalam wilayah klaim Beijing di LTS.

Sehingga, semakin meruncingnya konflik di kawasan Indo-Pasifik khususnya di Laut Tiongkok Selatan sedikit banyak dapat menimbulkan potensi ancaman militer yang meluas ke wilayah Indonesia.Bahkan, tidak menutup kemungkinan akan adanya bentrokan yang dapat memaksa negara-negara untuk memihak.

Dalam laporan yang berjudul “Regional Responses to U.S.-China Competition in the Indo-Pacific”, lembaga think tank ternama AS Rand Corporation menyebut bahwa kemungkinan terjadinya “perang militer” di kawasan Indo-Pasifik saat ini lebih besar dibandingkan beberapa tahun terakhir.

Dalam laporan yang sama menyebut bahwa Tiongkok dianggap satu-satunya ancaman militer jangka pendek yang realistis bagi Indonesia, dengan potensi khusus untuk konfrontasi militer atas Kepulauan Natuna di dekat Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Lebih lanjut, temuan ini menilai bahwa ketidakseimbangan kemampuan militer, pengaruh ekonomi Tiongkok yang sangat besar, serta strategi diplomasi yang abu-abu dinilai akan menambah kerentanan Indonesia atas meningkatnya keterlibatan Beijing di kawasan.

Terkait kondisi ini, pengamat Hubungan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto memaparkan bahwa dalam kondisi ini, Indonesia sangat membutuhkan peran AS sebagai pengontrol dan penyeimbang kekuatan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik.

Lantas, apakah latihan militer Garuda Shield dapat dimaknai sebagai strategi Indonesia untuk lebih “mendekat” ke AS?

Mengutip pernyataan analis pertahanan senior dari Rand Coorporation US, Derek Groosmann, Ia memaparkan bahwa penyelenggaraan latihan militer terbesar antar kedua negara ini jelas merupakan indikasi bahwa AS berupaya meningkatkan kehadirannya di Indonesia untuk melawan pengaruh Tiongkok, terutama dalam konflik Laut Tiongkok Selatan.

Hipotesis ini mungkin bisa diperkuat dengan pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi saat melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu AS, Antony Blinken pada tahun 2021 lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Ia memaparkan bahwa Indonesia telah memasuki “era baru” dalam hubungan bilateral dengan AS.

Merujuk pada latihan gabungan militer yang saat ini sedang berlangsung, Retno menyambut baik “keterlibatan” lebih AS di kawasan Asean dan menyatakan harapannya agar Indonesia dapat terus meningkatkan hubungan bilateral dengan Washington di bawah pemerintahan Joe Biden.

Hal ini mungkin cukup beralasan, dalam konteks kondisi Indo-Pasifik saat ini baik Indonesia maupun AS dinilai sama-sama memiliki kepentingan masing-masing namun kedua negara juga dinilai memiliki ketergantungan satu sama lain.

Setidaknya, hipotesis ini diperkuat oleh analisis dari peneliti senior di American Enterprise Institute, sekaligus mantan anggota Dewan Keamanan Nasional Zack Cooper.

Dalam situasi yang berkembang di kawasan Indo-Pasifik saat ini, Ia memaparkan bahwa bagi AS keberadaan Indonesia sangatlah strategis dalam isu ini, terutama dari segi teritorial dan pengaruh besar yang dimiliki di kawasan ASEAN.

Sementara, bagi Indonesia kecenderungan menjalin hubungan militer dengan AS sekiranya dapat dimengerti. Pasalnya, jika dianalisis dari segi kekuatan militer, AS dinilai jauh lebih superior dari Tiongkok. Hal ini penting untuk memberikan sedikit nilai tawar atas Tiongkok di Natuna.

Dari semua analisis terkait penyelenggaraan latihan militer Garuda Shield ini, pada akhirnya keputusan Indonesia untuk meningkatkan hubungan diplomatik di bidang pertahanan dengan AS bisa dibilang merupakan langkah yang tepat.

Kekhawatiran selanjutnya yang mungkin muncul adalah apakah kecenderungan kedekatan militer dengan AS ini akan mencederai prinsip politik bebas aktif yang sejak awal dianut Indonesia?

Terkait hal ini, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana memaparkan bahwa dari perspektif Tiongkok, keberpihakan Indonesia terhadap AS di bidang militer dalam konflik ini diyakini tidak akan memengaruhi hubungan bilateral antara Beijing dan Jakarta.

Hal ini justru akan menjadi cambuk bagi Tiongkok untuk meningkatkan diplomasi di bidang lain, seperti perdagangan dan ekonomi untuk mengimbangi posisi AS di Indonesia.

Jika demikian, jelas kondisi ini sangat baik bagi Indonesia karena berpotensi mendapat keuntungan dari dua sisi, yaitu pertahanan dan ekonomi.

Well, pada akhirnya penyelenggaraan latihan gabungan militer Garuda Shield dan peningkatan hubungan militer dengan AS sebagai salah satu negara yang mempunyai kemampuan militer terbaik bisa dianggap sebagai langkah yang bijak untuk meminimalisir segala risiko terburuk yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan.

Alfitra Akbar
Alfitra Akbar
Researcher at Center for Indonesia-China Studies (CICS)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.