Jumat, April 19, 2024

Gangguan Jiwa Pasca Corona

Ahmad Kholikul Khoir
Ahmad Kholikul Khoir
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Sudah berbulan-bulan lamanya umat manusia berperang melawan Corona. Berbagai upaya dilakukan untuk menemukan “senjata” yang tepat dalam membunuh virus tersebut. Namun hingga kini belum juga diketahui senjata yang efektif dalam mengakhiri “konfrontasi”. Barang tentu tidak hanya penyakit fisik hingga kematian yang dipantik oleh kondisi ini, keadaan ini berdampak pula pada masalah psikologis manusia.

Baru-baru ini penelitian dari Kings College London mengungkap bahwa virus Corona ternyata tidak hanya memicu gangguan pernafasan. Virus ini pula menganggu aktivitas otak sehingga menyebabkan Delirium. Delirium adalah keadaan bingung akut yang mungkin terjadi pada penyakit medis apapun yang parah. Menurut penelitian ini, sekitar 20 persen pasien di rumah sakit, dan 60 persen dalam perawatan intensif karena Corona menderita kebingungan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan sebelumnya, bahwa akan ada ancaman serius perihal kesehatan mental masyarakat di masa pandemi. Pasalnya, di masa ini tidak sedikit orang yang terisolasi di rumah, takut tertular penyakit, kehilangan pekerjaan dsb. Maka WHO pun merekomendasikan bagi setiap pejabat negara agar juga menjadikan masalah kesehatan mental sebagai prioritas utama di masa Covid-19.

Adapun yang paling terguncang mentalnya semasa pandemi ini adalah tenaga kesehatan. Hal ini karena mereka adalah prajurit utama dan terdepan dalam mengatasi serangan virus yang tak terarah namun tepat sasaran itu. Studi yang dilakukan di China terhadap 1.257 tenaga kesehatan menunjukkan, hampir tiga perempat dari mereka mengalami tekanan psikologis. Barang tentu, hal ini berlaku pula pada petugas kesehatan di Indonesia, bahkan dunia.

Kita sebagai prajurit pembantu dalam peperangan ini, pun mengalami tekanan mental yang relatif sama. Apalagi sebagai prajurit kita belum juga memakai baju besi (baca: vaksin) di medan perang; hanya tameng (baca: masker dan hand sanitizer) saja yang kita kenakan. Ditambah banyak prajurit lain yang bisa sewaktu-waktu menjadi penghianat peperangan dengan tidak mematuhi protokol kesehatan. Alhasil, barisan keprajuritan kita pun porak poranda karena tingkah para penghianat itu.

Meskipun begitu, dapat dipastikan bahwa badai ini pasti berlalu. Peperangan ini akan selesai, dengan manusia sebagai pemenangnya. Kita harus yakin itu. Akan tetapi, kita pula harus mengerti bahwa hari yang cerah juga pasti berlalu. Barangkali memang ujian peperangan ini akan telah berakhir, namun ujian yang lain berada di depan, yang siap menyambut kita dengan pedangnya. Maka sejak dini, kita harus memperkirakan tantangan atau ujian apa yang akan menyambut kita pasca berakhirnya wabah Corona.

Kita tahu, hadirnya virus Corona menjadi bencana yang sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia. Tidak hanya masalah kesehatan yang ditimbulkan, namun juga krisis ekonomi. Karenanya, setiap negara yang terdampak Corona pun berlomba-lomba memberikan himbauan hingga mencipta pelbagai aturan untuk memutus rantai persebaran virus. Adapun himbauan yang sering diutarakan: Selalu mencuci tangan, tidak berkontak fisik, hingga menghindari kerumunan.

Tak dapat dimungkiri, berbagai himbauan itu sangat baik maksud dan tujuannya. Berbagai pihak pun menyampaikan himbauan-himbauan itu secara konstan. Tidak satupun media arus utama yang tidak menyiarkan himbauan tersebut. Akan tetapi, secara tidak sadar pelbagai himbauan itu dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak setelah berlalunya badai ini.

Masalahnya, berbagai himbauan yang konstan disampaikan tidak akan hilang begitu saja, namun terepresi ke alam bawah sadar (unconsciousness) masyarakat. Secara tidak sadar pula himbauan-himbauan itu pun akan menyetir perilaku masyarakat di kemudian hari. Lebih jauh, akan terpantik berbagai macam penyakit mental (mental illness) pada masyarakat.

Setidaknya terdapat dua macam penyakit mental yang akan muncul. Pertama, Agoraphobia. Penyakit mental ini dapat menjadikan seseorang merasa ketakutan tidak mendapat pertolongan atau jalan keluar jika sesuatu yang berbahaya terjadi padanya. Rasa takut ini menjadikan orang itu merasa terjebak saat berada dalam keramaian atau di ruang publik, sehingga cenderung menghindari keadaan tersebut. Hal ini adalah salah satu dampak yang mungkin terjadi karena berlarutnya himbauan hingga kebiasaan “Hindari kerumunan”.

Kedua, Fobia Sosial. Social Anxiety Disorder atau Fobia Sosial adalah bentuk gangguan mental yang membuat seseorang mengalami kecemasan saat berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Penyakit ini ditimbulkan oleh karena pelbagai himbauan yang diterima dan kebiasaan yang dijalani secara terus menerus oleh masyarakat semasa pandemi ini, yakni, physical distancing dan social distancing.

Setiap bencana pasti membawa dampak keburukan. Itu adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu lagi dipertanyakan. Tugas kita sebagai makhluk berakal adalah memperkirakan dampak buruk apa yang akan terjadi, sehingga dapat lebih siap dalam bersikap dan bertindak menghadapi musibah yang akan datang itu.

Semoga tulisan ini dapat sedikit membantu kita dalam bersikap dan bertindak

Ahmad Kholikul Khoir
Ahmad Kholikul Khoir
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.