Dalam forum IMF-WB di Bali, baru-baru ini, Jokowi berpidato dengan menggunakan analogi serial Game of Thrones atas fenomena perang dagang yang terjadi di dunia internasional.
Kurang lebih isinya adalah mengajak para peserta forum IMF-WB (International Monetary Fund – World Bank) untuk bekerja sama dan tidak larut dalam perang dagang (trade wars), guna mengatasi ancaman global yang berupa perubahan iklim, dan polusi berupa sampah plastik yang mencemari pasokan makanan di berbagai tempat (www.tempo.co, akses 17 Oktober 2018).
Akan tetapi, entah sengaja atau tidak, sepertinya beliau lupa pada sejarah IMF di Indonesia. Dari mulai penggulingan Soekarno sampai penandatanganan Letter of Intent (LOI) IMF oleh Soeharto di akhir kekuasaan rezim Orde Baru. Hal yang menyebabkan harga-harga melambung sangat tinggi, akibat mengikuti resep imperialis neoliberal IMF untuk mencabut berbagai subsidi rakyat jika ingin mendapat bantuan dari IMF (sumber www.republika.co.id, akses 18 Oktober 2018).
Rezim ORBA yang telah berkuasa selama 32 tahun bubar, Soeharto tumbang, akan tetapi krisis multidimensi masih belum beranjak dari Indonesia sampai sekarang ini.
Soekarno yang menolak formula liberalisasi investasi ala IMF, juga harus terdepak dari kekuasaan, akibat kudeta merangkak terhadapnya yang dipimpim oleh Soeharto atas sokongan kaki tangan imperialis neoliberal lainnya, yaitu CIA (Central Intelligence Agency), badan mata-mata Amerika Serikat.
Sikap Soekarno yang tidak mau disetir oleh asing ini terlihat dalam teks NAWAKSARA, Pidato Seoekarno di depan Sidang Umum ke-4 MPRS, 22 Juni 1966, berikut kutipan pidato tersebut “Yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan pada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling menguntunkan…Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain”.
Perihal dukungan CIA atas penggulingan Soekarno ini, pada tahun 2017, telah diterbitkan sebuah dokumen rahasia milik Amerika Serikat yang menjelaskan tentang hal tersebut, oleh lembaga non-profit National Security Archive (NSA), lembaga National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA) (sumber www.cnnindonesia.com, akses 18 Oktober 2018).
Di berbagai belahan dunia, sebenarnya setiap forum yang diselenggarakan oleh badan-badan imperialis neoliberal seperti IMF, World Bank, dan WTO (World Trade Organization) selalu ditolak keras oleh berbagai kelompok dan organisasi kerakyatan yang paham sepak terjang organisasi-organisasi (sumber www.democracyuprising.com, akses 18 Oktober 2018). Biasanya aksi-aksi penolakan tersebut selalu diikuti oleh massa yang cukup besar dan berujung bentrok dengan aparat keamanan.
Salah satu bentrokan antara para demonstran antineoliberalisme dengan aparat keamanan, yang cukup terkenal adalah peristiwa “Battle of Seattle”, yang terjadi tahun 1999, saat itu kurang lebih 75 ribu orang demonstran yang menolak pertemuan WTO di Seattle, bentrok dengan aparat (sumber www.democracyuprising.com, akses 18 Oktober 2018).
Saat ini sangat disayangkan para mantan aktivis yang berada di lingkaran Jokowi, tidak memberitahu dan mengingatkan beliau terkait rekam jejak organisasi-organisasi imperialis neoliberal tersebut. Entah karena lupa atau pura-pura lupa, yang jelas para mantan aktivis tersebut pastilah sudah paham bahwa organisasi-organisasi imperialis neoliberal tersebut adalah selayaknya Evil Winter yang telah dan akan merusak serta menghancurkan ekonomi rakyat di seluruh dunia.
Jadi kalau dipikir-pikir lebih dalam sedikit, sebenarnya Jokowi sama saja dengan ngomong bahaya Evil Winter pada Evil Winter itu sendiri. Jelas saja mereka memuji, mungkin untuk semakin menyempurnakan kamuflase wajah seolah-olah humanis mereka, supaya bangsa Indonesia, terutama yang propemerintah tidak lagi anti terhadap sepak terjang mereka yang dalam sejarah telah memporak-porandakan ekonomi dan politik negara-negara di berbagai belahan dunia.
Hal ini jugalah yang sebaiknya dijadikan titik serang kubu Prabowo pada kubu Jokowi. Para mantan aktivis kerakyatan yang ada di kubu Prabowo, jika masih ada sisa ideologi kerakyatan di kepala, seharusnya mereka menjelaskan pada beliau tentang hal tersebut.
Yaitu bahwa sikap Jokowi yang menerima organisasi-organisasi imperialis neoliberal seperti IMF dan WB dengan tangan terbuka, dan menjalankan resep mereka seperti mencabut subsidi-subsidi rakyat, liberalisasi investasi, dan lain-lain, sama saja dengan melemparkan Indonesia ke jurang kehancuran tanpa dasar. Krisis yang telah menghantam Indonesia dari sejak akhir rezim Orde Baru sampai sekarang, tak akan pergi malah semakin parah dan akut.
Jangan isu hoax tentang keterkaitan Jokowi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang didengung-dengungkan, karena PKI dan kader serta simpatisannya adalah juga pihak yang ikut tersingkir akibat kudeta boneka imperialis neoliberal, Soeharto terhadap pemerintahan Soekarno. Jadi secara logika, kalau memang PKI secara organisasi dan kader-kadernya masih hidup, pasti mereka tak mau mendukung Jokowi yang berkolaborasi dengan pihak yang mensponsori pembantaian massal terhadap kawan dan sekutu mereka.
Untuk Jokowi sendiri, jika memang beliau benar-benar prorakyat dan bukan proimperialis neoliberal, saya sarankan ke depannya supaya lebih cerdas dan jeli dalam menulis pidato dan membuat kebijakan.
Pencabutan berbagai subsidi rakyat, pada kenyataannya bukanlah solusi untuk mengatasi krisis berkepanjangan di negeri ini. Selain itu, yang utama adalah pahami sejarah, minimal sejarah bangsa Indonesia yang benar, bukan sejarah manipulatif ala rezim ORBA. Supaya paham siapa yang seharusnya jadi kawan atau lawan dalam dunia yang semakin panas ini.