Sabtu, April 20, 2024

Gagalnya Kita sebagai Masyarakat

MohAlfarizqy
MohAlfarizqy
Political sociology student who interested in the nexus of social movements, democracy and education | IG @moh.alfarizqy

Jumlah peserta Aksi Kamisan Surabaya pada 15 November lalu, lebih banyak daripada biasanya. Tapi saya tidak begitu terkejut, karena peserta-peserta baru itu datang untuk memperjuangkan nasib mereka terkait Waduk Sepat. Saya sudah begitu hafal, pastilah tak ada yang baru, dan yang hadir hanya wajah-wajah itu saja. Pastilah orangnya hanya itu-itu saja.

Kampanye yang kami lakukan tak kalah susahnya dengan freshgraduate yang mencari pekerjaan di tengah kota. Sedari matahari di atas kepala hingga tenggelam, tak mudah meyakikan para pengelana di jalanan untuk mengambil press release yang kami buat. Mereka nampak begitu sibuk dengan jalanan, begitu sibuk dengan urusannya masing-masing.

Hilangnya Jati Diri dan Ketertundukan

Sebagai anggota masyarakat, kita perlu memahami hubungan antara masyarakat, negara, dan korporasi sebagai tiga pihak yang berbeda yang berusaha mencapai “kebaikan bersama”.

Dengan demikian, saya, pengendara motor di luar sana, dan semua anggota masyarakat yang perlu turut aktif, dihadapan negara dan korporasi, untuk membicarakan nasibnya. Untuk membangun dan mencapai apa yang dianggap sebagai yang “terbaik”. Namun, nyatanya tidak demikian.

Kenapa perguruan tinggi begitu diminati? Sebab semua orang ingin bekerja di tempat kerja yang lebih baik, perusahaan-perusahaan besar, atau kalau bisa, perusahaan dunia. Perguruan tinggi dianggap membantu mereka mencapai cita-cita itu.

Yang menjadi perhatian utama kemudian adalah “saya belajar karena lowongan kerja adanya ini” daripada “saya belajar karena diri saya membutuhkannya, merasa bermakna karena pengetahuan darinya”. Tunduk pada pasar kerja.

Lalu, dari generasi ke generasi, kita didorong untuk menjadi seorang yang ‘sukses’, yaitu orang yang kantong dan kartu debitnya penuh sesak dengan uang. Kalau ada kartu kredit, semakin mantap untuk jalan-jalan dan foto-foto ke luar negeri. Masyarakat ada dan berdiri untuk pasar kerja.

Persaingan di perguruan tinggi yang begitu ketat tiba-tiba dihujani akuan dari banyak pemenangnya: “sebenarnya saya tidak minat di jurusan ini”. Para pemenang tiba-tiba tidak giat belajar, hanya mengandalkan penjelasan kelas tanpa meragukan, bahkan mempersoalkan ketidakmajuan konten presentasinya.

Namun, jika berbicara kegiatan di luar kelas, kepanitiaan, bisnis, dan segala bentuk pengasahan skill event organizer begitu fasih bibir dan tubuhnya. Mereka teralienasi dari perkuliahannya sendiri; tak jelas mau dibawa ke mana semua yang dipelajarinya, semua yang dipraktikkannya dalam kuliah lapangan. Perkuliahan lepas dari diri mahasiswa sebagai pihak yang sangat terlibat di dalamnya. Yang penting adalah, apakah nanti bisa untuk bekerja dan sukses.

Begitu pun respon pada pemerintah; banyak orang yang tutup mata pada persoalan publik yang melibatkan pemerintah. Negara seolah-olah pihak yang selalu baik, Sang Maha. Seolah-olah segala keputusannya adalah apa yang terbaik untuk masyarakat maupun korporasi. Padahal, sangat mungkin negara menyalahgunakan kekuasaannya lalu melukai kita, karena, sebagaimana kata Max Weber, negara adalah “komunitas manusia yang (sukses) mengklaim pemonopolian penggunaan physical force di dalam suatu teritori”.

Saat ada kasus UU ITE yang telah menjerat beberapa orang seperti Anindya S. Joediono, saat ada pembubaran Aksi Kamisan di Malang dan Surabaya, ke manakah masyarakat? Banyak orang justru menjalani hidup seperti biasanya. Yang bekerja ya bekerja. Yang pacaran ya pacaran. Tidak sedikit yang bahkan tercabut lepas dari akar sosialnya, yaitu kemasyarakatannya. Masalah yang potensial dan bahkan yang memang ada di publik bagai musik populer; begitu banyak terdengar, kemudian berlalu.

Mahasiswa yang katanya progresif justru lebih giat berkicau dan berpidato di media sosial untuk mengalahkan lawan calon BEM/BLM/DLM-nya. Peringatan-peringatan terkait HAM seperti pembunuhan Munir, Semanggi, serta penculikan aktivis diangkat untuk membangun identitas bahwa mereka progresif, mereka humanis, mereka kritis. Ujung-ujungnya kembali lagi: “pilih kami karena kami sudah tampil progresif”. Selain menjadi instrumental terhadap dan bahkan lepas dari tatanan sosial-politik yang ada, praktik-praktik yang mendominasi mahasiswa juga banal, sebanal politik elektoral kita.

Agenda Penting: Membangun Kesadaran Politik

Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk berpartisipasi di dalam politik. Joakim Ekman dan Erik Amna dalam Political participation and civic engagement: towards a new typology membagi dua jenis partisipasi politik: (1) partisipasi laten, dan (2) partisipasi manifes.

http://Ekman%20dan%20Amna%20(2012)

Partisipasi laten adalah partisipasi yang “pre-political” atau “stand-by”. Menurut kedua ahli tersebut, partisipasi semacam ini didasarkan kepada fakta bahwa ada anggota masyarakat tidak berpartisipasi dalam politik secara langsung, tetapi memiliki pengaruh yang boleh jadi sangat signifikan di masa depan nanti. Berbeda dari itu, partisipasi manifes adalah partisipasi yang ditujukan untuk memengaruhi pengambilan keputusan negara dan political outcomes.

Meski penjelasan ini begitu bagus, mewah, dan canggih, namun masyarakat kita tak bagus, mewah, apalagi canggih ketika berbicara soal politik. Memang banyak orang berkecimpung dalam partisipasi laten; mereka mengikuti pemberitaan di atas kertas koran, di layar kaca media sosial, dan diskusi-diskusi publik. Namun semua ini sebatas pengetahuan: “oh, begitu…okelah”.

Apabila mereka diajak berpartisipasi secara langsung, secara manifes, mereka menolaknya. Bahkan sejumlah mahasiswa yang menjadi partisipan dalam penelitian saya menganggap bahwa demonstrasi, kampanye, protes, dan semacamnya adalah tindakan yang sia-sia; tidak ada gunanya dan tidak mengubah apa-apa. Negara dianggap tak dapat diubah dengan cara-cara itu. Ironisnya, saat ditanya apakah dirinya telah mempelajari kekuatan massa, pentingnya demonstrasi, dan semacamnya, mereka tidak bisa memberikan penjelasan.

Namun, pemahaman mereka yang demikian itu bukanlah tanpa alasan. Mereka belajar dari, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ‘Aksi’ yang dicontohkan oleh kakak tingkatnya dahulu tidak memberikan penjelasan yang kuat, sebatas gugur kewajiban, dan untuk popularitas semata. Edukasi, dalam hal ini, mengalami kegagalan oleh sebab keberadaan oknum-oknum yang begitu instrumental terhadap partisipasi politik. Padahal, sebagaimana argumen Anthony Giddens, partisipasi yang semacam itu wajar jika kita tidak dapat merubah kondisi dari dalam struktur pemerintahan.

Di sinilah mahasiswa, dosen, Ph. D., dan professor perlu memberikan perhatiannya pada kesadaran politik masyarakat. Mereka yang masih belum menyadari pentingnya berpartisipasi secara langsung, mereka yang masih menstigmai demonstrasi, aktivisme, dan ragam upaya konkret harus diberi edukasi melalui beragam ruang.

Praktik-praktik politik yang ada pada mahasiswa perlu diwaspadai; segala bentuk ‘Aksi’, protes, aktivisme, dan semacamnya perlu ditarik lepas dari motif yang semata-mata untuk meraih perhatian dan suara dalam pemilihan raya. Partisipasi politik perlu dicontohkan sebenar-benarnya partisipasi politik, bukannya untuk menjelek-jelekkan lawan politik, untuk membangun identitas baik semata, apalagi sekedar untuk pemilihan. Politik tak sesempit itu.

MohAlfarizqy
MohAlfarizqy
Political sociology student who interested in the nexus of social movements, democracy and education | IG @moh.alfarizqy
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.