Relasi rakyat dengan negara telah berubah hari ini. Memang, bukan sama sekali radikal 180 derajat akan tetapi terjadi dinamika relasi yang tengah bergerak. Dalam relasi politik rakyat dengan negara pun kini jelas lebih demokratis daripada rezim-rezim terdahulu. Sekali lagi, akan tetapi demokratisasi ini tidak diimbangi dengan terbukanya akses seluas-luasnya pada hak-hak kebutuhan dasar rakyat. Kongkritnya barang/jasa pelayanan publik masih sulit dirubah oleh suara rakyat, mulai dari ajegnya kualitas yang buruk hingga kasus korupsi. Sebagai rakyat biasa kita tidak bisa secara langsung menekan para provider untuk merubah pelayanan, masih membutuhkan langkah bertahap khas birokrasi yang sering membuat kita keteteran. Masifnya pemberitaan kasus bayi Debora juga menunjukkan kesalahan berulang pelayanan publik kita padahal tantangan rakyat ke depannya semakin berat jika tidak diimbangi devaluasi nilai kerugian akibat pelayanan publik yang bobrok, tak hanya finansial tapi juga nyawa.
Meminjam tesis Ombudsman RI bahwa pelayanan publik adalah milik kita semua tentu masih perlu pembuktian lebih lanjut. Pelayanan publik hari ini seharusnya peka pada perubahan kebutuhan masyarakat. Hadirnya disrupsi berbagai sektor juga seharusnya ikut mempengaruhi pelayanan publik di sebuah Negara. perlu elaborasi bagaimana nilai-nilai dasar apa yang harus menjadi basis utama pelayanan publik terkini? dan sejauh mana Negara kita menukil basis tersebut menjadi pondasi utama?
Nilai Publik
Siapapun provider pelayanan publik baik pemerintah ataupun swasta harus tetap bersandar pada nilai-nilai publik seperti responsivitas, keadilan, kesetaraan, akuntabilitas dan transparansi. Nilai publik ini berbeda dengan pelayanan yang sering digambarkan dengan keramahan, sopan santun, seragam yang rapi seperti pelayanan di dunia perbankan sebab nilai publik bersifat lebih kongkrit meskipun masih dalam ranah tak kasat mata akan tetepi tetap berkontribusi kepada publik. Selama ini selalu diyakini bahwa jika pelayanan milik entitas bisnis selalu lebih baik dan pemerintah lebih buruk akan tetapi kedua entitas tersebut juga sering gagal menyediakan nilai publik. Masyarakat selalu kesulitan mendapatkan responsivitas pelayanan, meminta pertanggungjawaban ketika terjadi kesalahan pelayanan ataupun komplain dengan tanggapan yang cepat. Karakter nilai publik inilah yang membedakan antara privatisasi pelayanan publik dengan yang dikuasai negara.
Adanya nilai publik seharusnya tidak ada rahasia dalam pelayanan publik, kasus pidana yang menimpa asuransi kesehatan Allianz menjadi gambaran adanya proses sepihak dalam penentuan regulasi yang cenderung merugikan konsumen. Kasus tersebut seharusnya menjadi pelajaran bersama bahwa ketika prosedur dibuat dalam lingkungan tertutup pada akhirnya menghasilkan nilai mudarat, pelayanan publik harus terbuka terutama setiap prosedur, waktu dan biaya yang mendorong aktivasi publik untuk menekan pemerintah guna menyediakan pelayanan publik yang lebih baik.
Masih banyak hal yang menciderai nilai publik seperti dugaan di berbagai rumah sakit daerah terdapat aturan tak tertulis bahwa antrian kamar-kamar pasien yang kosong akan diberikan dengan urutan: pertama, pejabat dengan anggota keluarganya, kedua, pasien bukan BPJS, dan ketiga, pasien BPJS. Jika benar demikian tentu sama sekali tidak ada nilai keadilan dan kesetaraan dalam pelayanan publik. Bahkan baru-baru ini kesadaran kolektif pejabat publik masih kurang memahami bahwa apapun informasi yang mereka adalah bentuk pelayanan kepada publik sehingga harus dipertanggungjawabkan hingga sejelas-jelasnya seperti ujaran Jenderal Gatot Nurmayanto yang tidak jelas siapa yang dituduh dan bagaimana penyelesainnya bahkan disertai dengan pembelaan pejabat di bawahnya. Sulit juga untuk menuntut nilai publik pada kasus pembangunan jembatan tol, misalkan ketika tarif kemahalan dan kualitas tidak berubah, kepada siapa kita menuntut? pemerintah atau swasta? padahal jalan adalah barang publik yang seharusnya bernilai publik pula.
Partisipasi
Era demokrasi seharusnya juga tidak hanya terlihat pada gempita politiknya saja akan tetapi bagaimana pelayanan publik juga diperlakukan secara demokratis yaitu tersedianya akses partisipasi bagi rakyat untuk menggunakannya. Organisasi penyelenggara pelayanan publik harus memahami bahwa pelayanan publik sama sekali tidak dapat dilakukan secara sepihak pasti selalu ada keterlibatan dengan aktor lainnya. Pemahaman ini mengakui bahwa pelayanan publik tidak dapat berdiri sendiri. Ketika terjadi produksi pelayanan publik maka sebenarnya antara penyelenggaran dan pengguna adalah saling membantu bekerja sama bahkan pengguna sendiri juga ikut memproduksi manfaat dan kerugian pelayanan publik atau disebut dengan koproduksi (Nabatchi et al, 2017). Contoh sederhana prinsip ini misalkan guru, orang tua dan siswa bersama-sama menentukan prioritas kegiatan ekstrakurikuler di sekolah atau polisi dan warga yang sering bersimbiois mutualisme berbagi informasi kejahatan. Kunci dalam prinsip ini adalah partisipasi yang berisi keterlibatan dan konsensus
Partisipasi dalam pelayanan publik justru lebih sering digunakan sebagai pintu masuk menuju pelanggaran seperti misalnya adanya rembug desa untuk memutuskan prioritas dana desa ternyata juga seringkali hanya formalitas tanpa subtansi akibatnya pembangunan di desa sering mandeg dan mangkrak kurang mendengar aspirasi nyata warga desa, korupsi dana desa juga semakin membuat sahih hilangnya intisari partisipasi sendiri. Adanya dugaan titipan pendamping desa dari partai juga semakin memperparah buruknya partisipasi karena seharusnya mereka lebih independen dengan berbasis warga bukan bias partai. Dalam skala yang lebih luas pun alat-alat untuk mencapai partisipasi pelayanan publik belum optimal seperti penerapan setengah hati citizen charter dan belum adanya service blueprinting pada tiap-tiap institusi pelayanan publik.
Kedua fundament tersebut penting untuk menghadapi era saat ini bahkan ditambah dengan kondisi ekstrim di Indonesia dengan diversitas tingkat tinggi dengan harapan pluralisme tentu nilai-nilai publik diperlukan agar terjadi keadilan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara itu di sisi lain munculnya disrupsi dan masyarakat digital sama sekali tidak merubah nilai publik tersebut justru malah memperkuatnya seperti dengan digitalisasi pelayanan publik tentu semua orang dengan akses internet mampu mengakses ketersediaan pelayanan publik tertentu dalam suatu waktu kongkritnya ketersediaan kamar untuk pasien, akan tetapi bukan berarti adanya modernisasi pelayanan publik harus meninggalkan golongan tertentu, tetap perlu menginklusifkan pelayanan publik agar marwah pelayanan publik berbeda dengan logika bisnis. Tentu pelayanan publik harus lebih peka terhadap golongan rentan yang seringkali tertinggal dalam akses alias inkluisf (Dwiyanto, 2012). Republik ini masih jauh dari fundament pelayanan publik yang ideal buktinya nilai-nilai publik sering diabaikan dan partisipasi juga masih menjadi barang mahal dalam produksi pelayanan publik.